Misteri Diamnya Prabowo dan Kunci Tragedi Mei 1998
A
A
A
PRABOWO SUBIANTO merupakan tokoh kunci dalam sejumlah peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1998. Mulai penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, kerusuhan massal 13-15 Mei 1998, penculikan aktivis, hingga pengerahan pasukan pada 22 Mei 1998.
Meski telah berlangsung selama 18 tahun, peristiwa yang memakan ribuan korban jiwa tersebut hingga kini masih diselimuti berbagai misteri. Bagaimana jalannya berbagai peristiwa tersebut, dan sejauh mana keterlibatan Prabowo? Berikut ulasannya.
Prabowo lahir pada 17 Oktober 1951. Dia adalah anak ketiga dari pasangan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo dan Dora Marie Sigar. Pada Februari 1958, ayah Prabowo bergabung dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Saat itu Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI. Tidak hanya Sumitro, sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) lainnya juga dinyatakan terlibat dalam pemberontakan pada era Presiden Soekarno itu.
Sikap pemberontak Sumitro berasal dari leluhurnya. Ibunya Siti Katoemi Wirodihardjo merupakan keturunan Raden Tumenggung Wiroreno, pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung antara tahun 1825-1830.
Dikemudian hari, sikap memberontak ini juga tampak pada diri Prabowo. Prabowo juga dikenal sebagai orang yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi dengan kesukuan yang kental. Sikap ini ternyata menurun dari pribadi kakeknya.
Kakek Prabowo adalah Raden Mas (RM) Margono Djojohadikusumo, pengikut gerakan Boedi Oetomo (BO) dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Dari kakeknya inilah, Prabowo mewarisi jiwa bisnis yang sukses dijalaninya kemudian hari.
Kehidupan Masa Kecil
Kehidupan masa kecil Prabowo banyak dihabiskan di luar negeri. Saat pemberontakan yang dilakukan ayahnya menemui kegagalan setelah pesawat pilot anggota Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) Allan Pope tertembak jatuh di Ambon pada Mei 1958.
Untuk menghindari penangkapan, Sumitro melarikan diri ke luar negeri dengan mengajak seluruh anggota keluarganya. Usia Prabowo saat itu baru lima setengah tahun. Selama di luar negeri, Sumitro tidak pernah menetap lebih dari dua tahun.
Di Singapura, keluarga Sumitro menetap dua tahun, kemudian pindah ke Hong Kong dan menetap di sana selama satu tahun. Dari Hong Kong, Sumitro pindah ke Kuala Lumpur, lalu ke Zurich Swiss, terus ke London, dan akhirnya menetap di Bangkok.
Dari kehidupan sebagai keluarga buronan inilah Prabowo mulai belajar politik. Pernah suatu ketika, saat berada di Kuala Lumpur, Prabowo diejek oleh teman-teman sekelasnya. Ejekan itu sangat menghina Indonesia dan Presiden-nya Soekarno.
Meski secara politik keluarga Probowo kontra dengan Soekarno, tetapi saat Indonesia dan Presiden-nya dihina oleh orang asing, Prabowo tetap tidak terima. Semua peristiwa itu kemudian diceritakan Prabowo kepada ayahnya dan mereka pun pindah.
"Kenapa membawa kita ke negeri ini? Saya tahu Papi berseberangan dengan Soekarno. Tapi, saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Soekarno!" keluh Prabowo kepada ayahnya.
Meniti Karir Militer
Setelah 10 tahun tinggal di luar negeri, Sumitro dan keluarganya kembali ke Tanah Air pada 1960. Saat itu Prabowo telah menyelesaikan sekolah menengahnya di American School, London. Kemudian dia mendaftar masuk kampus di Amerika Serikat.
Prabowo diterima masuk di tiga universitas di Amerika, salah satunya Universitas Colorado. Namun Prabowo tidak meneruskan sekolahnya di Amerika. Dia lebih memilih masuk Akademi Militer Nasional (AMN) sebagai Taruna Akabri Darat Magelang.
Prabowo menamatkan AMN tahun 1974 dan bertugas dalam pasukan tempur. Beberapa angkatannya yang sama dengannya dan kemudian memegang peran penting pada 1998 adalah Kolonel Syafrie Syamsudin, Kolonel Mahidin Simbolon, dan Kolonel Eddi Budianto.
Pada 1976, Prabowo telah berpangkat Letnan Dua dan menjadi Komandan Peleton Grup I Kopasandha (Nama lawas Kopassus), lalu naik pangkat menjadi Komandan Kompi Grup I Kopasandha, dan Kompi Nanggala 28 hingga tahun 1980.
Tugas pertama Prabowo adalah di Timor Timur. Dia pertama menginjak kawasan itu pada Maret 1976 sebagai pasukan penggempur. Pada 1978, dia menjabat Komandan Kompi 112 dengan kode Nanggala 28 dan bekerja sama dengan beberapa anggota Batalyon 744.
Dalam operasi itu, pasukannya berhasil membunuh Presiden dan Menteri Pertahanan Frelikin Nicolao Dos Reis Labato di Timor Timur. Prabowo pun mendapat penghargaan kenaikan pangkat. Lima tahun kemudian, dia memimpin satuan tugas antigerilya.
Akhirnya Prabowo ditempatkan di Timor Timur dari tahun 1988 hingga 1989 sebagai Komandan Batalion Udara 328 Kostrad. Karier Prabowo terus naik. Pada 1980, Prabowo kembali naik jabatan menjadi Perwira Operasi di Grup I hingga tahun 1983.
Menjadi Besan Soeharto
Bulan Mei 1983, Prabowo melangsungkan pernikahan dengan Siti Hadijati Harijadi, putri keempat Presiden Soeharto yang dikenal dengan Titiek Soeharto. Dalam pernikahan itu, yang bertindak sebagai saksinya adalah Jenderal M Jusuf.
Sebelum mengenal Titiek, Prabowo sebenarnya telah mengenal seorang gadis cantik asal Yogyakarta, dan hubungan mereka telah berjalan cukup lama. Namun karena kesibukannya sebagai prajurit, kisah cintanya kedua terpaksa putus di tengah jalan.
Setelah putus dengan gadis Yogya, Prabowo juga dikabarkan masih memiliki gadis-gadis lainnya. Tetapi semua hubungan itu tidak dijalani dengan serius. Baru saat ketemu Titiek, setelah dua tahun pacaran, mereka melangsungkan pernikahan.
Pertimbangan dilangsungkannya pernikahan itu, selain karena cinta keduanya, juga karena faktor Soeharto. Sumitro yang mengetahui sepak terjang anaknya dalam menjalin asmara sempat khawatir jika Prabowo akan mempermainkan Titiek.
"If Prabowo is not serius, he'll be in trouble," kata Soemitro. Saat itu tidak pernah terbayang oleh Sumitro jika Prabowo benar-benar mempermainkan anak Soeharto. "Kalau kali ini kamu tidak serius, payah deh kamu," katanya lagi mengingatkan.
Kembali ke Medan Perang
Setelah berbulan madu, Prabowo kembali ke medan perang untuk mengepung Fretilin. Konon, pada operasi itu Prabowo terkepung pasukan Fretilin di medan yang banyak ilalang. Untuk memancing Prabowo keluar, Fretilin membakar seluruh ilalang itu.
Kabarnya, di sinilah keterampilan Prabowo sebagai prajurit diuji. Prabowo akhirnya selamat dari kepungan itu, setelah sembunyi di dalam lubang selama seharian. Karena jejaknya tidak diketahui selama 12 jam, Prabowo sempat dikabarkan hilang.
Pada 1993, Prabowo kembali bertugas di Kopassus dengan jabatan Pejabat Sementara Komandan Grup III Pusdik Kopassus dan tak lama kemudian menjadi Komandan Grup III Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpasus). Setahun kemudian, dia dipromosikan.
Prabowo kemudian naik menjadi Wakil Komandan Kopassus mendampingi Komandan Kopassus Brigjen Soebagyo Hari Siswoyo. Setelah 14 bulan, Prabowo naik satu level menggantikan Soebagyo yang dipromosikan menjadi Panglima Kodam IV/Diponegoro.
Terkait pengangkatan Prabowo sebagai Komandan Kopassus menggantikan Soebagyo, banyak yang mengatakan karena campur tangan Soeharto. Setahun setelah pengangkatan itu, Prabowo kembali naik pangkat lagi menjadi Komandan Jenderal Kopassus.
Kepemimpinan Prabowo di Kopassus membuat pasukan ini menjadi sangat ditakuti. Dia kemudian membentuk dua grup lagi dari organisasi Kopassus dari tiga grup yang sudah ada. Grup yang dibentuk Prabowo itu adalah Grup 4, dan Grup 5.
Grup 4 yang disebut Sandhi Yudha berlokasi di Cijantung, Jakarta. Grup ini berisi orang-orang pilihan dari tiga grup yang sudah ada. Mereka dilatih menjadi Intelijen Tempur yang masing-masing unitnya berjumlah paling banyak lima orang.
Orang-orang dalam Grup 4 ini tidak berpenampilan seperti tentara. Cara bicara mereka tidak patah-patah layaknya tentara, rambut panjang, dan tidak pernah hormat pada atasan jika bertemu di luar Ksatria mereka. Mereka juga tidak berseragam.
Anggota grup ini kerap menyusup ke tengah masyarakat, mulai di tingkat RT/RW, Perkumpulan Terjun Payung, Jeep Club dan lain-lain. Singkat kata, anggota-anggota grup ini memiliki kemampuan penyamaran yang sangat ahli dan sangat profesional.
Di Timor Timur, Aceh, dan Irian, mereka menyusup ke kampung-kampung dan masing-masing anggota membentuk basis perlawanan-basis perlawanan dari masyarakat lokal. Kemampuan mereka dalam mengorganisir massa sangat canggih dan terlatih.
Sedang Grup 5 atau Den 81, adalah orang pilihan dari Grup 4 dan merupakan yang terbaik yang dimiliki Kopassus. Mereka juga berkantor di Cijantung dan terisolir. Klasifikasi grup ini adalah antiteroris dan selalu mengawal kegiatan Presiden.
Karena sifatnya yang tertutup, di kalangan tentara sendiri banyak yang tidak bisa mengenali keanggotaan orang-orang di grup ini. Konon, grup ini mengikuti pola pasukan khusus Jerman GSG 9. Maklum, Prabowo adalah lulusan pendidikan GSG 9.
Pada 1995, Prabowo konon mengirimkan pasukan "ninja" ke Timor Timur dan pasukan ilegal ke Aceh untuk melancarkan aksi teror. Di kedua daerah itu, pasukan ini banyak melakukan pembunuhan-pembunuhan keji yang menimbulkan ketakutan pada warga.
Membentuk Tim Mawar
Penghujung tahun 1997, beredar rumor Prabowo akan dipromosikan menjadi Panglima Kostrad. Itu artinya bintang di pundak Prabowo bertambah satu, dari Brigjen menjadi Letjen. Saat itu, usia Prabowo masih relatif muda, yakni 46 tahun.
Akhirnya, Prabowo diangkat menjadi Pangkostrad, pasukan yang pernah dipimpin mertuanya Soeharto pada 1965/1966. Ketika Prabowo menjadi Pangkostrad, posisi Danjen Kopassus dijabat oleh orang dekat Prabowo, Mayjen TNI Muchdi PR.
Prabowo menjadi Pangkostrad menggantikan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang dipromosikan menjadi Pangdam Jaya. Setelah diangkat Pangkostrad, konon katanya Prabowo dipanggil menghadap Soeharto yang mengeluhkan banyaknya gerakan oposisi.
Soeharto meminta Prabowo untuk menertibkan gerakan-gerakan oposisi yang dapat mengganggu jalannya Sidang Umum MPR 1998 yang akan pengukuhan dirinya sebagai Presiden Ketujuh. Prabowo menjawabnya perintah itu dengan membentuk Tim Mawar.
Perintah pembentukan Tim Mawar pertama dilakukan secara lisan oleh Prabowo kepada Komandan Karsayudha 42 Grup 4/Sandhi Yuda Mayor Bambang Kristiono sebagai Komandan Satgas Merpati dengan tugas mengumpulkan data kegiatan kelompok radikal.
Setelah mendapat surat tertulis dari Danjen Kopassus, Mayor Bambang segera membentuk Tim Mawar dengan anggota 10 orang, dari perwira dan bintara Detasemen 81/Antiteror. Tugasnya, mencari dan mengungkap adanya ancaman stabilitas nasional.
Tim Mawar bergerak sangat rahasia dengan menggunakan metode hitam atau undecover. Peristiwa peledakan rumah susun di Tanah Tinggi, Jakarta, telah mendorong Mayor Bambang untuk lebih meningkatkan kerja timnya dalam mengumpulkan data intelijen.
Karena kekhawatiran adanya peningkatan kegiatan aktivis kelompok radikal, kemudian dilakukan penangkapan terhadap mereka. Sasaran penangkapan adalah orang yang belum bekeluarga, dan pria yang belum terkenal tetapi aktivitasnya menonjol.
Menculik Aktivis Prodemokrasi
Menjelang SU MPR 1998, tercatat ada 28 orang yang harus diculik atau diamankan. Mereka kebanyakan berasal dari aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dari 28 orang itu, sembilan orang di antaranya telah masuk daftar pencarian orang (DPO).
Mereka adalah Andi Arief, Nezar Patria, Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Faisol Resha, dan Raharjo Waluyojati. Selama dalam penyekapan, mereka mengalami perlakuan yang tak manusiawi, disiksa, ditelanjangi, dan disetrum.
Tidak hanya itu, mereka juga ditidurkan di atas es balok, disundut rokok, dan dipukuli hingga tak sadarkan diri. Kesembilan orang tersebut akhirnya dibebaskan dalam kondisi selamat. Masih ada 14 orang lain yang diculik oleh Tim Mawar.
Mereka adalah Yanie Afri, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Hingga kini, ke-14 orang ini masih hilang.
Penculikan oleh Tim Mawar terhadap sembilan aktivis yang berhasil dibebaskan dengan selamat dilakukan mulai 3 Februari 1998 dengan korban pertamanya Desmond J Mahesa, dan berakhir pada 27 Maret 1998 dengan sasaran aktivis Andi Arief.
Penembakan Mahasiswa Trisakti
Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat. Pangkostrad Letjen TNI Prabowo mendengar insiden penembakan mahasiswa Trisakti dari Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang menelponnya sekitar pukul 20.00 Wib.
Rumor yang beredar saat itu, penembakan tersebut dilakukan oleh Kopassus, karena dilakukan oleh penembak jitu yang hanya bisa dilakukan oleh anggota Kopassus. Namun pihak Kodam Jaya berkeyakinan para penembak berasal dari oknum polisi.
Berdasarkan uji balistik Forensic Science Agency Northern Ireland (FSANI) Belfast, diketahui bahwa proyektil barang bukti yang ditemukan di lantai gedung Syarief Thayeb ditembakkan dari jenis senjata api SS-1 kaliber 5,56 MM.
Sedang proyektil dari tbuh Hery Hartanto ditembakkan dari senjata api SS-1 kaliber 5,56 MM dan proyektil dari tubuh Hery Hartanto ditembakkan dari jenis senjata api Steyr kaliber 5,56 MM dengan perkiraan jarak tembak 100-200 meter.
Membakar Jakarta dan Daerah
Penembakan mahasiswa Trisakti memicu kerusuhan besar di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia. Kerusuhan terjadi sehari setelah penembakan, mulai 13-15 Mei 1998. Dalam kerusuhan ini, etnis Cina yang dijadikan kambing hitamnya.
Massa yang tidak diketahui identitasnya, orang-orang berbadan kekar tiba-tiba datang menggunakan truk di titik-titik yang telah ditentukan. Mereka kemudian berteriak-teriak memprovokasi warga agar toko-toko milik orang-orang Cina dibakar.
Ketika puncak peristiwa itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, menghadiri pertemuan G-15 pada 13-14 Mei 1998. Selama Soeharto ke luar negeri, tanggung jawab dalam negeri diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Menurut keterangan Gubernur DKI Jaya Sutiyoso, dalam peristiwa kerusuhan itu sebanyak 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi hangus dibakar, angkutan umum 66 buah, dan 821 motor hangus dibakar. Rumah warga yang dibakar 1.026 buah.
Jumlah bank yang dirusak massa sebanyak 64, terdiri dari 313 kantor cabang, 178 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas. Total kerugian fisik bangunan akibat kerusuhan itu mencapai angka Rp2,5 triliun lebih, belum termasuk dengan isinya.
Kerugian ini lebih buruk dari kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta yang hanya merusak 144 bangunan atau dibandingkan kasus 27 Juli 1966 yang menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan dengan kerugian Rp100 miliar.
Dari segi korban jiwa dan luka juga dampak kerusuhan ini jauh lebih besar. Bahkan konon disebut yang terbesar, setelah terjadinya peristiwa pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966.
Di Jakarta, korban-korban kerusuhan mulai berjatuhan. Pemerintah Daerah Tangerang mencatat, lebih dari seratus orang tewas terbakar dalam aksi penjarahan di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan orang tewas terbakar.
Pusat Penerangan ABRI melaporkan, jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum termasuk jumlah korban tewas yang berada di Surakarta, Jawa Tengah, Makassar, Medan, Surabaya, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Hingga kini, tidak ada jumlah pasti berapa total korban tewas akibat tragedi Mei 1998 tersebut. Untuk wilayah Jakarta saja, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah menemukan variasi angka yang berbeda-beda.
Data Tim Relawan menyebutkan, korban tewas dalam peristiwa itu mencapai angka 1.190 atau 1.339 orang akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata tajam atau dibunuh, dan 91 orang lainnya mengalami luka-luka karena berbagai sebab.
Sedangkan data Polda Metro Jaya menyatakan, 451 orang meninggal dunia, dan korban luka tidak tercatat. Data Kodam masih lebih besar, yakni 463 orang meninggal, termasuk di antaranya aparat keamanan, dan 69 orang lainnya luka-luka.
Data terakhir adalah yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta yang menyatakan korban meninggal mencapai angka 288 orang dan 101 orang lainnya mengalami luka-luka. Kebenaran angka-angka tersebut hingga kini masih belum menemui kesepakatan.
Sementara korban pelecehan seksual dan pemerkosaan dari etis Cina hingga kini masih gelap, tidak ada angka yang pasti. Ada yang menyebut wanita yang menjadi korban pemerkosaan di Jakarta berjumlah 92 orang, namun membuka peluang lebih.
Mengerahkan Pasukan ke Jakarta
Sehari setelah mundurnya Presiden Soeharto, pada 22 Mei 1998, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto melapor kepada Presiden BJ Habibie bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta melakukan konsentrasi pasukan di Kuningan dan Istana Negara.
Habibie lalu menjawab tegas, "Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing."
Saat mendengar jawaban Habibie, Wiranto sempat kaget dan kembali bertanya, "Sebelum matahari terbenam?" Dan ditegaskan lagi, "Saya ulangi, sebelum matahari terbenam!" Kepada penggantinya, Habibie menyerahkan sepenuhnya kepada Wiranto.
Maka, Wiranto mengusulkan untuk sementara jabatan Pangkostrad diemban oleh Asisten Operasi Pangab Letjen Johny Lumintang. Dia diminta untuk segera mengembalikan semua pasukan ke basis masing-masing, sebelum matahari terbenam.
Besoknya, 23 Mei 1998, atas usul Wiranto, akhirnya Panglima Divisi Siliwangi Mayjen Djamari Chaniago dilantik menjadi Pangkostrad menggantikan Prabowo. Setelah pembicaraan dengan Wiranto selesai, Prabowo datang menghadap Habibie.
Akhirnya Habibie menerima Prabowo. Dengan menggunakan bahasa Inggris, Prabowo yang datang dalam keadaan marah mengatakan, "Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto. Anda telah memeceat saya," katanya.
"Anda tidak dipecat, tetapi jabatan anda diganti," kata Habibie. "Mengapa?" sergah Prabowo. Lalu Habibie menjelaskan bahwa dirinya mendapat laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kunungan, dan Istana Negara.
"Saya bermaksud mengamankan Presiden," kata Prabowo. Tetapi dijawab Habibie itu bukan tugas Prabowo, melainkan Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Pangab. "Presiden apa anda? Anda naif!" tegas Prabowo.
"Atas nama ayah saya Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta anda memberikan saya tidak bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad," mohon Prabowo. Namun ditolak dengan tegas oleh Habibie.
"Tidak! Sebelum mahatari terbenam semua pasukan sudah harus diserahkan kepada Pangkostrad baru! Saya bersedia mengangkat anda menjadi duta besar di mana saja," tegas Habibie. "Yang saya kehendaki adalah pasukan saya," timpal Prabowo.
Pertemuan panas itu akhirnya ditutup dengan pelukan Habibie kepada Prabowo. Menurut Habibie, inisiatif Prabowo untuk mengamankan Presiden sangat bagus. Tetapi sayang, tidak dikomunikasikan terlebih dahulu kepada Panglima ABRI.
Akhir Riwayat Prabowo
Pada 25 Mei 1998, Letjen TNI Prabowo akhirnya secara resmi dicopot dari Pangkostrad. Kemudian dia dikirim ke Bandung untuk menjadi Komandan Sesko ABRI. Tidak berapa lama, Wiranto mengakhiri karier militer Prabowo yang gemilang.
Saat tidak lagi menjadi militer, Prabowo menyingkir ke Yordania dan memulai hidup baru. Sebelum pergi, dia melapor kepada Wiranto tentang niatnya. "Ya, sudah pergi saja ke luar, tak apa-apa. Jauhkan pikiran kamu dari Mahmil!" kata Wiranto.
Tindakan Wiranto selanjutnya adalah dengan membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai Kepala Staf Angkatan Darat (AD) Jenderal Subagyo HS. DKP kemudian memerika Prabowo, Muchdi PR, dan Chairawan terkait penculikan aktivis.
Hasilnya, Prabowo dinyatakan bersalah atas kasus penculikan tersebut dan dibebaskan dari masa dinasnya atau diberhentikan dengan hormat dari ABRI. Sedang Muchdi PR dan Chairawan dibebaskan dari semua tugas, dan jabatan struktural di ABRI.
Sayangnya, setelah pemeriksaan terhadap Prabowo dan penjatuhan vonis terhadapnya, kasus penculikan itu terhenti. Padahal, sosok yang memberikan perintah kepada Prabowo hingga kini masih belum diketahui, apakah KSAD, Pangab, atau Pangti ABRI.
Hingga kini, Prabowo tetap tidak bicara perihal tersebut. Sikap diam Prabowo ini membuat kasus tersebut terus diselimuti bayang-bayang. Apalagi, dalam penculikan itu masih ada 14 orang lagi yang hingga kini masih belum kembali.
Sementara dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Prabowo datang mengunjungi salah satu rumah korban tewas Hey Hartanto dan menyatakan sumpah Alquran di depan orangtua korban bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan penembakan tersebut.
Pada kerusuhan massal yang terjadi 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah daerah, hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kembali memberatkan Prabowo dan merekomendasikan pengusutan lebih jauh tentang peran Prabowo dalam peristiwa itu.
Sumber Tulisan
* Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, THC Mandiri, Cetakan Kedua, September 2006.
* Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Komando, Kompas, Cetakan Keempat, Maret 2009.
* Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Kedua, Mei 2000.
* Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998, Institute for Policy Studies, Cetakan IV, Mei 2004.
* Tim Buku Tempo, Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil, KPG, 2010.
* Femi Adi Soempeno, Prabowo Titisan Soeharto? Mencari Pemimpin Baru di Masa Paceklik, Galangpress, Cetakan I, 2008.
Meski telah berlangsung selama 18 tahun, peristiwa yang memakan ribuan korban jiwa tersebut hingga kini masih diselimuti berbagai misteri. Bagaimana jalannya berbagai peristiwa tersebut, dan sejauh mana keterlibatan Prabowo? Berikut ulasannya.
Prabowo lahir pada 17 Oktober 1951. Dia adalah anak ketiga dari pasangan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo dan Dora Marie Sigar. Pada Februari 1958, ayah Prabowo bergabung dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Saat itu Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI. Tidak hanya Sumitro, sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) lainnya juga dinyatakan terlibat dalam pemberontakan pada era Presiden Soekarno itu.
Sikap pemberontak Sumitro berasal dari leluhurnya. Ibunya Siti Katoemi Wirodihardjo merupakan keturunan Raden Tumenggung Wiroreno, pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung antara tahun 1825-1830.
Dikemudian hari, sikap memberontak ini juga tampak pada diri Prabowo. Prabowo juga dikenal sebagai orang yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi dengan kesukuan yang kental. Sikap ini ternyata menurun dari pribadi kakeknya.
Kakek Prabowo adalah Raden Mas (RM) Margono Djojohadikusumo, pengikut gerakan Boedi Oetomo (BO) dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Dari kakeknya inilah, Prabowo mewarisi jiwa bisnis yang sukses dijalaninya kemudian hari.
Kehidupan Masa Kecil
Kehidupan masa kecil Prabowo banyak dihabiskan di luar negeri. Saat pemberontakan yang dilakukan ayahnya menemui kegagalan setelah pesawat pilot anggota Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) Allan Pope tertembak jatuh di Ambon pada Mei 1958.
Untuk menghindari penangkapan, Sumitro melarikan diri ke luar negeri dengan mengajak seluruh anggota keluarganya. Usia Prabowo saat itu baru lima setengah tahun. Selama di luar negeri, Sumitro tidak pernah menetap lebih dari dua tahun.
Di Singapura, keluarga Sumitro menetap dua tahun, kemudian pindah ke Hong Kong dan menetap di sana selama satu tahun. Dari Hong Kong, Sumitro pindah ke Kuala Lumpur, lalu ke Zurich Swiss, terus ke London, dan akhirnya menetap di Bangkok.
Dari kehidupan sebagai keluarga buronan inilah Prabowo mulai belajar politik. Pernah suatu ketika, saat berada di Kuala Lumpur, Prabowo diejek oleh teman-teman sekelasnya. Ejekan itu sangat menghina Indonesia dan Presiden-nya Soekarno.
Meski secara politik keluarga Probowo kontra dengan Soekarno, tetapi saat Indonesia dan Presiden-nya dihina oleh orang asing, Prabowo tetap tidak terima. Semua peristiwa itu kemudian diceritakan Prabowo kepada ayahnya dan mereka pun pindah.
"Kenapa membawa kita ke negeri ini? Saya tahu Papi berseberangan dengan Soekarno. Tapi, saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Soekarno!" keluh Prabowo kepada ayahnya.
Meniti Karir Militer
Setelah 10 tahun tinggal di luar negeri, Sumitro dan keluarganya kembali ke Tanah Air pada 1960. Saat itu Prabowo telah menyelesaikan sekolah menengahnya di American School, London. Kemudian dia mendaftar masuk kampus di Amerika Serikat.
Prabowo diterima masuk di tiga universitas di Amerika, salah satunya Universitas Colorado. Namun Prabowo tidak meneruskan sekolahnya di Amerika. Dia lebih memilih masuk Akademi Militer Nasional (AMN) sebagai Taruna Akabri Darat Magelang.
Prabowo menamatkan AMN tahun 1974 dan bertugas dalam pasukan tempur. Beberapa angkatannya yang sama dengannya dan kemudian memegang peran penting pada 1998 adalah Kolonel Syafrie Syamsudin, Kolonel Mahidin Simbolon, dan Kolonel Eddi Budianto.
Pada 1976, Prabowo telah berpangkat Letnan Dua dan menjadi Komandan Peleton Grup I Kopasandha (Nama lawas Kopassus), lalu naik pangkat menjadi Komandan Kompi Grup I Kopasandha, dan Kompi Nanggala 28 hingga tahun 1980.
Tugas pertama Prabowo adalah di Timor Timur. Dia pertama menginjak kawasan itu pada Maret 1976 sebagai pasukan penggempur. Pada 1978, dia menjabat Komandan Kompi 112 dengan kode Nanggala 28 dan bekerja sama dengan beberapa anggota Batalyon 744.
Dalam operasi itu, pasukannya berhasil membunuh Presiden dan Menteri Pertahanan Frelikin Nicolao Dos Reis Labato di Timor Timur. Prabowo pun mendapat penghargaan kenaikan pangkat. Lima tahun kemudian, dia memimpin satuan tugas antigerilya.
Akhirnya Prabowo ditempatkan di Timor Timur dari tahun 1988 hingga 1989 sebagai Komandan Batalion Udara 328 Kostrad. Karier Prabowo terus naik. Pada 1980, Prabowo kembali naik jabatan menjadi Perwira Operasi di Grup I hingga tahun 1983.
Menjadi Besan Soeharto
Bulan Mei 1983, Prabowo melangsungkan pernikahan dengan Siti Hadijati Harijadi, putri keempat Presiden Soeharto yang dikenal dengan Titiek Soeharto. Dalam pernikahan itu, yang bertindak sebagai saksinya adalah Jenderal M Jusuf.
Sebelum mengenal Titiek, Prabowo sebenarnya telah mengenal seorang gadis cantik asal Yogyakarta, dan hubungan mereka telah berjalan cukup lama. Namun karena kesibukannya sebagai prajurit, kisah cintanya kedua terpaksa putus di tengah jalan.
Setelah putus dengan gadis Yogya, Prabowo juga dikabarkan masih memiliki gadis-gadis lainnya. Tetapi semua hubungan itu tidak dijalani dengan serius. Baru saat ketemu Titiek, setelah dua tahun pacaran, mereka melangsungkan pernikahan.
Pertimbangan dilangsungkannya pernikahan itu, selain karena cinta keduanya, juga karena faktor Soeharto. Sumitro yang mengetahui sepak terjang anaknya dalam menjalin asmara sempat khawatir jika Prabowo akan mempermainkan Titiek.
"If Prabowo is not serius, he'll be in trouble," kata Soemitro. Saat itu tidak pernah terbayang oleh Sumitro jika Prabowo benar-benar mempermainkan anak Soeharto. "Kalau kali ini kamu tidak serius, payah deh kamu," katanya lagi mengingatkan.
Kembali ke Medan Perang
Setelah berbulan madu, Prabowo kembali ke medan perang untuk mengepung Fretilin. Konon, pada operasi itu Prabowo terkepung pasukan Fretilin di medan yang banyak ilalang. Untuk memancing Prabowo keluar, Fretilin membakar seluruh ilalang itu.
Kabarnya, di sinilah keterampilan Prabowo sebagai prajurit diuji. Prabowo akhirnya selamat dari kepungan itu, setelah sembunyi di dalam lubang selama seharian. Karena jejaknya tidak diketahui selama 12 jam, Prabowo sempat dikabarkan hilang.
Pada 1993, Prabowo kembali bertugas di Kopassus dengan jabatan Pejabat Sementara Komandan Grup III Pusdik Kopassus dan tak lama kemudian menjadi Komandan Grup III Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpasus). Setahun kemudian, dia dipromosikan.
Prabowo kemudian naik menjadi Wakil Komandan Kopassus mendampingi Komandan Kopassus Brigjen Soebagyo Hari Siswoyo. Setelah 14 bulan, Prabowo naik satu level menggantikan Soebagyo yang dipromosikan menjadi Panglima Kodam IV/Diponegoro.
Terkait pengangkatan Prabowo sebagai Komandan Kopassus menggantikan Soebagyo, banyak yang mengatakan karena campur tangan Soeharto. Setahun setelah pengangkatan itu, Prabowo kembali naik pangkat lagi menjadi Komandan Jenderal Kopassus.
Kepemimpinan Prabowo di Kopassus membuat pasukan ini menjadi sangat ditakuti. Dia kemudian membentuk dua grup lagi dari organisasi Kopassus dari tiga grup yang sudah ada. Grup yang dibentuk Prabowo itu adalah Grup 4, dan Grup 5.
Grup 4 yang disebut Sandhi Yudha berlokasi di Cijantung, Jakarta. Grup ini berisi orang-orang pilihan dari tiga grup yang sudah ada. Mereka dilatih menjadi Intelijen Tempur yang masing-masing unitnya berjumlah paling banyak lima orang.
Orang-orang dalam Grup 4 ini tidak berpenampilan seperti tentara. Cara bicara mereka tidak patah-patah layaknya tentara, rambut panjang, dan tidak pernah hormat pada atasan jika bertemu di luar Ksatria mereka. Mereka juga tidak berseragam.
Anggota grup ini kerap menyusup ke tengah masyarakat, mulai di tingkat RT/RW, Perkumpulan Terjun Payung, Jeep Club dan lain-lain. Singkat kata, anggota-anggota grup ini memiliki kemampuan penyamaran yang sangat ahli dan sangat profesional.
Di Timor Timur, Aceh, dan Irian, mereka menyusup ke kampung-kampung dan masing-masing anggota membentuk basis perlawanan-basis perlawanan dari masyarakat lokal. Kemampuan mereka dalam mengorganisir massa sangat canggih dan terlatih.
Sedang Grup 5 atau Den 81, adalah orang pilihan dari Grup 4 dan merupakan yang terbaik yang dimiliki Kopassus. Mereka juga berkantor di Cijantung dan terisolir. Klasifikasi grup ini adalah antiteroris dan selalu mengawal kegiatan Presiden.
Karena sifatnya yang tertutup, di kalangan tentara sendiri banyak yang tidak bisa mengenali keanggotaan orang-orang di grup ini. Konon, grup ini mengikuti pola pasukan khusus Jerman GSG 9. Maklum, Prabowo adalah lulusan pendidikan GSG 9.
Pada 1995, Prabowo konon mengirimkan pasukan "ninja" ke Timor Timur dan pasukan ilegal ke Aceh untuk melancarkan aksi teror. Di kedua daerah itu, pasukan ini banyak melakukan pembunuhan-pembunuhan keji yang menimbulkan ketakutan pada warga.
Membentuk Tim Mawar
Penghujung tahun 1997, beredar rumor Prabowo akan dipromosikan menjadi Panglima Kostrad. Itu artinya bintang di pundak Prabowo bertambah satu, dari Brigjen menjadi Letjen. Saat itu, usia Prabowo masih relatif muda, yakni 46 tahun.
Akhirnya, Prabowo diangkat menjadi Pangkostrad, pasukan yang pernah dipimpin mertuanya Soeharto pada 1965/1966. Ketika Prabowo menjadi Pangkostrad, posisi Danjen Kopassus dijabat oleh orang dekat Prabowo, Mayjen TNI Muchdi PR.
Prabowo menjadi Pangkostrad menggantikan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang dipromosikan menjadi Pangdam Jaya. Setelah diangkat Pangkostrad, konon katanya Prabowo dipanggil menghadap Soeharto yang mengeluhkan banyaknya gerakan oposisi.
Soeharto meminta Prabowo untuk menertibkan gerakan-gerakan oposisi yang dapat mengganggu jalannya Sidang Umum MPR 1998 yang akan pengukuhan dirinya sebagai Presiden Ketujuh. Prabowo menjawabnya perintah itu dengan membentuk Tim Mawar.
Perintah pembentukan Tim Mawar pertama dilakukan secara lisan oleh Prabowo kepada Komandan Karsayudha 42 Grup 4/Sandhi Yuda Mayor Bambang Kristiono sebagai Komandan Satgas Merpati dengan tugas mengumpulkan data kegiatan kelompok radikal.
Setelah mendapat surat tertulis dari Danjen Kopassus, Mayor Bambang segera membentuk Tim Mawar dengan anggota 10 orang, dari perwira dan bintara Detasemen 81/Antiteror. Tugasnya, mencari dan mengungkap adanya ancaman stabilitas nasional.
Tim Mawar bergerak sangat rahasia dengan menggunakan metode hitam atau undecover. Peristiwa peledakan rumah susun di Tanah Tinggi, Jakarta, telah mendorong Mayor Bambang untuk lebih meningkatkan kerja timnya dalam mengumpulkan data intelijen.
Karena kekhawatiran adanya peningkatan kegiatan aktivis kelompok radikal, kemudian dilakukan penangkapan terhadap mereka. Sasaran penangkapan adalah orang yang belum bekeluarga, dan pria yang belum terkenal tetapi aktivitasnya menonjol.
Menculik Aktivis Prodemokrasi
Menjelang SU MPR 1998, tercatat ada 28 orang yang harus diculik atau diamankan. Mereka kebanyakan berasal dari aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dari 28 orang itu, sembilan orang di antaranya telah masuk daftar pencarian orang (DPO).
Mereka adalah Andi Arief, Nezar Patria, Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Faisol Resha, dan Raharjo Waluyojati. Selama dalam penyekapan, mereka mengalami perlakuan yang tak manusiawi, disiksa, ditelanjangi, dan disetrum.
Tidak hanya itu, mereka juga ditidurkan di atas es balok, disundut rokok, dan dipukuli hingga tak sadarkan diri. Kesembilan orang tersebut akhirnya dibebaskan dalam kondisi selamat. Masih ada 14 orang lain yang diculik oleh Tim Mawar.
Mereka adalah Yanie Afri, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Hingga kini, ke-14 orang ini masih hilang.
Penculikan oleh Tim Mawar terhadap sembilan aktivis yang berhasil dibebaskan dengan selamat dilakukan mulai 3 Februari 1998 dengan korban pertamanya Desmond J Mahesa, dan berakhir pada 27 Maret 1998 dengan sasaran aktivis Andi Arief.
Penembakan Mahasiswa Trisakti
Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat. Pangkostrad Letjen TNI Prabowo mendengar insiden penembakan mahasiswa Trisakti dari Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang menelponnya sekitar pukul 20.00 Wib.
Rumor yang beredar saat itu, penembakan tersebut dilakukan oleh Kopassus, karena dilakukan oleh penembak jitu yang hanya bisa dilakukan oleh anggota Kopassus. Namun pihak Kodam Jaya berkeyakinan para penembak berasal dari oknum polisi.
Berdasarkan uji balistik Forensic Science Agency Northern Ireland (FSANI) Belfast, diketahui bahwa proyektil barang bukti yang ditemukan di lantai gedung Syarief Thayeb ditembakkan dari jenis senjata api SS-1 kaliber 5,56 MM.
Sedang proyektil dari tbuh Hery Hartanto ditembakkan dari senjata api SS-1 kaliber 5,56 MM dan proyektil dari tubuh Hery Hartanto ditembakkan dari jenis senjata api Steyr kaliber 5,56 MM dengan perkiraan jarak tembak 100-200 meter.
Membakar Jakarta dan Daerah
Penembakan mahasiswa Trisakti memicu kerusuhan besar di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia. Kerusuhan terjadi sehari setelah penembakan, mulai 13-15 Mei 1998. Dalam kerusuhan ini, etnis Cina yang dijadikan kambing hitamnya.
Massa yang tidak diketahui identitasnya, orang-orang berbadan kekar tiba-tiba datang menggunakan truk di titik-titik yang telah ditentukan. Mereka kemudian berteriak-teriak memprovokasi warga agar toko-toko milik orang-orang Cina dibakar.
Ketika puncak peristiwa itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, menghadiri pertemuan G-15 pada 13-14 Mei 1998. Selama Soeharto ke luar negeri, tanggung jawab dalam negeri diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Menurut keterangan Gubernur DKI Jaya Sutiyoso, dalam peristiwa kerusuhan itu sebanyak 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi hangus dibakar, angkutan umum 66 buah, dan 821 motor hangus dibakar. Rumah warga yang dibakar 1.026 buah.
Jumlah bank yang dirusak massa sebanyak 64, terdiri dari 313 kantor cabang, 178 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas. Total kerugian fisik bangunan akibat kerusuhan itu mencapai angka Rp2,5 triliun lebih, belum termasuk dengan isinya.
Kerugian ini lebih buruk dari kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta yang hanya merusak 144 bangunan atau dibandingkan kasus 27 Juli 1966 yang menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan dengan kerugian Rp100 miliar.
Dari segi korban jiwa dan luka juga dampak kerusuhan ini jauh lebih besar. Bahkan konon disebut yang terbesar, setelah terjadinya peristiwa pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966.
Di Jakarta, korban-korban kerusuhan mulai berjatuhan. Pemerintah Daerah Tangerang mencatat, lebih dari seratus orang tewas terbakar dalam aksi penjarahan di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan orang tewas terbakar.
Pusat Penerangan ABRI melaporkan, jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum termasuk jumlah korban tewas yang berada di Surakarta, Jawa Tengah, Makassar, Medan, Surabaya, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Hingga kini, tidak ada jumlah pasti berapa total korban tewas akibat tragedi Mei 1998 tersebut. Untuk wilayah Jakarta saja, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah menemukan variasi angka yang berbeda-beda.
Data Tim Relawan menyebutkan, korban tewas dalam peristiwa itu mencapai angka 1.190 atau 1.339 orang akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata tajam atau dibunuh, dan 91 orang lainnya mengalami luka-luka karena berbagai sebab.
Sedangkan data Polda Metro Jaya menyatakan, 451 orang meninggal dunia, dan korban luka tidak tercatat. Data Kodam masih lebih besar, yakni 463 orang meninggal, termasuk di antaranya aparat keamanan, dan 69 orang lainnya luka-luka.
Data terakhir adalah yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta yang menyatakan korban meninggal mencapai angka 288 orang dan 101 orang lainnya mengalami luka-luka. Kebenaran angka-angka tersebut hingga kini masih belum menemui kesepakatan.
Sementara korban pelecehan seksual dan pemerkosaan dari etis Cina hingga kini masih gelap, tidak ada angka yang pasti. Ada yang menyebut wanita yang menjadi korban pemerkosaan di Jakarta berjumlah 92 orang, namun membuka peluang lebih.
Mengerahkan Pasukan ke Jakarta
Sehari setelah mundurnya Presiden Soeharto, pada 22 Mei 1998, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto melapor kepada Presiden BJ Habibie bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta melakukan konsentrasi pasukan di Kuningan dan Istana Negara.
Habibie lalu menjawab tegas, "Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing."
Saat mendengar jawaban Habibie, Wiranto sempat kaget dan kembali bertanya, "Sebelum matahari terbenam?" Dan ditegaskan lagi, "Saya ulangi, sebelum matahari terbenam!" Kepada penggantinya, Habibie menyerahkan sepenuhnya kepada Wiranto.
Maka, Wiranto mengusulkan untuk sementara jabatan Pangkostrad diemban oleh Asisten Operasi Pangab Letjen Johny Lumintang. Dia diminta untuk segera mengembalikan semua pasukan ke basis masing-masing, sebelum matahari terbenam.
Besoknya, 23 Mei 1998, atas usul Wiranto, akhirnya Panglima Divisi Siliwangi Mayjen Djamari Chaniago dilantik menjadi Pangkostrad menggantikan Prabowo. Setelah pembicaraan dengan Wiranto selesai, Prabowo datang menghadap Habibie.
Akhirnya Habibie menerima Prabowo. Dengan menggunakan bahasa Inggris, Prabowo yang datang dalam keadaan marah mengatakan, "Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto. Anda telah memeceat saya," katanya.
"Anda tidak dipecat, tetapi jabatan anda diganti," kata Habibie. "Mengapa?" sergah Prabowo. Lalu Habibie menjelaskan bahwa dirinya mendapat laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kunungan, dan Istana Negara.
"Saya bermaksud mengamankan Presiden," kata Prabowo. Tetapi dijawab Habibie itu bukan tugas Prabowo, melainkan Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Pangab. "Presiden apa anda? Anda naif!" tegas Prabowo.
"Atas nama ayah saya Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta anda memberikan saya tidak bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad," mohon Prabowo. Namun ditolak dengan tegas oleh Habibie.
"Tidak! Sebelum mahatari terbenam semua pasukan sudah harus diserahkan kepada Pangkostrad baru! Saya bersedia mengangkat anda menjadi duta besar di mana saja," tegas Habibie. "Yang saya kehendaki adalah pasukan saya," timpal Prabowo.
Pertemuan panas itu akhirnya ditutup dengan pelukan Habibie kepada Prabowo. Menurut Habibie, inisiatif Prabowo untuk mengamankan Presiden sangat bagus. Tetapi sayang, tidak dikomunikasikan terlebih dahulu kepada Panglima ABRI.
Akhir Riwayat Prabowo
Pada 25 Mei 1998, Letjen TNI Prabowo akhirnya secara resmi dicopot dari Pangkostrad. Kemudian dia dikirim ke Bandung untuk menjadi Komandan Sesko ABRI. Tidak berapa lama, Wiranto mengakhiri karier militer Prabowo yang gemilang.
Saat tidak lagi menjadi militer, Prabowo menyingkir ke Yordania dan memulai hidup baru. Sebelum pergi, dia melapor kepada Wiranto tentang niatnya. "Ya, sudah pergi saja ke luar, tak apa-apa. Jauhkan pikiran kamu dari Mahmil!" kata Wiranto.
Tindakan Wiranto selanjutnya adalah dengan membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai Kepala Staf Angkatan Darat (AD) Jenderal Subagyo HS. DKP kemudian memerika Prabowo, Muchdi PR, dan Chairawan terkait penculikan aktivis.
Hasilnya, Prabowo dinyatakan bersalah atas kasus penculikan tersebut dan dibebaskan dari masa dinasnya atau diberhentikan dengan hormat dari ABRI. Sedang Muchdi PR dan Chairawan dibebaskan dari semua tugas, dan jabatan struktural di ABRI.
Sayangnya, setelah pemeriksaan terhadap Prabowo dan penjatuhan vonis terhadapnya, kasus penculikan itu terhenti. Padahal, sosok yang memberikan perintah kepada Prabowo hingga kini masih belum diketahui, apakah KSAD, Pangab, atau Pangti ABRI.
Hingga kini, Prabowo tetap tidak bicara perihal tersebut. Sikap diam Prabowo ini membuat kasus tersebut terus diselimuti bayang-bayang. Apalagi, dalam penculikan itu masih ada 14 orang lagi yang hingga kini masih belum kembali.
Sementara dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Prabowo datang mengunjungi salah satu rumah korban tewas Hey Hartanto dan menyatakan sumpah Alquran di depan orangtua korban bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan penembakan tersebut.
Pada kerusuhan massal yang terjadi 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah daerah, hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kembali memberatkan Prabowo dan merekomendasikan pengusutan lebih jauh tentang peran Prabowo dalam peristiwa itu.
Sumber Tulisan
* Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, THC Mandiri, Cetakan Kedua, September 2006.
* Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Komando, Kompas, Cetakan Keempat, Maret 2009.
* Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Kedua, Mei 2000.
* Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998, Institute for Policy Studies, Cetakan IV, Mei 2004.
* Tim Buku Tempo, Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil, KPG, 2010.
* Femi Adi Soempeno, Prabowo Titisan Soeharto? Mencari Pemimpin Baru di Masa Paceklik, Galangpress, Cetakan I, 2008.
(san)