Kisah Ki Ageng Gentiri, Sosok Robin Hood Kediri yang Bikin Belanda Ketar-Ketir

Minggu, 26 November 2023 - 06:50 WIB
loading...
Kisah Ki Ageng Gentiri,...
Panel relief menggambarkan Ki Ageng Gentiri sedang berhadapan dengan kompeni Belanda di Monumen Simpang Lima Gumul (SLG), Kediri, Jawa Timur. Foto/Ist
A A A
Kisah Ki Ageng Gentiri atau Mbah Boncolono menarik untuk dikulik. Sosoknya yang dikenal sakti dianggap sebagai "Robin Hood" asal Kediri karena sering mengambil harta orang kaya (penjajah Belanda dan sekutunya) yang kemudian dibagi-bagikan kepada warga miskin.

Mbah Boncolono mempraktikkan gaya bandit budiman ala Robin Hood berandal Lokajaya yang ada pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Mbah Boncolono turun ke jalan membela rakyat yang tertindas lantaran geram dengan ulah kompeni Belanda memeras rakyat yang dipaksa menanam kopi, teh, tembakau, cengkeh.

Di masa itu, rakyat kehilangan kemerdekaan bercocok tanam di tanahnya sendiri. Rakyat yang sudah tidak berdaya juga masih dibebani kewajiban menyetor pajak kepala. Belanda memeras rakyat dengan hasil tanaman yang laku dijual di Eropa untuk memulihkan kas kolonial yang banyak terkuras untuk biaya Perang Jawa (1825-1830).



Paling menyedihkan lagi saat panen tiba. Rakyat tidak memiliki hak atas hasil tanamannya sendiri. Sebab kompeni yang mengatur seluruh pembagiannya.

Situasi itu membuat Mbah Boncolono marah. Dadanya serasa mau pecah karena amarah yang membuncah. Diam-diam Mbah Boncolono bergerak menjarahi harta kekayaan milik kompeni dan antek-anteknya.

"Mbah Boncolono adalah pencuri yang ambigu dalam tindak tanduk susilanya, tetapi sakti mandraguna," tulis peneliti asing George Quinn dalam buku kisah “Wali Berandal Tanah Jawa”.

Mbah Boncolono tidak seutuhnya menikmati hasil jarahannya. Sebagian besar harta curian itu ia bagi-bagikan kepada petani, rakyat jelata, kaum kromo yang ditindas kumpeni Belanda.

Dalam “Wali Berandal Tanah Jawa” tertulis, Mbah Boncolono yang juga disebut Maling Gentiri memiliki saudara tua yang bernama Maling Kapa.

Dua bersaudara ini merupakan maling sakti yang selalu beroperasi di malam hari. Keduanya adalah murid Sunan Ngerang, seorang ulama besar di kawasan pesisir Juwana, Jawa Tengah. Mereka mengunduh ilmu kesaktian dari gurunya, dan hanya menyasar orang-orang kaya yang zalim.

"Sebagai hamba agama yang saleh, tentu saja hasil perampokan mereka dibagikan kepada fakir miskin dan orang yang sedang mengalami kesusahan," demikian yang tertulis dalam “Wali Berandal Tanah Jawa”.

Di Kediri, ulah Mbah Boncolono Gentiri membuat kaki tangan kompeni kelabakan. Mereka tak menyangka bakal mendapat gangguan yang bertubi-tubi.

Apalagi saat Tumenggung Mojoroto dan Tumenggung Poncolono beserta murid-muridnya menyatakan menjadi sekutu Mbah Boncolono. Aksi penjarahan semakin menjadi-jadi.

“Belanda pun marah dan memerintahkan antek-anteknya mengejar Mbah Boncolono hidup atau mati," demikian cerita tutur yang beredar. Mbah Boncolono harus ditangkap hidup atau mati.

Begitu tekad antek-antek kumpeni Belanda. Namun meringkus Mbah Boncolono bukan perkara mudah. Mbah Boncolono dicintai rakyat.

Saat terkepung, pencuri budiman tersebut selalu berhasil meloloskan diri. Konon, cukup mengandalkan seberkas cahaya, dia bisa menyusup ke dalam bangunan melalui lobang sekecil apa pun.

Begitu juga saat terkepung. Cukup merapatkan diri ke tembok, tiang atau pohon di dekatnya, Mbah Boncolono akan lenyap dalam sekejap.

Mbah Boncolono konon juga kebal senjata. Dia seperti tidak merasakan peluru-peluru yang memberondong tubuhnya.

Kalau pun ambruk, ia akan hidup lagi, sehat seperti sedia kala. "Dia bisa hidup lagi ketika tubuhnya menyentuh tanah," begitu yang tertulis dalam “Wali Berandal Tanah Jawa”.

Setiap kesaktian selalu ada pengapesannya. Ada masa nahasnya. Ada titik lemahnya.

Kompeni terus memutar otak menelusuri kelemahan Mbah Boncolono. Desas-desus yang mereka dengar, Mbah Boncolono menguasai ilmu Pancasona atau Rawa Rontek. Sebuah ilmu kuno yang pemiliknya sulit menemui ajal.

Setiap mati akan hidup kembali selama anggota tubuhnya menyentuh tanah. Meski tubuhnya dicincang, pemilik ilmu rawa rontek akan bangkit kembali selama bagian badan yang terpotong bersentuhan satu sama lain.

Belanda memutuskan menggunakan kekuatan uangnya. Sayembara digelar. Kepada siapa saja yang berhasil membekuk Mbah Boncolono hidup atau mati, kumpeni akan memberi imbalan besar.

Sayembara menarik perhatian sejumlah pendekar pribumi. Mereka mengetahui rahasia kelemahan ilmu Mbah Boncolono dan siap menukar dengan imbalan uang besar. Kompeni bergerak melakukan penggerebekan. Mbah Boncolono yang dalam keadaan terkepung, akhirnya berhasil diringkus.

Atas bocoran rahasia dari pribumi peserta sayembara, kompeni Belanda memotong tubuh Mbah Boncolono menjadi dua bagian. Kesaktian rawa rontek tidak akan berfungsi selama tubuh yang terpotong tersebut, dipisahkan oleh sungai.

Dalam catatannya, George Quinn, penulis “Wali Berandal Tanah Jawa” mendatangi bukit Maskumambang. Sebuah kawasan perbukitan bukit yang cukup tinggi, yang berada di wilayah Kecamatan Mojoroto, ujung barat Kota Kediri. Kawasan ini berlokasi di sebelah barat Sungai Brantas.

Di puncak bukit yang berketinggian sekitar 350 meter itu, kompeni Belanda konon memakamkan jasad Mbah Boncolono tanpa kepala. “Makam Mbah Boncolono terbujur dari utara ke selatan, bersebelahan dengan makam Tumenggung Poncolono yang diduga adik Mbah Boncolono dan Tumenggung Mojoroto, penghuni awal (cikal bakal) kawasan Kediri,” tulis George Quinn.

Pada tahun 2004 situs makam Mbah Boncolono di Maskumambang sempat dipugar. Renovasi bangunan diikuti dengan pembetonan sebanyak 555 anak tangga menuju puncak bukit Maskumambang. Dalam buku “Wali Berandal Tanah Jawa”, pemugaran dilakukan setelah keturunan keluarga besar Mbah Boncolono menyerahkan situs Boncolono kepada Pemkot Kediri.

Penyerahan ditandai dengan prasasti di gapura makam Mbah Boncolono yang ditandatangani oleh kepala keluarga besar keturunan Mbah Boncolono, Japto Soerjosoemarno. Japto merupakan pimpinan tertinggi ormas Pemuda Pancasila (PP).

“Pak Japto adalah keturunan Mbah Boncolono angkatan ketujuh”. Lalu di mana kompeni Belanda menguburkan kepala Ki Boncolono? Di sebuah tempat yang kemudian dikenal bernama punden (makam) Ringin Sirah, Kota Kediri, Kompeni Belanda konon menguburkan kepala Mbah Boncolono. Nama Ringin Sirah merujuk pada pohon beringin tua yang tumbuh di sana.

Lokasi tersebut berada di timur Sungai Brantas, posisinya di perempatan jalan antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Joyo Boyo Kota Kediri. Peneliti asing George Quinn mendapatkan asumsi dari sejumlah warga Kediri yang berada di punden Ringin Sirah.

Bahwa pemisahan tubuh dan kepala Mbah Boncolono di sisi Sungai Brantas yang berseberangan merupakan simbol pemisahan pemimpin dengan rakyatnya.

Pemisahan antara kawula dan gustinya. "Dengan cara begitu mereka melumpuhkan rakyat Indonesia. Diceraikannya pemimpin dari rakyat dengan tujuan untuk menjajah kami dan merampok kami," pungkasnya.
(hri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2034 seconds (0.1#10.140)