Kisah Raja Sunda Tamperan, Penuh Intrik Suka Berselingkuh hingga Lahirkan Anak
loading...
A
A
A
KERAJAAN Sunda pernah dipimpin oleh Raja Tamperan yang dikenal kontroversial karena penuh intrik suka berselingkuh hingga punya anak. Dia naik tahta setelah Raja Premana Dikusuma memilih turun tahta karena ingin menjadi pertapa.
Raja Tamperan konon memiliki watak mandiminyak yakni sering membuat skandal negatif. Setelah naik tahta, Raja Tamperah suka berselingkuh dengan Pangrenyep. Bahkan perselingkuhan ini hingga melahirkan Kamarasa atau yang dikenal Banga.
Hal itu diungkap Sri Wintala Achmad dalam "Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada" di mana dia menjelaskan bagaimana perselingkuhan itu menyebabkan Tamperan dan Pangrenyep sama-sama menderita batin.
Oleh karena skandal perselingkuhan ini, penerus tahta Sunda ini kurang disukai oleh rakyatnya.
Tamperan menjadi Raja Sunda dari tahun 732 hingga 739. Di lain pihak, Manarah (Ciung Wanara) yang mendapat dukungan Ki Balangantrang dari Geger Sunten secara diam-diam mempersiapkan rencana untuk merebut tahta Galuh.
Hingga akhirnya pada hari bertepatan pesta sabung jago, pasukan Manarah menyerbu Galuh. Kudeta Manarah menuai hasil.
Dalam waktu singkat, Galuh dapat dikuasai Manarah. Tamperan, Pangrenyep, dan Banga ditawan di gelanggang sabung ayam.
Banga yang dibiarkan bebas oleh Manarah mengeluarkan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan. Nahas, Tamperan dan Pangrenyep yang melarikan diri pada malam hari itu tewas dihujani ribuan panah oleh pasukan Geger Sunten.
Berita kematian Tamperan didengar Sanjaya yang telah memerintah di Kerajaan Medang atau Mataram Kuno periode Jawa Tengah.
Oleh karenanya, Sanjaya segera mengerahkan pasukannya untuk menyerang Galuh. Manarah yang mendapatkan laporan dari telik sandi bersiaga untuk menghadapi pasukan Medang.
Dengan mendapat dukungan sisa-sisa pasukan Indraprahasta (Wanagiri) dan raja-raja Kuningan, pasukan Galuh bertempur melawan pasukan Medang.
Perang besar sesama Trah Wretikandayun itu berakhir usai dilerai Raja Resi Demunawan dari Saunggalah melalui Perjanjian Galuh (739).
Perjanian ini memutusan Galuh diserahkan pada Manarah dan Sunda pada Banga. Perjanjian tersebut pula menetapkan bahwa Banga menjadi raja bawahan.
Sekalipun kurang berkenan, namun Banga tetap menerima kedudukan itu. Untuk memerteguh Perjanjian Galuh, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan.
Manarah yang menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana itu dinikahkan dengan Kancanawangi.
Sementara Banga yang menjabat sebagai raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya itu dinikahkan dengan Kancanasari.
Dari perkawinannya dengan Kancanasari, Banga memiliki putra bernama Rakryan Medang yang kelak menjabat sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Hulukujang (766-783).
Oleh karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaannya pada Rakryan Hujungkulon (Prabu Gilingwesi) menantunya yang berkuasa di Sunda pada 783-795.
Selanjutnya karena Rakryan Hujungkulon hanya memiliki anak perempuan, maka kekuasaan Sunda jatuh ke Rakryan Diwus (Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) menantunya yang berkuasa pada 795-819.
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke Rakryan Wuwus putranya yang menikah dengan putri Welengan (Raja Galuh 806-813).
Kekuasaan Galuh kemudian jatuh pada Rakryan Wuwus saat Prabu Linggabhumi saudara iparnya mangkat. Selama menjabat sebagai raja Sunda, Rakryan Wuwus bergelar Prabu Gajahkulon.
Lihat Juga: Kisah Kitab Kuno Nagarakretagama Deskripsikan Kerajaan Besar yang Berkuasa di Pulau Jawa
Raja Tamperan konon memiliki watak mandiminyak yakni sering membuat skandal negatif. Setelah naik tahta, Raja Tamperah suka berselingkuh dengan Pangrenyep. Bahkan perselingkuhan ini hingga melahirkan Kamarasa atau yang dikenal Banga.
Hal itu diungkap Sri Wintala Achmad dalam "Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada" di mana dia menjelaskan bagaimana perselingkuhan itu menyebabkan Tamperan dan Pangrenyep sama-sama menderita batin.
Oleh karena skandal perselingkuhan ini, penerus tahta Sunda ini kurang disukai oleh rakyatnya.
Tamperan menjadi Raja Sunda dari tahun 732 hingga 739. Di lain pihak, Manarah (Ciung Wanara) yang mendapat dukungan Ki Balangantrang dari Geger Sunten secara diam-diam mempersiapkan rencana untuk merebut tahta Galuh.
Hingga akhirnya pada hari bertepatan pesta sabung jago, pasukan Manarah menyerbu Galuh. Kudeta Manarah menuai hasil.
Dalam waktu singkat, Galuh dapat dikuasai Manarah. Tamperan, Pangrenyep, dan Banga ditawan di gelanggang sabung ayam.
Banga yang dibiarkan bebas oleh Manarah mengeluarkan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan. Nahas, Tamperan dan Pangrenyep yang melarikan diri pada malam hari itu tewas dihujani ribuan panah oleh pasukan Geger Sunten.
Berita kematian Tamperan didengar Sanjaya yang telah memerintah di Kerajaan Medang atau Mataram Kuno periode Jawa Tengah.
Oleh karenanya, Sanjaya segera mengerahkan pasukannya untuk menyerang Galuh. Manarah yang mendapatkan laporan dari telik sandi bersiaga untuk menghadapi pasukan Medang.
Dengan mendapat dukungan sisa-sisa pasukan Indraprahasta (Wanagiri) dan raja-raja Kuningan, pasukan Galuh bertempur melawan pasukan Medang.
Perang besar sesama Trah Wretikandayun itu berakhir usai dilerai Raja Resi Demunawan dari Saunggalah melalui Perjanjian Galuh (739).
Perjanian ini memutusan Galuh diserahkan pada Manarah dan Sunda pada Banga. Perjanjian tersebut pula menetapkan bahwa Banga menjadi raja bawahan.
Sekalipun kurang berkenan, namun Banga tetap menerima kedudukan itu. Untuk memerteguh Perjanjian Galuh, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan.
Manarah yang menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana itu dinikahkan dengan Kancanawangi.
Sementara Banga yang menjabat sebagai raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya itu dinikahkan dengan Kancanasari.
Dari perkawinannya dengan Kancanasari, Banga memiliki putra bernama Rakryan Medang yang kelak menjabat sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Hulukujang (766-783).
Oleh karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaannya pada Rakryan Hujungkulon (Prabu Gilingwesi) menantunya yang berkuasa di Sunda pada 783-795.
Selanjutnya karena Rakryan Hujungkulon hanya memiliki anak perempuan, maka kekuasaan Sunda jatuh ke Rakryan Diwus (Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) menantunya yang berkuasa pada 795-819.
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke Rakryan Wuwus putranya yang menikah dengan putri Welengan (Raja Galuh 806-813).
Kekuasaan Galuh kemudian jatuh pada Rakryan Wuwus saat Prabu Linggabhumi saudara iparnya mangkat. Selama menjabat sebagai raja Sunda, Rakryan Wuwus bergelar Prabu Gajahkulon.
Lihat Juga: Kisah Kitab Kuno Nagarakretagama Deskripsikan Kerajaan Besar yang Berkuasa di Pulau Jawa
(shf)