Bawa Misi Budaya, BP2MI Apresiasi Paguyuban Bumi Reyog Ponorogo di Korea Selatan
loading...
A
A
A
ANSAN - Kepala BP2MI, Benny Rhamdani menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan organisasi Paguyuban Bumi Reyog Ponorogo yang berada di Kota Ansan, Korea Selatan (Korsel).
Benny mengapresiasi keberadaan organisasi paguyuban ini, di mana seharusnya pemerintah patut bersyukur, bahkan Menteri Pariwisata harusnya datang kesini, bahwa ada paguyuban yang tanpa inisiatif pemerintah dan tanpa dimodali negara, mereka mengambil inisiatif sendiri untuk menyebarkan budaya Indonesia.
“Sebenarnya menunjungi paguyuban ini tidak masuk dalam agenda di Korea Selatan, tapi saya bersyukur, kadang sesuatu yang diluar rencana justru bagi saya memberi inspirasi dan pengetahuan baru. Kalau tidak sedikit dipaksa kesini, mana saya tahu bahwa teman-teman Ponorogo begitu partisipatif dalam rangka misi budaya, selain bekerja, dengan peralatan yang dibiayai sendiri. Dan saya yakin ini sudah sering kali tampil di Korea ya, ini luar biasa menurut saya,” ujar Benny.
Sesepuh di Paguyuban Bumi Reyog Ponorogo, Purwanto, berterima kasih karena rombongan BP2MI menyempatkan untuk bersilaturahmi dengan paguyubannya.
“Inilah markas Bumi Reyog Ponorogo, yang biasanya menjadi tempat ngumpul teman-teman Pekerja Migran Indonesia di hari libur, yang menjadi tempat kangen-kangenan dan tempat menyalurkan hobi. Paguyuban ini ada sejak dilakukannya pengiriman Pekerja Migran Indonesia ke Korea Selatan melalui PJTKI (sekarang P3MI). Karena bertemu dengan teman sekampung yaitu Ponorogo, maka dibentuklah paguyuban ini,” jelas Purwanto.
Purwanto bercerita, mereka telah memiliki Reog Ponorogo yang didatangkan pertama kali pada tahun 2012 sebanyak 1 unit, dan bertambah lagi 1 unit pada tahun 2014.
“Pada acara Penutupan Asean Games yang diselenggarakan di Incheon tahun 2014, di mana di tahun berikutnya acara tersebut akan diselenggarakan di Indonesia, tim dari Indonesia meninggalkan 1 unit Reog-nya untuk dibeli oleh kami, sehingga kami memiliki 2 unit Reog. Dan terakhir kami mengirimkan unit Reog dibantu oleh tim KBRI dengan biaya dari kami. Jadi seluruhnya unit reog itu mandiri biaya dari kami,” ungkap Purwanto.
Dengan reog tersebut, lanjut Purwanto, mereka mengikuti berbagai festival di Korea Selatan, untuk memeriahkan dan memperkenalkan budaya Reog di Korea Selatan. “Tetapi kendalanya adalah kami sering mengalami benturan dengan waktu kerja personil, karena mereka adalah pekerja migran. Sehingga seringkali tampil dengan seadanya,” ucapnya.
Purwanto juga menjelaskan, permasalahan Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan adalah mereka sudah terlalu nyaman hidup dan bekerja di Korea Selatan.
“Jadi mereka 8’i takut pulang karena tidak tahu akan bekerja apa di tanah air. Makanya ada yang bahkan sudah 27 tahun di Korea Selatan dan belum kembali ke tanah air,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Benny mengatakan kepada para Pekerja Migran Indonesia untuk tidak takut kembali ke tanah air, selama mereka disiplin dalam menabung selama bekerja di Korea Selatan untuk menjadi modal di masa depan.
“Menjadi Pekerja Migran Indonesia itu kan bukan untuk selamanya. Makanya saya kaget ada yang sudah 27 tahun di Korea Selatan. Gaji di Korea kan tinggi ya. Seandainya bisa disiplin dalam hal menyisihkan hasil kerja di Korea untuk dijadikan modal usaha apabila suatu saat kembali ke tanah air, dan selama di Korea membawa pengetahuannya untuk dibawa ke negara kita, saya yakin akan banyak yang sukses. Kalau dari catatan kami, yang menjadi tokoh-tokoh inspiratif dari Korea Selatan itu tidak sedikit,” jelas Benny.
Benny mengungkapkan, saat mengunjungi Ansan Migrant’s Counseling Support Center, ia mendapat informasi lagi tentang Pekerja Migran Indonesia Waryono asal Kendal, yang sukses berusaha di kampung halamannya.
“Waryono memiliki usaha Ansan Mart, Bengkel Ansan, Restoran Ansan, dan bahkan anaknya diberi nama Ansan. Ini sangat inspiring. Sebenarnya orang seperti Waryono itu tidak sedikit, sepanjang teman-teman datang ke Korea tentu bekerja secara resmi, dan bagaimana disiplin menabung dan menyisihkan dari pendapatannya per bulan. Kemudian kita bermimpi kita akan menggunakan uang yang kita tabung itu untuk masa depan,” terang Benny.
Benny mengapresiasi keberadaan organisasi paguyuban ini, di mana seharusnya pemerintah patut bersyukur, bahkan Menteri Pariwisata harusnya datang kesini, bahwa ada paguyuban yang tanpa inisiatif pemerintah dan tanpa dimodali negara, mereka mengambil inisiatif sendiri untuk menyebarkan budaya Indonesia.
“Sebenarnya menunjungi paguyuban ini tidak masuk dalam agenda di Korea Selatan, tapi saya bersyukur, kadang sesuatu yang diluar rencana justru bagi saya memberi inspirasi dan pengetahuan baru. Kalau tidak sedikit dipaksa kesini, mana saya tahu bahwa teman-teman Ponorogo begitu partisipatif dalam rangka misi budaya, selain bekerja, dengan peralatan yang dibiayai sendiri. Dan saya yakin ini sudah sering kali tampil di Korea ya, ini luar biasa menurut saya,” ujar Benny.
Sesepuh di Paguyuban Bumi Reyog Ponorogo, Purwanto, berterima kasih karena rombongan BP2MI menyempatkan untuk bersilaturahmi dengan paguyubannya.
“Inilah markas Bumi Reyog Ponorogo, yang biasanya menjadi tempat ngumpul teman-teman Pekerja Migran Indonesia di hari libur, yang menjadi tempat kangen-kangenan dan tempat menyalurkan hobi. Paguyuban ini ada sejak dilakukannya pengiriman Pekerja Migran Indonesia ke Korea Selatan melalui PJTKI (sekarang P3MI). Karena bertemu dengan teman sekampung yaitu Ponorogo, maka dibentuklah paguyuban ini,” jelas Purwanto.
Purwanto bercerita, mereka telah memiliki Reog Ponorogo yang didatangkan pertama kali pada tahun 2012 sebanyak 1 unit, dan bertambah lagi 1 unit pada tahun 2014.
“Pada acara Penutupan Asean Games yang diselenggarakan di Incheon tahun 2014, di mana di tahun berikutnya acara tersebut akan diselenggarakan di Indonesia, tim dari Indonesia meninggalkan 1 unit Reog-nya untuk dibeli oleh kami, sehingga kami memiliki 2 unit Reog. Dan terakhir kami mengirimkan unit Reog dibantu oleh tim KBRI dengan biaya dari kami. Jadi seluruhnya unit reog itu mandiri biaya dari kami,” ungkap Purwanto.
Dengan reog tersebut, lanjut Purwanto, mereka mengikuti berbagai festival di Korea Selatan, untuk memeriahkan dan memperkenalkan budaya Reog di Korea Selatan. “Tetapi kendalanya adalah kami sering mengalami benturan dengan waktu kerja personil, karena mereka adalah pekerja migran. Sehingga seringkali tampil dengan seadanya,” ucapnya.
Purwanto juga menjelaskan, permasalahan Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan adalah mereka sudah terlalu nyaman hidup dan bekerja di Korea Selatan.
“Jadi mereka 8’i takut pulang karena tidak tahu akan bekerja apa di tanah air. Makanya ada yang bahkan sudah 27 tahun di Korea Selatan dan belum kembali ke tanah air,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Benny mengatakan kepada para Pekerja Migran Indonesia untuk tidak takut kembali ke tanah air, selama mereka disiplin dalam menabung selama bekerja di Korea Selatan untuk menjadi modal di masa depan.
“Menjadi Pekerja Migran Indonesia itu kan bukan untuk selamanya. Makanya saya kaget ada yang sudah 27 tahun di Korea Selatan. Gaji di Korea kan tinggi ya. Seandainya bisa disiplin dalam hal menyisihkan hasil kerja di Korea untuk dijadikan modal usaha apabila suatu saat kembali ke tanah air, dan selama di Korea membawa pengetahuannya untuk dibawa ke negara kita, saya yakin akan banyak yang sukses. Kalau dari catatan kami, yang menjadi tokoh-tokoh inspiratif dari Korea Selatan itu tidak sedikit,” jelas Benny.
Benny mengungkapkan, saat mengunjungi Ansan Migrant’s Counseling Support Center, ia mendapat informasi lagi tentang Pekerja Migran Indonesia Waryono asal Kendal, yang sukses berusaha di kampung halamannya.
“Waryono memiliki usaha Ansan Mart, Bengkel Ansan, Restoran Ansan, dan bahkan anaknya diberi nama Ansan. Ini sangat inspiring. Sebenarnya orang seperti Waryono itu tidak sedikit, sepanjang teman-teman datang ke Korea tentu bekerja secara resmi, dan bagaimana disiplin menabung dan menyisihkan dari pendapatannya per bulan. Kemudian kita bermimpi kita akan menggunakan uang yang kita tabung itu untuk masa depan,” terang Benny.
(hri)