Anggun dan Mempesona, Alasan Raja Mataram Gemar Mencari Selir dari Jawa Timur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sudah menjadi hal yang lumrah jika raja memiliki selir , selain permaisuri. Konon, selir para raja itu bisa puluhan banyaknya. Sedikit banyak selir, semua tergantung pada selera raja. Bahkan para selir didatang dari daerah mana, tergantung selera raja.
Raja Mataram misalnya, sangat menyukai selir yang berasal dari Jawa Timur. Umumnya, raja mendatangkan selir dari daerah yang memang terkenal dengan gadis-gadis berparas cantik. Paras cantik menjadi syarat seorang gadis bisa diboyong ke istana raja.
Sejak era kerajaan Mataram Islam, ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan. Di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur. Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.
Namun, kriteria paras cantik bukan satu-satunya. Raja Mataram juga biasanya memiliki kriteria lain saat mencari selir, yaitu sifat lemah lembut serta anggun memesona. Karena itu, raja Mataram lebih suka mendatangkan selir dari daerah Jawa Timur. Selir-selir asal Jawa Timur dinilai memiliki sifat lembut dan anggun.
Sekedar catatan, tradisi mengambil perempuan sebagai selir oleh raja Jawa kerap disalahartikan berbeda oleh kolonial Belanda. Selir yang berasal dari kata sineliran atau yang dipilih, ditafsirkan Belanda secara serampangan sebagai bijwijf atau concubine alias gundik atau perempuan simpanan.
Dalam hal ini, sebenarnya Belanda kurang memahami lebih dalam dari berkembangnya tradisi selir. Kolonial Belanda sepintas melihat seolah selir itu melulu untuk memenuhi kebutuhan seksual raja.
Padahal di dalam tradisi selir tersimpan misi politik. Pada masa kerajaan Mataram Islam misalnya. Pengambilan selir yang kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu taktik untuk mempertahankan kekuasaan.
Selir yang diambil seringkali berasal dari putri para bangsawan bawahan. Selir menjadi tanda loyalitas bangsawan terhadap raja. Tak heran, tidak sedikit bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti, tanda takluk.
Kendati demikian, banyak rakyat biasa yang sukarela menyerahkan putrinya sebagai selir. Jika si anak melahirkan keturunan raja, keluarga dari rakyat jelata itu berharap derajat sosialnya akan ikut terangkat.
Dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018), disebutkan bahwa upaya mengambil selir atau kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu strategi kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu dikenal juga sebagai perkawinan politik. Suatu perpaduan antara motif politik dan seksual.
Namun, yang memprihatinkan, posisi perempuan yang hendak menjadi calon selir menjadi semacam komoditas. Sebab tidak semua perempuan yang dibawa ke keraton berhasil dipinang sebagai selir raja.
Mereka yang gagal itu lantas ditempatkan di daerah terpencil, yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi.
Pergeseran nilai itu menemukan bentuknya pasca Perang Jawa (1825-1830). Yakni di mana ketika kolonial Belanda mulai membuka proyek perkebunan, pembangunan jalan raya, pendirian pabrik gula, serta mengintensifkan pelabuhan.
Banyak pekerja yang rata-rata laki-laki merasa kesepian dan butuh dekapan perempuan. Lagi-lagi salam buku Bukan Tabu Nusantara disebutkan bahwa pada masa kolonial Belanda, 11 Kabupaten di Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja itu, bergeser menjadi pemasok praktik prostitusi.
Kabupaten-kabupaten itu sekarang justru menjadi “pemasok” perempuan untuk prostitusi di kota-kota besar.
Raja Mataram misalnya, sangat menyukai selir yang berasal dari Jawa Timur. Umumnya, raja mendatangkan selir dari daerah yang memang terkenal dengan gadis-gadis berparas cantik. Paras cantik menjadi syarat seorang gadis bisa diboyong ke istana raja.
Sejak era kerajaan Mataram Islam, ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan. Di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur. Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.
Namun, kriteria paras cantik bukan satu-satunya. Raja Mataram juga biasanya memiliki kriteria lain saat mencari selir, yaitu sifat lemah lembut serta anggun memesona. Karena itu, raja Mataram lebih suka mendatangkan selir dari daerah Jawa Timur. Selir-selir asal Jawa Timur dinilai memiliki sifat lembut dan anggun.
Sekedar catatan, tradisi mengambil perempuan sebagai selir oleh raja Jawa kerap disalahartikan berbeda oleh kolonial Belanda. Selir yang berasal dari kata sineliran atau yang dipilih, ditafsirkan Belanda secara serampangan sebagai bijwijf atau concubine alias gundik atau perempuan simpanan.
Dalam hal ini, sebenarnya Belanda kurang memahami lebih dalam dari berkembangnya tradisi selir. Kolonial Belanda sepintas melihat seolah selir itu melulu untuk memenuhi kebutuhan seksual raja.
Padahal di dalam tradisi selir tersimpan misi politik. Pada masa kerajaan Mataram Islam misalnya. Pengambilan selir yang kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu taktik untuk mempertahankan kekuasaan.
Selir yang diambil seringkali berasal dari putri para bangsawan bawahan. Selir menjadi tanda loyalitas bangsawan terhadap raja. Tak heran, tidak sedikit bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti, tanda takluk.
Kendati demikian, banyak rakyat biasa yang sukarela menyerahkan putrinya sebagai selir. Jika si anak melahirkan keturunan raja, keluarga dari rakyat jelata itu berharap derajat sosialnya akan ikut terangkat.
Dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018), disebutkan bahwa upaya mengambil selir atau kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu strategi kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu dikenal juga sebagai perkawinan politik. Suatu perpaduan antara motif politik dan seksual.
Namun, yang memprihatinkan, posisi perempuan yang hendak menjadi calon selir menjadi semacam komoditas. Sebab tidak semua perempuan yang dibawa ke keraton berhasil dipinang sebagai selir raja.
Mereka yang gagal itu lantas ditempatkan di daerah terpencil, yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi.
Pergeseran nilai itu menemukan bentuknya pasca Perang Jawa (1825-1830). Yakni di mana ketika kolonial Belanda mulai membuka proyek perkebunan, pembangunan jalan raya, pendirian pabrik gula, serta mengintensifkan pelabuhan.
Banyak pekerja yang rata-rata laki-laki merasa kesepian dan butuh dekapan perempuan. Lagi-lagi salam buku Bukan Tabu Nusantara disebutkan bahwa pada masa kolonial Belanda, 11 Kabupaten di Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja itu, bergeser menjadi pemasok praktik prostitusi.
Kabupaten-kabupaten itu sekarang justru menjadi “pemasok” perempuan untuk prostitusi di kota-kota besar.
(don)