Menjijikkan! Iming-iming Jabatan Jadi Cara Kolonial Belanda Hancurkan Loyalis Pangeran Diponegoro

Sabtu, 11 November 2023 - 16:57 WIB
loading...
Menjijikkan! Iming-iming Jabatan Jadi Cara Kolonial Belanda Hancurkan Loyalis Pangeran Diponegoro
Sosok Pangeran Diponegoro hasil Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Foto/Instagram @ainusantara
A A A
Pasukan kolonial Belanda, terus memantau pergerakan para pengikut dan loyalis Pangeran Diponegoro, usai Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Usai penangkapan Pangeran Diponegoro, para pengikut dan loyalisnya berpencar secara masif.



Pangeran Diponegoro ditangkap pasukan kolonial Belanda, dengan cara tipu muslihat di wilayah Magelang, pada 18 Maret 1830. Sejumlah sumber menyebut, di tempat baru para loyalis Pangeran Diponegoro, memberi penanda dengan surau atau musala kecil serta menanam pohon sawo kecik.



"Sebagian besar mantan prajurit Diponegoro memilih melakukan bedol desa, dan mengungsi ke Jawa bagian timur melalui pantai selatan," demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).



Di daerah baru, yakni seperti di Kabupaten Trenggalek, Kediri, Blitar, dan Malang Selatan, para loyalis Diponegoro membentuk komunitas baru. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tanda, seperti cara bicara hingga makanan yang disantap.

Dari bahasa atau logat, cara berkomunikasi atau bertutur yang lebih lembut, selera kuliner yang lebih manis, dan cara berproduksi, kemudian melahirkan entitas baru yang kelak dikenal dengan nama masyarakat Mataraman.

Misalnya di Malang Selatan, penduduk setempat memiliki logat khas Yogyakarta. Hal itu berbeda dengan penduduk yang mendiami wilayah Malang utara yang lebih terpengaruh bahasa Madura.

Salah satu tempat yang aman sekaligus nyaman bagi para pelarian Diponegoro adalah Desa Banjarsari, di wilayah Madiun. Banjarsari, menjadi salah satu tempat yang aman bagi pelarian mantan prajurit Diponegoro, karena status perdikannya menjadikan wilayah tersebut wilayah otonom. Sehingga tidak ada dalih pemerintah kolonial untuk dapat masuk ke wilayah Banjarsari.

Kolonial Belanda yang melakukan pengawasan ketat, khawatir gerakan Diponegoro akan bangkit kembali. Apalagi di desa perdikan Banjarsari, terdapat empat orang haji dan ulama kharismatik, Kiai Maulani, pimpinan pesantren Banjarsari.



Kiai Maulani merupakan adik Kiai Ali Imron, yakni putra Kiai Ageng Muhammad bin Umar. Kiai Ageng Muhammad bin Umar adalah murid kinasih sekaligus menantu Kiai Ageng Muhammad Besari (1700-1773), pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar Perdikan Tegalsari Ponorogo.

Belanda tahu, tidak sedikit kerabat keraton Yogyakarta, dan orang-orang yang bersimpati dengan perjuangan Pangeran Diponegoro eksodus ke Desa Banjarsari. Di Desa itu, juga terdapat sejumlah makam yang dinamai warga Kusumayudan, yakni bermakna bunga perang yang disinyalir makam para prajurit Diponegoro yang gugur di medan perang.

Kolonial Belanda mencoba meredam gejala kebangkitan loyalis Diponegoro, dengan cara mencampuri urusan internal pemerintahan Desa Perdikan Banjarsari. Kiai Maulani dibujuk untuk bersedia diangkat menjadi Bupati Kertosono (versi lain Mojokerto), namun oleh Kiai Maulani ditolak.

Belanda tidak patah arang. "Belanda kembali menawarkan agar Kanjeng Kiai Maulani bersedia diangkat menjadi bupati di Maospati". Namun tawaran itu kembali ditolak oleh Kiai Maulani. Ia hanya mengambil gelar kanjeng, yakni gelar yang biasa dipakai bupati di Jawa masa itu. Kiai Maulani justru meminta izin meluaskan wilayah Desa Banjarsari ke arah Timur.

Perluasan yang menjadi luas wilayah perdikan Desa Banjarsari menjadi 2.000 hektar, termasuk bertambahnya Dusun Mawatsari, dan Dusun Beketok. Di saat yang sama putra almarhum Kiai Ali Imron, yakni Tafsir Anom I telah tumbuh dewasa, yakni memasuki usia 31 tahun.



Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan membelah Desa Perdikan Banjarsari, menjadi Desa Banjarsari Kulon yang dipimpin Kiai Maulani, dan Desa Banjarsari Wetan dipimpin Kiai Tafsir Anom I (1799-1860) yang juga keponakan Kiai Maulani.

Pembelahan diyakini akan melemahkan kekuatan Desa Banjarsari. Belanda juga mencampuri rincian pembagian wilayah kedua desa, yang akibatnya hasilnya tidak teratur dan kacau letaknya.

Sebagian wilayah Desa Banjarsari Wetan, terletak di tengah wilayah Desa Banjarsari Kulon, dan sebaliknya. Begitulah cara kolonial Belanda meredam para pengikut Diponegoro agar tidak bangkit lagi.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2629 seconds (0.1#10.140)