Perjuangan Pangeran Diponegoro Dapat Sumbangan Emas dan Harta Priyayi untuk Melawan Belanda
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Perjuangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat melawan penjajah Belanda menarik untuk dikulik. Terutama terkait modal atau biaya selama bertempur yang konon tidaklah murah. Bahkan penjajah sendiri mengakui, bahwa Perang Jawa menjadi salah satu peperangan yang sulit dan banyak menghabiskan ongkos cukup besar. Lamanya pertempuran dan luasnya area peperangan menjadikan Belanda harus merogoh kocek dalam - dalam memburu Pangeran Diponegoro dan pasukannya.
Konon pasukan Pangeran Diponegoro konsisten melawan Belanda usai mendapat dana dari para pangeran dan priyayi yang juga menyumbangkan berbagai perhiasannya. Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" mengisahkan para pangeran dan priyayi ini menyumbangkan emas permata, uang, dan barang berharga lainnya.
Semua sumbangan ini dibawa ke medan perang oleh istri - istri dan putri - putri mereka, suatu sistem pembiayaan perang yang sangat menyentuh yang terulang kembali saat Revolusi Indonesia pada 1945 - 1949. Tak cukup disitu, iring - iringan konvoi Belanda yang membawa logistik perang juga diserang dan hasil rampasan awal ini digunakan untuk membiayai pertempuran - pertempuran awal.
Banyak pengikut pangeran yang berkumpul di Gua Selarong telah siap berperang melengkapi dirinya dengan senjata - senjata tradisional seperti ketapel, gada, dan tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan alias bambu runcing. Mereka berdatangan ke Selarong mulai akhir Juli hingga awal Agustus untuk menerima perintah Diponegoro, dan setelah itu langsung pergi menempati pos-pos yang ditentukan bagi mereka.
Pasukan Pangeran Diponegoro dibekali dengan senjata api, termasuk persenjataan dan meriam yang dirampas dari Belanda. Tetapi di sisi lain, ada pasokan mesiu dan amunisi dari produk pabrikan lokal, seperti Samen dekat Bantul, Into - Into dekat Kali Progo, dan Dekso markas besar pangeran pertama di Kulon Progo.
Daerah-daerah itu merupakan penghasil peluru dan mesiu berkualitas, yang dikerjakan oleh wanita-wanita desa. Pusat industri senjata Kota Gede yang terkenal dengan tukang pandai besi juga turut menyumbangkan keterampilannya untuk membuat peluru dan mesiu.
Tetapi pada umumnya keris adalah senjata yang paling utama dipakai melawan tentara Belanda. Dengan diikat di ujung bambu, senjata ini langsung berfungsi sebagai tombak untuk menjatuhkan serdadu kavaleri Belanda dari kuda, sebelum sempat mengisi mesiu ulang senjatanya.
Keris menjadi senjata utama yang juga dimanfaatkan masyarakat untuk bertani. Para petani ini dapat dengan mudah menyergap pasukan Belanda dengan keris yang mereka bawa. Peralihan pekerjaan dari sawah ke medan peperangan menjadi hal yang begitu kesulitan dideteksi Belanda.
Setelah penyergapan, mereka akan mencopot keris dari ujung bambu, menyimpannya kembali dan bergabung dengan masyarakat desa lain, melanjutkan identitas mereka sebagai petani biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
Konon pasukan Pangeran Diponegoro konsisten melawan Belanda usai mendapat dana dari para pangeran dan priyayi yang juga menyumbangkan berbagai perhiasannya. Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" mengisahkan para pangeran dan priyayi ini menyumbangkan emas permata, uang, dan barang berharga lainnya.
Semua sumbangan ini dibawa ke medan perang oleh istri - istri dan putri - putri mereka, suatu sistem pembiayaan perang yang sangat menyentuh yang terulang kembali saat Revolusi Indonesia pada 1945 - 1949. Tak cukup disitu, iring - iringan konvoi Belanda yang membawa logistik perang juga diserang dan hasil rampasan awal ini digunakan untuk membiayai pertempuran - pertempuran awal.
Banyak pengikut pangeran yang berkumpul di Gua Selarong telah siap berperang melengkapi dirinya dengan senjata - senjata tradisional seperti ketapel, gada, dan tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan alias bambu runcing. Mereka berdatangan ke Selarong mulai akhir Juli hingga awal Agustus untuk menerima perintah Diponegoro, dan setelah itu langsung pergi menempati pos-pos yang ditentukan bagi mereka.
Baca Juga
Pasukan Pangeran Diponegoro dibekali dengan senjata api, termasuk persenjataan dan meriam yang dirampas dari Belanda. Tetapi di sisi lain, ada pasokan mesiu dan amunisi dari produk pabrikan lokal, seperti Samen dekat Bantul, Into - Into dekat Kali Progo, dan Dekso markas besar pangeran pertama di Kulon Progo.
Daerah-daerah itu merupakan penghasil peluru dan mesiu berkualitas, yang dikerjakan oleh wanita-wanita desa. Pusat industri senjata Kota Gede yang terkenal dengan tukang pandai besi juga turut menyumbangkan keterampilannya untuk membuat peluru dan mesiu.
Tetapi pada umumnya keris adalah senjata yang paling utama dipakai melawan tentara Belanda. Dengan diikat di ujung bambu, senjata ini langsung berfungsi sebagai tombak untuk menjatuhkan serdadu kavaleri Belanda dari kuda, sebelum sempat mengisi mesiu ulang senjatanya.
Keris menjadi senjata utama yang juga dimanfaatkan masyarakat untuk bertani. Para petani ini dapat dengan mudah menyergap pasukan Belanda dengan keris yang mereka bawa. Peralihan pekerjaan dari sawah ke medan peperangan menjadi hal yang begitu kesulitan dideteksi Belanda.
Baca Juga
Setelah penyergapan, mereka akan mencopot keris dari ujung bambu, menyimpannya kembali dan bergabung dengan masyarakat desa lain, melanjutkan identitas mereka sebagai petani biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
(hri)