Tandatangani Kerjasama Budaya Jawa-Bali, Ganjar: Pemimpin Harus Siap Diinjak Rakyat

Jum'at, 16 Juni 2023 - 21:02 WIB
loading...
Tandatangani Kerjasama Budaya Jawa-Bali, Ganjar: Pemimpin Harus Siap Diinjak Rakyat
Presiden ke lima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, bersama Gubernur Bali, I Wayan Koster, dan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo foto bersama saat acara penandatanganan kerjasama budaya Jawa-Bali di Denpasar, Jumat (16/6/2023). Foto/Ist
A A A
DENPASAR - Kerjasama budaya Jawa-Bali, ditandatangai Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, dengan Gubernur Bali, I Wayan Koster, disaksikan presiden ke lima Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Menurut Ganjar, ada ajaran leluhur tentang kepemimpinan yang dihidupi secara budaya oleh masyarakat Jawa, dan Bali.



Ganjar mengatakan, seorang pemimpin harus seperti bumi yang selalu siap diinjak oleh rakyat. Ajaran kepemimpinan tersebut, menurutnya tetap kontekstual, yakni Hasta Brata atau delapan perilaku pemimpin.



"Konsep kepemimpinan masyarakat yang ada di Bali, dan yang ada di Jawa, mirip-mirip. Ada yang mengacu pada Hasta Brata. Maka, biasanya orang tua di Jawa, memberikan petuah kepada pemimpin; kami gubernur, ada para bupati, wali kota, camat, pemuka agama, tokoh masyarakat yang ada di sana, maka Hasta Brata harus jadi sifat yang mesti dimiliki dan terjemahannya ternyata sangat filosofis," kata Ganjar, Jumat (16/6/2023).



Ganjar menjelaskan satu persatu prinsip kepemimpinan Hasta Brata. Prinsip pertama adalah bumi. Di mana seorang pemimpin harus seperti bumi, yang siap menjadi pijakan dan sumber utama kehidupan. Bumi juga menyiratkan kesabaran. "Jadi kalau jadi pemimpin, ya siap diinjak kepalanya oleh rakyat karena tuannya adalah rakyat," katanya.

Lebih lanjut Ganjar mengatakan, kesabaran pemimpin itu akan memunculkan rasa percaya dari takyat. Dan ia juga termasuk yang meyakini, bahwa kekuatan utama sebuah negara adalah kepercayaan rakyat kepada pemimpin.

Prinsip kedua adalah matahari. Di mana pemimpin memberikan energi dan membuka kesadaran. Matahari juga menyinari dan mendorong kolaborasi, memberikan semangat ke rakyat agar bersemangat. Diberikannya contoh bagaimana kemampuan pemimpin sebagai matahari. Yakni adalah ketika terjadi pandemi Covid-19.

"Ketika semuanya stres, tidak ada ilmunya, semuanya harus melakukan improvement. Dan kalau tidak teguh seperti matahari yang menyinari, enggak bisa memberikan energi, pasti semua sudah loyo," ujarnya.

Sifat ketiga adalah bulan yang memberikan ketentraman, dan kedamaian meski di tengah kegelapan. Damai, tenang, tidak panas, orang akan merasakan senang dan bahagia. Keempat adalah bintang, ciri pemimpin yang mampu menjadi penunjuk arah di tengah kegelapan dan mampu memberikan inspirasi. Ada keteguhan di sana.



"Saya dididik di sekolah, di keluarga dan di partai, maka kalau kita mau belajar keteguhan, belajar dari Bu Mega. Kurang apa coba beliau menyiapkan diri, tahun 1996 digempur habis-habisan. Ibu Mega masuk kualifikasi Hasta Brata, tenang, tidak marah, melawan dengan konstitusi. Dan kepercayaan (rakyat) itu ada sejak saat itu sampai dengan hari ini. Itu keteguhan," ucapnya.

Sifat selanjutnya adalah langit, pemimpin yang mampu menaungi dan melindungi karena memiliki pengetahuan yang luas, dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Bagi Ganjar, kepemimpinan ke depan harus mempertimbangkan ilmu-ilmu berkembang yang sangat luas. Sebab dunia terus berubah, dan kekuatan dunia yang baru terus bermunculan.

"Hari ini ada negara yang kuat dengan budayanya sendiri, membangun sistemnya sendiri dan kuat, yakni Rusia, Tiongkok, dan India. Maka berikutnya kita mesti mengejar mimpi kita di 2045, Indonesia mesti berikutnya," kata Ganjar.

Keenam adalah sifat angin yang selalu meniup sepoy-sepoy dan masuk ke dalam; pemimpin itu mampu berada dimana saja, dengan siapa saja, kapan saja serta pengaruhnya bisa langsung dirasakan. Ganjar menyontohkan sosok Bung Karno

"Ini kalau kami diajarkan selalu bertemu dengan rakyat. Kalau baca buku sejarah itu, layaknya Bung Karno pada saat bertemu Marhaen. Beliau datang, dia bertanya, dia merasakan, dan kemudian diangkat menjadi sebuah isme dan itulah menjadi landasan perjuangan kita. Kini dilakukan tiap hari, tiap hari," kata Ganjar.



Ketujuh adalah sikap api yang mampu bersikap adil dan berani tidak pandang bulu. "Karena nyala api akan menyesuaikan objek yang terbakar, yang dekat pasti terbakar. Maka mesti hati-hati. Dan mampu menegakan hukum sesuai perundang-undangan," terangnya.

"Diajarkan oleh nenek moyang kita sifat api itu. Kalau kamu deket kebakar, tidak ada takutnya. Dan tidak ada api itu nyalanya ke bawah. Kalaupun ke samping karena misal tertiup angin, nanti pasti dia akan langsung ke atas. Sebuah sikap konsistensi dari api," tegas Ganjar.

Kedelapan adalah samudera, seorang pemimpin harus mampu menjadi hilir yang menerima semua air yang mengalir padanya. "Apapun, tadi protes, dibully, dimintai tolong, dicaci maki, ataupun disanjung, ia harus jadi muara dan samudera. Kalo orang Jawa bilang mesti jembar dhodho. Dadanya lebar menerima dengan sabar tidak marah," ujar Ganjar.

"Ini tidak mudah tergoda dan memiliki prinsip kuat. Kalau saya contohkan Ibu Mega tadi, tidak pernah tergoda dan prinsipnya kuat. Digoda kiri kanan, tidak pernah mau. Maju terus. Maju terus. Itu pelajaran yang luar biasa dari tingkat kesamuderaan kita," pungkasnya.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3119 seconds (0.1#10.140)