Legenda Sembrani, Kuda Bersayap Tunggangan Sultan Agung ke Makkah

Jum'at, 07 April 2023 - 05:05 WIB
loading...
Legenda Sembrani, Kuda Bersayap Tunggangan Sultan Agung ke Makkah
Legenda sembrani, kuda bersayap yang ditunggangi Sultan Agung bolak-balik ke Makkah hanya untuk menunaikan salat Jumat. Foto: Ilustrasi
A A A
KUDA Sembrani, kuda bersayap diyakini masyarakat Jawa bukan hanya legenda atau cerita kuno , namun hewan bersayap itu diyakini memang pernah hidup di Tanah Jawa, dan menjadi tunggangan Sultan Agung saat berangkat ke Makkah.

Kuda sembrani digambarkan berupa kuda bersayap mirip dengan mitologi Yunani yaitu unicorn. Sementara cerita pewayangan menyebutkan, kuda Sembrani adalah kuda tunggangan Batara Wisnu.

Sementara dalam legenda rakyat Jawa, konon hewan mitologi ini adalah tunggangan para raja dan ratu di kerajaan Nusantara zaman dahulu.

Kemampuam terbangnya pun sangat luar biasa, satu kepakan sayap kuda sembrani bisa menempuh ratusan kilomater. Maka para raja menunggangi kuda itu agar cepat sampai ke tempat tujuan.



Cerita kuda sembrani milik Sultan Agung berawal dari saran dan masukan salah satu abdi kerajaannya bernama Ki Bodo. Sebelumnya Ki Bodo diangkat menjadi abdi kerajaan berdasarkan saran para penasihat spiritual kerajaan kepada Sultan Agung sebagai syarat untuk memajukan perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya.

Setelah Ki Bodo diangkat menjadi abdi kerajaan diminta memberikan masukan dan saran oleh Sultan Agung, maka saat itu Ki Bodo memberi saran agar Sultan Agung memelihara kuda sembrani. Kuda sembrani hanya ada di tanah Makkah, maka saat Sultan Agung melaksanakan salat Jum’at di Makkah pulangnya sambil membawa kuda sembrani yang selanjutnya pemeliharaannya menjadi tanggung jawab penuh Ki Bodo.



Namun, untuk memenuhi kebutuhan pakan kuda sembrani harus rumput yang tumbuh berasal dari Makkah. Konon secara sembunyi-sembunyi dengan kesaktiannya Ki Bodo pun dengan jadwal yang telah ditentukan harus mengambil rumput ke Makkah.

Pada masa itu, Sultan Agung sempat heran setelah beberapa hari membeli kuda sembrani tersebut karena Ki Bodo bisa memenuhi kebutuhan pakan rumput kuda kesayangannya itu. Namun waktu itu Sultan Agung tidak banyak bicara tentang keheranannya itu.

Suatu hari saat Sultan Agung hendak melaksanakan Salat Jumat di Makkah, melihat salah satu tempat penampungan rumput yang ditutup oleh caping yang memiliki ciri khas Kerajaan Mataram.

Dalam hatinya Sultan Agung memiliki firasat kalau tempat penampungan rumput dan caping itu milik Ki Bodo yang sedang mengambil rumput di salah satu tempat. Sultan Agung kemudian memberi ciri pada caping dan wadah rumput itu.


Sesampainya di Kerajaan Mataram sepulang melaksanakan salat Jum’at di Makkah, Sultan Agung kemudian menuju tempat kandang kuda sembrani sambil melihat tempat wadah rumput dan caping untuk melihat ciri yang dia goreskan waktu di Makkah.

Hasilnya, membenarkan kalau caping dan wadah tempat rumput itu yang sebelumnya telah diberi ciri olehnya, maka dari situ Sultan Agung memiliki keyakinan kalau Ki Bodo merupakan salah satu orang yang memiliki kesaktian ilmu yang sebanding dengannya karena bisa pulang pergi dari kerajaan ke Makkah dalam waktu singkat.

Selanjutnya dikisahkan kuda sembrani tersebut kabur dari kandangnya, padahal seluruh kandang telah diberi palang yang sangat ketat dan rapi sehingga diyakini kuda tersebut tidak mungkin bisa keluar dari kandangnya.

Namun kuda sembrani itu lari dari kandangnya dengan tidak ada satu orang pun yang dapat mengetahuinya entah kemana.

Berdasarkan cerita para orangtua, kuda sembrani yang kabur dari Kerajaan Mataram menuju ke jalur pantai selatan pulau Jawa yaitu Pantai Madasari yang terletak di Dusun Bulakbenda, Desa Masawah, Kecamatan Cimerak.

Hingga kini, Madasari masih menyimpan misteri yang masih menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Di tempat tersebut konon digunakan sebagai tempat singgahnya kuda sembrani milik Sultan Agung, yang kabur dari kandangnya di Kerajaan Mataram.

Madasari dulunya merupakan hutan belantara tempat persembunyian waktu jaman penjajahan Belanda, dulu daerah tersebut namanya Madang Nyari. Madang artinya makan dan Nyari artinya enak jadi artinya makan enak.

Namun setelah menjadi perkampungan, salah satu pendatang dari Suku Bugis bernama Daeng Danto merubah nama Madang Nyari menjadi Madasari. Mada artinya makanan dan Sari artinya Rasa, jadi artinya makanan yang memiliki rasa yang enak.

Konon, dari cerita rakyat setempat, kuda sembrani sering menyetubuhi kuda betina yang dipelihara oleh warga sekitar. "Konon dulu sering terjadi kuda betina hamil tanpa kuda jantan, lantaran disetubuhinya secara gaib oleh kuda sembrani jantan milik Sultan Agung,” papar salah satu warga setempat Ukan Suganda.


Masyarakat di daerah Madasari, kata dia, rata-rata tidak ingin memelihara kuda jantan lantaran jika memelihara kuda jantan sering mati mengenaskan yang disebabkan oleh serangan kuda sembrani jantan milik Sultan Agung tersebut.

“Hingga saat ini, rata-rata orang sini memelihara kuda betina, karena jika memelihara kuda jantan banyak yang mati mengenaskan tidak wajar,” pungkas Ukan.

Legenda Kuda Sembrani ini tidak hanya berasal dari kalangan istana, rakyat Jawa pun banyak yang mempercayainya. Disebutkan, kuda bersayap itu pernah muncul di Desa, Jenalas, Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Kuda perliharaan Sultan Agung itu dikisahkan secara lisan oleh warga sekitar secara turun temurun.

Bahkan, konon penamaan Desa Jenalas berawal dari cerita warga sekitar yang memergoki keberadaan hewan misterius itu.

Dikisahkan, saat itu kuda Sembrani warna putih minum di sebuah sendang di tengah hutan. Ketika ada warga yang melihat, kuda itu pun terbang. Tidak hanya di Desa Jenalas, mitos Kuda Sembrani ini ternyata juga menyebar di banyak lokasi di Pulau Jawa.

Bahkan sejumlah lokasi disebut sebagai petilasan Kuda Sembrani, misalnya di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Pakis, Kabupaten Magelang.

Sumber:
dok.sindonews/okezone
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1661 seconds (0.1#10.140)