Kisah Politik Kayu Picu Raden Ronggo dan Bupati Melawan Daendels
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Marsekal Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Batavia yang disegani. Daendels tiba pada 5 Januari 1808 di Batavia, kota terbesar di Pulau Jawa kala itu dan kini bernama Jakarta.
Sosoknya bukan hanya sebagai ahli hukum, tetapi konon seorang revolusioner, politisi, dan serdadu profesional, yang ditempat oleh Revolusi Prancis. Kedatangannya ke Hindia Belanda kala itu mengubah beberapa tatanan yang ada.
Apalagi sosoknya merupakan pribadi yang cermat, berkemauan keras atau dikatakan memiliki egoisme tinggi, dan gemar menggunakan kekuatan senjata untuk mencapai tujuannya.
Maklumat Daendels secara efektif sekali menghancurkan struktur politik lama dan makin memperkuat cengkeraman pemerintahan Belanda di tanah Jawa. Hal ini membuat reaksi Sultan Hamengkubuwono II yang bertakhta di Keraton Yogyakarta kala itu sangat kecewa.
Reaksi Sultan Kedua, sebagaimana dicatat oleh sumber-sumber Jawa maupun Belanda, adalah sangat kecewa. Menurut babad Keraton Yogyakarta, sultan sangat prihatin dengan seriusnya dampak perubahan.
Hal itu sebagaimana dikutip dari buku “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun Sekitar 1779 – 1810”. Maklumat Daendels konon membuat keraton tertekan.
Apalagi tuntutan untuk membuka akses ke Belanda masuk hutan-hutan jati di wilayah sebelah timur atau wilayah Mancanagera Wetan. Ketua Dewan Administrasi Hutan Gustaf Wilhelm Wiese (1771-1811; menjabat 1808-1810).
Dia baru ditunjuk oleh gubernur-jenderal, menulis surat dari Rembang berisi permintaan bahwa Bupati Yogyakarta di kawasan timur, yakni di Padangan, yang kini masuk Bojonegoro, dan Panolan, yang kini masuk Cepu.
Sosoknya bukan hanya sebagai ahli hukum, tetapi konon seorang revolusioner, politisi, dan serdadu profesional, yang ditempat oleh Revolusi Prancis. Kedatangannya ke Hindia Belanda kala itu mengubah beberapa tatanan yang ada.
Apalagi sosoknya merupakan pribadi yang cermat, berkemauan keras atau dikatakan memiliki egoisme tinggi, dan gemar menggunakan kekuatan senjata untuk mencapai tujuannya.
Maklumat Daendels secara efektif sekali menghancurkan struktur politik lama dan makin memperkuat cengkeraman pemerintahan Belanda di tanah Jawa. Hal ini membuat reaksi Sultan Hamengkubuwono II yang bertakhta di Keraton Yogyakarta kala itu sangat kecewa.
Reaksi Sultan Kedua, sebagaimana dicatat oleh sumber-sumber Jawa maupun Belanda, adalah sangat kecewa. Menurut babad Keraton Yogyakarta, sultan sangat prihatin dengan seriusnya dampak perubahan.
Hal itu sebagaimana dikutip dari buku “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun Sekitar 1779 – 1810”. Maklumat Daendels konon membuat keraton tertekan.
Apalagi tuntutan untuk membuka akses ke Belanda masuk hutan-hutan jati di wilayah sebelah timur atau wilayah Mancanagera Wetan. Ketua Dewan Administrasi Hutan Gustaf Wilhelm Wiese (1771-1811; menjabat 1808-1810).
Dia baru ditunjuk oleh gubernur-jenderal, menulis surat dari Rembang berisi permintaan bahwa Bupati Yogyakarta di kawasan timur, yakni di Padangan, yang kini masuk Bojonegoro, dan Panolan, yang kini masuk Cepu.