Nyaris Gagal, Monas Dibangun Soekarno Saat Kondisi Ekonomi Indonesia Kembang Kempis
loading...
A
A
A
BLITAR - Monas atau Monumen Nasional merupakan bangunan bersejarah yang pembangunannya dimulai pada era pemerintahan Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Tidak banyak yang tahu, proyek pembangunan Monas di Jakarta yang diharapkan bisa membakar semangat patriotisme itu, dalam sejarahnya pernah nyaris gagal lantaran terbatasnya keuangan negara.
Rancangan Monas yang diajukan Frederich Silaban dianggap Bung Karno terlalu luar biasa. Bung Karno ketar-ketir biaya besar yang dibutuhkan tidak akan mampu ditanggung oleh negara.
Apalagi kondisi ekonomi Indonesia yang belum lama merdeka itu, tidak begitu bagus. Silaban yang diminta membuat rancangan baru, yakni dengan ukuran lebih kecil, menyatakan menolak.
Baca juga: Bus Transjatim Rute Sidoarjo-Surabaya-Gresik Tambah 10 Unit, Khofifah: Load Factor Penumpang Tinggi
Daripada mengubah rancangan, Silaban usul lebih baik proyek pembangunan Monas ditunda. “Menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik,” demikian dikutip dari buku Indonesia Poenja Tjerita (2016).
Sebelumnya pada 17 Agustus 1954 pemerintahan Soekarno membentuk Komite Nasional untuk menyelenggarakan pembangunan monumen nasional. Bung Karno ingin monumen yang berdiri nantinya berbentuk lingga dan yoni.
Sebagai langkah awal, pada tahun 1955 dibuka sayembara pembuatan rancangan yang berlaku untuk umum. Sebanyak 51 peserta mengirimkan rancangannya, namun hanya satu yang dianggap sesuai, yakni karya Frederich Silaban.
“Karya tersebut menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan berabad-abad”.
Lantaran ingin menggali lebih jauh, pada tahun 1960 diadakan kembali sayembara yang kedua. Kali ini, dari sebanyak 136 karya yang dikirimkan peserta, tidak ada satupun yang memenuhi kriteria.
Akhirnya juri memutuskan memakai rancangan Silaban. Meski mengkhawatirkan anggaran, di sisi lain Bung Karno tidak suka menunggu. Ia menolak proyek ditunda, apalagi sampai ekonomi membaik.
Apapun yang terjadi, proyek nasional harus segera diwujudkan. Soekarno kemudian menerbitkan Keppres untuk pembentukan panitia monumen nasional yang diketuai oleh Kolonel Umar Wirahadikusuma.
Soekarno meminta arsitek R.M. Soedarsono melanjutkan rancangan Silaban. Diarsiteki Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, pada 17 Agustus 1961, pembangunan Monas di atas lahan seluas 80 hektar itu, dimulai.
“Soedarsono memasukkan angka 17,8 dan 45 ke dalam rancangan monumen nasional”.
Monumen nasional memiliki tinggi 132 meter atau 433 kaki. Sebuah bangunan yang gagah menjulang. Pada bagian puncaknya didesain pelataran yang mampu menampung sebanyak 50 orang.
Untuk ke puncak, pengunjung bisa melalui elevator, yakni dipasang lengkap beserta tangga daruratnya. Di puncak juga tersedia teropong, di mana panorama seluruh Jakarta bisa terlihat gamblang.
Silaban dan Soedarsono memberi sentuhan cawan di puncak monas. Cawan yang menopang lampu perunggu seberat 14,5 ton. Tinggi lampu berbentuk lidah api atau obor itu 14 meter dengan diameter 6 meter, yakni terdiri dari 77 bagian yang disatukan.
Agar semakin menakjubkan, nyala lidah api itu dilapis lembaran emas seberat 35 kilogram. Kelak pada tahun 1995, yakni dalam rangka menyambut setengah abad kemerdekaan Indonesia, lembaran emas dilapis ulang hingga mencapai berat 50 kilogram.
Konon, bila dilihat dari Jalan Merdeka Barat, lidah api Monas itu berbentuk seorang perempuan berambut panjang dengan posisi bersimpuh menghadap Istana Negara.
“Lidah api ini simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan”.
Proyek pembangunan Monas berlangsung hingga 14 tahun. Pada 12 Juli 1975 Monas resmi dibuka untuk umum.
Lihat Juga: Kisah Cinta Bung Karno dengan Gadis Belanda, Simbol Perlawanan Pribumi terhadap Penjajah
Tidak banyak yang tahu, proyek pembangunan Monas di Jakarta yang diharapkan bisa membakar semangat patriotisme itu, dalam sejarahnya pernah nyaris gagal lantaran terbatasnya keuangan negara.
Rancangan Monas yang diajukan Frederich Silaban dianggap Bung Karno terlalu luar biasa. Bung Karno ketar-ketir biaya besar yang dibutuhkan tidak akan mampu ditanggung oleh negara.
Apalagi kondisi ekonomi Indonesia yang belum lama merdeka itu, tidak begitu bagus. Silaban yang diminta membuat rancangan baru, yakni dengan ukuran lebih kecil, menyatakan menolak.
Baca juga: Bus Transjatim Rute Sidoarjo-Surabaya-Gresik Tambah 10 Unit, Khofifah: Load Factor Penumpang Tinggi
Daripada mengubah rancangan, Silaban usul lebih baik proyek pembangunan Monas ditunda. “Menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik,” demikian dikutip dari buku Indonesia Poenja Tjerita (2016).
Sebelumnya pada 17 Agustus 1954 pemerintahan Soekarno membentuk Komite Nasional untuk menyelenggarakan pembangunan monumen nasional. Bung Karno ingin monumen yang berdiri nantinya berbentuk lingga dan yoni.
Sebagai langkah awal, pada tahun 1955 dibuka sayembara pembuatan rancangan yang berlaku untuk umum. Sebanyak 51 peserta mengirimkan rancangannya, namun hanya satu yang dianggap sesuai, yakni karya Frederich Silaban.
“Karya tersebut menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan berabad-abad”.
Lantaran ingin menggali lebih jauh, pada tahun 1960 diadakan kembali sayembara yang kedua. Kali ini, dari sebanyak 136 karya yang dikirimkan peserta, tidak ada satupun yang memenuhi kriteria.
Akhirnya juri memutuskan memakai rancangan Silaban. Meski mengkhawatirkan anggaran, di sisi lain Bung Karno tidak suka menunggu. Ia menolak proyek ditunda, apalagi sampai ekonomi membaik.
Apapun yang terjadi, proyek nasional harus segera diwujudkan. Soekarno kemudian menerbitkan Keppres untuk pembentukan panitia monumen nasional yang diketuai oleh Kolonel Umar Wirahadikusuma.
Soekarno meminta arsitek R.M. Soedarsono melanjutkan rancangan Silaban. Diarsiteki Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, pada 17 Agustus 1961, pembangunan Monas di atas lahan seluas 80 hektar itu, dimulai.
“Soedarsono memasukkan angka 17,8 dan 45 ke dalam rancangan monumen nasional”.
Monumen nasional memiliki tinggi 132 meter atau 433 kaki. Sebuah bangunan yang gagah menjulang. Pada bagian puncaknya didesain pelataran yang mampu menampung sebanyak 50 orang.
Untuk ke puncak, pengunjung bisa melalui elevator, yakni dipasang lengkap beserta tangga daruratnya. Di puncak juga tersedia teropong, di mana panorama seluruh Jakarta bisa terlihat gamblang.
Silaban dan Soedarsono memberi sentuhan cawan di puncak monas. Cawan yang menopang lampu perunggu seberat 14,5 ton. Tinggi lampu berbentuk lidah api atau obor itu 14 meter dengan diameter 6 meter, yakni terdiri dari 77 bagian yang disatukan.
Agar semakin menakjubkan, nyala lidah api itu dilapis lembaran emas seberat 35 kilogram. Kelak pada tahun 1995, yakni dalam rangka menyambut setengah abad kemerdekaan Indonesia, lembaran emas dilapis ulang hingga mencapai berat 50 kilogram.
Konon, bila dilihat dari Jalan Merdeka Barat, lidah api Monas itu berbentuk seorang perempuan berambut panjang dengan posisi bersimpuh menghadap Istana Negara.
“Lidah api ini simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan”.
Proyek pembangunan Monas berlangsung hingga 14 tahun. Pada 12 Juli 1975 Monas resmi dibuka untuk umum.
Lihat Juga: Kisah Cinta Bung Karno dengan Gadis Belanda, Simbol Perlawanan Pribumi terhadap Penjajah
(msd)