Kisah Nahuys Van Burgst Pengaruhi Sultan Hamengkubuwono IV demi Kuasai Gunung Merapi

Kamis, 30 November 2023 - 06:15 WIB
loading...
Kisah Nahuys Van Burgst Pengaruhi Sultan Hamengkubuwono IV demi Kuasai Gunung Merapi
Potrer Sultan Hamengkubuwono IV. Foto/Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
A A A
YOGYAKARTA - Adik Pangeran Diponegoro dalam posisi sulit ketika permintaan dan tekanan Belanda meminta hak sewa tanah di Gunung Merapi. Sultan Hamengkubuwono IV, kala itu sultan muda yang membuatnya dipengaruhi Residen Belanda di Yogyakarta Nahuys Van Burgst.

Nahuys yang juga merangkap residen di Surakarta ini meminta secara khusus hak sewa tanah di lereng Gunung Merapi. Hal ini karena Belanda tahu tanah di lereng-lereng Gunung Merapi memiliki kesuburan yang luar biasa.

Pada Juli 1817, Residen Belanda Yogyakarta yang merangkap Surakarta itu mencoba mempengaruhi sultan muda, Sultan Hamengkubuwono IV. Hak sewa tanah itu konon berada di daerah Bedoyo, kawasan terbuka di dataran tinggi lereng Gunung Merapi.



Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 -1855", mengisahkan bagaimana Nahuys juga meminta secara khusus empat desa di sekitarnya, menjadi pemasok tenaga kerja bagi bakal perkebunan kopi miliknya itu.

Lima tahun kemudian, saat Nahuys diganti sebagai Residen Yogya dan Surakarta, tidak kurang dari 115 bidang lahan yang terpisah-pisah dan desa-desa, beserta penduduknya telah disewakan di wilayah Kesultanan, dan 189 lagi di wilayah Kasunanan Surakarta.

Perluasan sewa lahan yang demikian cepat telah membawa konsekuensi-konsekuensi penting, yang tidak semuanya menguntungkan sebagaimana dipahami Nahuys.

Sebab sekalipun para pangeran dan priyayi yang menyewakan lahan mereka mendapat keuntungan uang masuk lebih banyak, namun hubungan batin mereka dengan kaum tani penggarap runtuh dan hilang.



Pengaruh sang mantan residen itu masih cukup kuat kendati tak lagi menjabat. Bahkan karena pengaruh Nahuys itulah, pada Oktober 1818 kitab hukum Agraria Jawa, Angger Sepuluh, bahkan dimodifikasi untuk memberikan hak penyewa tanah ke bangsa Eropa dan Tionghoa.

Hak-hak mereka bahkan sama dengan pemegang tanah jabatan Jawa maupun kaum pribumi kala itu. Hal ini berarti penyewa pada masa itu dapat bebas memilih, apa jenis tanaman yang ingin ia panen nanti, ladang atau sawah mana, yang memungkinkan meraup untung besar.

Sementara membiarkan para petani penggarap menanggung beban pajak dan upeti untuk keraton

Residen Yogya pengganti Nahuys, Smissaert yang menjabat, 1823 - 1825, berkomentar bahwa para petani penggarap di perkebunan - perkebunan menyebut orang-orang Eropa sebagai orang-orang asing penindas.

Hal ini merupakan suatu sentimen anti-Eropa yang disuarakan oleh orang-orang Jawa pada masa itu.

Konon hal itulah yang menimbulkan berbagai kesulitan tersendiri bagi penduduk pribumi dan menempatkan para penyewa tanah pada posisi yang kurang harmonis, baik dengan petani penggarap maupun dengan petugas polisi setempat.

Kenyataannya, hanya sedikit orang Eropa penyewa tanah yang mampu berbahasa Jawa, dan kebanyakan dari mereka hanya dapat bicara bahasa Melayu patah -patah, meski secara lahiriah mereka mengadopsi nama-nama Jawa.

Problem komunikasi bertambah parah karena mereka kurang paham tentang cara bertani orang Jawa
(ams)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3704 seconds (0.1#10.140)