Taiwan Tarik Indomie karena Terdeteksi Ada Kandungan Karsinogenik, Begini Penjelasan Ahli Gizi
loading...
A
A
A
SURABAYA - Departemen Kesehatan Taipei dan Kementrian Kesehatan Malaysia resmi menarik produk Indomie Rasa Ayam Spesial di negaranya. Hal itu disebabkan karena ditemukannya kandungan Etilen Oksida (EtO) yang berada di atas ambang batas Otoritas Badan Makanan dan Obat-obatan Taiwan (FDA). Kandungan itu dianggap mengandung zat pemicu kanker atau zat karsinogenik.
Ahli Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Dominikus Raditya Atmaka SGz MPH menuturkan, EtO terdeteksi dalam bumbu mie instan tersebut. EtO sebenarnya adalah pestisida yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab penyakit tanaman dalam dunia pertanian. Baca juga: Mi Instan Indonesia Disebut Mengandung Zat Pemicu Kanker, Kemendag: Kita Cek Dulu
“EtO sendiri seharusnya tidak ada dalam makanan karena bukan merupakan bahan tambahan pangan. Yang seringkali terdeteksi adalah residu EtO non volatile,” katanya, Rabu (3/5/2023).
Ia menambahkan, bahwa yang sering terdeteksi ialah residu EtO non volatil yang masih menempel dalam bahan baku pembuatan produk. Biasanya bahan baku tersebut berasal dari pertanian seperti gandum yang menjadi bahan baku pembuatan tepung terigu.
Ia pun menilai kalau setiap negara memiliki regulasinya masing-masing terkait batas aman bahan makanan untuk setiap sajian. Hal ini tergantung akan tingkat kesehatan populasi dan jenis penyakit yang lazim ada dalam negara tersebut. Maka bisa saja kadar di Indonesia akan aman, namun tidak di negara lain.
Eropa misalnya, EtO yang diperbolehkan maksimal 0,1 mg/kg sedangkan di Indonesia masih belum terdapat regulasi yang pasti terkait EtO. Sama halnya dengan siklamat yang digunakan sebagai pemanis buatan, di Indonesia masih diperbolehkan digunakan sedangkan di Amerika sudah tidak karena tingginya kasus kerusakan organik.
Dari situasi itu, katanya, terdapat perbedaan antara regulasi mengenai kandungan EtO di Indonesia dan kedua negara tersebut, Malaysia dan Taiwan. Ia pun menyampaikan bahwa dalam jumlah yang sangat kecil sebenarnya EtO tidak memberikan dampak buruk untuk manusia karena masih bisa dibersihkan oleh tubuh.
“Namun jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan sering maka dapat menyebabkan kerusakan organik seperti sirosis hati dan lainnya,” jelasnya.
Bagi masyarakat, dirinya berpesan untuk mampu menjaga asupan makanan yang dikonsumsi. Karena jika tidak menjaga, makanan yang dikonsumsi akan berdampak pada terbentuknya penyakit dalam tubuh. Terutama jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan sering.
“Bijaklah dalam memilih makanan. Biasakan membaca komposisi bahan baku dan nilai gizi dalam kemasan makanan,” katanya.
Ahli Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Dominikus Raditya Atmaka SGz MPH menuturkan, EtO terdeteksi dalam bumbu mie instan tersebut. EtO sebenarnya adalah pestisida yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab penyakit tanaman dalam dunia pertanian. Baca juga: Mi Instan Indonesia Disebut Mengandung Zat Pemicu Kanker, Kemendag: Kita Cek Dulu
“EtO sendiri seharusnya tidak ada dalam makanan karena bukan merupakan bahan tambahan pangan. Yang seringkali terdeteksi adalah residu EtO non volatile,” katanya, Rabu (3/5/2023).
Ia menambahkan, bahwa yang sering terdeteksi ialah residu EtO non volatil yang masih menempel dalam bahan baku pembuatan produk. Biasanya bahan baku tersebut berasal dari pertanian seperti gandum yang menjadi bahan baku pembuatan tepung terigu.
Ia pun menilai kalau setiap negara memiliki regulasinya masing-masing terkait batas aman bahan makanan untuk setiap sajian. Hal ini tergantung akan tingkat kesehatan populasi dan jenis penyakit yang lazim ada dalam negara tersebut. Maka bisa saja kadar di Indonesia akan aman, namun tidak di negara lain.
Eropa misalnya, EtO yang diperbolehkan maksimal 0,1 mg/kg sedangkan di Indonesia masih belum terdapat regulasi yang pasti terkait EtO. Sama halnya dengan siklamat yang digunakan sebagai pemanis buatan, di Indonesia masih diperbolehkan digunakan sedangkan di Amerika sudah tidak karena tingginya kasus kerusakan organik.
Dari situasi itu, katanya, terdapat perbedaan antara regulasi mengenai kandungan EtO di Indonesia dan kedua negara tersebut, Malaysia dan Taiwan. Ia pun menyampaikan bahwa dalam jumlah yang sangat kecil sebenarnya EtO tidak memberikan dampak buruk untuk manusia karena masih bisa dibersihkan oleh tubuh.
“Namun jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan sering maka dapat menyebabkan kerusakan organik seperti sirosis hati dan lainnya,” jelasnya.
Bagi masyarakat, dirinya berpesan untuk mampu menjaga asupan makanan yang dikonsumsi. Karena jika tidak menjaga, makanan yang dikonsumsi akan berdampak pada terbentuknya penyakit dalam tubuh. Terutama jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan sering.
“Bijaklah dalam memilih makanan. Biasakan membaca komposisi bahan baku dan nilai gizi dalam kemasan makanan,” katanya.
(don)