Lakukan Advokasi di Kepri, BEM Umrah Soroti Pengelolaan Pulau-pulau
loading...
A
A
A
NATUNA - Persoalan pengelolaan pulau-pulau di wilayah Kepulauan Riau (Kepri), menjadi perhatian serius Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah). Mereka melakukan advokasi lapangan, terkait isu strategis maritim di Kepri.
Presiden BEM Umrah, Alfi Riyan Syafutra menyoroti kebijakan pemerintah yang belum memberikan desain besar secara kongkrit terkait pengelolaan pulau-pulau di daerah pesisir. Pengelolaan pulau-pulau tersebut, dinilainya belum merata dan masih ditemukan pulau kecil yang kurang perhatian.
Menurutnya, pemerintah harus membuat desai besar yang kongkrit dalam mengelola pulau-pulau di Kepri. Pasalnya di pulau itu terdapat kehidupan masyarakat pesisir, serta ekosistem yang perlu diperhatikan dan dilindungi.
"Kebijakan-kebijakan harus diambil dalam rangka menjaga ekosistem dan masyarakat di pesisir, sebagai bentuk komitmen daerah kepulauan dan sebagai negara maritim. Dengan kebijakan yang berbasis maritim, akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat maritim di Kepri," kata Alfi.
Dia menjelaskan, Provinsi Kepri terdapat 2.408 pulau yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Salah satu contohnya Pulau Poto di Kabupaten Bintan, yang memiliki ekosistem hutan mangrove seluas 410.321 hektare.
Menurutnya, hingga saat ini Pulau Poto perlu pengembangan dan pengelolaan yang baik. Lantaran kondisi pulau itu dikelilingi mangrove. "Kita melakukan advokasi langsung kepada masyarakat setempat, utamanya nelayan lokal. Pulau Poto menjadi sumber penghidupan masyarakat yang bertumpu pada sektor laut," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, telah melakukan riset terhadap perairan dan ekositem mangrove di Pulau Poto yang 96% wilayahnya terdiri dari laut. Sehingga menurutnya, pemerintah harus memanfaatkan potensi laut tersebut, sebagai sumber ekonomi rakyat agar terjadi pemerataan pembangunan pesisir.
Selain itu, berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU No. 23/2014, provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya. Jadi, dia mendesak pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang berbasis pada potensi daerah, yakni dengan pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut. "Perlu adanya regulasi, untuk menjaga dan mendorong kemajuan daerah serta masyarakat di Pulau Poto," ujar Alfi Riyan.
Pembangunan di wilayah tersebut, menurutnya dapat berlangsung secara berkelanjutan, jika permintaan total manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suatu ekosistem.
Masyarakat di pesisir, juga membutuhkan kepastian hukum dari berbagai permasalahan terkait dengan pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau kecil, seperti konflik antar undang-undang, konflik antara undang-undang dengan hukum adat, dan kekosongan hukum.
"Ketiga masalah tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumber daya pesisir yang sangat merugikan masyarakat. Ditambah dengan banyak terjadi eksploitasi pulau-pulau untuk industri pertambangan, yang dampaknya sudah dirasakan masyarakat pesisir," pungkasnya.
Presiden BEM Umrah, Alfi Riyan Syafutra menyoroti kebijakan pemerintah yang belum memberikan desain besar secara kongkrit terkait pengelolaan pulau-pulau di daerah pesisir. Pengelolaan pulau-pulau tersebut, dinilainya belum merata dan masih ditemukan pulau kecil yang kurang perhatian.
Menurutnya, pemerintah harus membuat desai besar yang kongkrit dalam mengelola pulau-pulau di Kepri. Pasalnya di pulau itu terdapat kehidupan masyarakat pesisir, serta ekosistem yang perlu diperhatikan dan dilindungi.
"Kebijakan-kebijakan harus diambil dalam rangka menjaga ekosistem dan masyarakat di pesisir, sebagai bentuk komitmen daerah kepulauan dan sebagai negara maritim. Dengan kebijakan yang berbasis maritim, akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat maritim di Kepri," kata Alfi.
Dia menjelaskan, Provinsi Kepri terdapat 2.408 pulau yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Salah satu contohnya Pulau Poto di Kabupaten Bintan, yang memiliki ekosistem hutan mangrove seluas 410.321 hektare.
Menurutnya, hingga saat ini Pulau Poto perlu pengembangan dan pengelolaan yang baik. Lantaran kondisi pulau itu dikelilingi mangrove. "Kita melakukan advokasi langsung kepada masyarakat setempat, utamanya nelayan lokal. Pulau Poto menjadi sumber penghidupan masyarakat yang bertumpu pada sektor laut," katanya.
Baca Juga
Lebih lanjut dia mengatakan, telah melakukan riset terhadap perairan dan ekositem mangrove di Pulau Poto yang 96% wilayahnya terdiri dari laut. Sehingga menurutnya, pemerintah harus memanfaatkan potensi laut tersebut, sebagai sumber ekonomi rakyat agar terjadi pemerataan pembangunan pesisir.
Selain itu, berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU No. 23/2014, provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya. Jadi, dia mendesak pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang berbasis pada potensi daerah, yakni dengan pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut. "Perlu adanya regulasi, untuk menjaga dan mendorong kemajuan daerah serta masyarakat di Pulau Poto," ujar Alfi Riyan.
Pembangunan di wilayah tersebut, menurutnya dapat berlangsung secara berkelanjutan, jika permintaan total manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suatu ekosistem.
Masyarakat di pesisir, juga membutuhkan kepastian hukum dari berbagai permasalahan terkait dengan pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau kecil, seperti konflik antar undang-undang, konflik antara undang-undang dengan hukum adat, dan kekosongan hukum.
"Ketiga masalah tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumber daya pesisir yang sangat merugikan masyarakat. Ditambah dengan banyak terjadi eksploitasi pulau-pulau untuk industri pertambangan, yang dampaknya sudah dirasakan masyarakat pesisir," pungkasnya.
(eyt)