Kearifan Lokal Berbuah Zona Hijau
loading...
A
A
A
KAPUAS HULU - Penerapan hukum adat dan protokol kesehatan yang ketat menjadi kunci masyarakat perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dalam menangkal pandemi corona. Sinergi dua hukum tersebut berbuah manis. Kapuas Hulu saat ini termasuk salah satu daerah zona hijau atau bebas Covid-19 .
Dua speedboat masing-masing berkekuatan 40 PK melaju kencang membelah permukaan air menuju sebuah pulau di Tengah Danau Sentarum. Langit cerah siang itu menghadirkan panorama danau yang indah. Berselang 15 menit, speedboat perlahan merapat ke dermaga Pulau Sepandan, sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ini salah satu daerah yang memiliki wilayah berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia.
Dari kejauhan seorang pria bergegas menghampiri penumpang yang baru saja turun dari speedboat. Dengan ramah pria tersebut menjelaskan bahwa untuk sementara Pulau Sepandan tidak menerima kunjungan orang luar. Penutupan tersebut berkaitan dengan pembatasan sosial di tengah pandemi corona (Covid-19) .
“Mohon maaf, untuk kunjungan ataupun aktivitas apa pun di pulau-pulau dalam kawasan Danau Sentarum belum diperbolehkan. Kalau di danaunya tak apa," kata pria yang diketahui sebagai Kepala Resor Sepandan, Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). (Baca: Kasus Djoko Tjandra, Satu Lagi Pejabat Polri Dicopot)
Bukan hanya pulau-pulau kecil di Danau Sentarum yang ditutup. Akibat pandemi corona, semua tempat wisata bahkan dusun dan perkampungan adat di Kapuas Hulu juga ditutup. Bahkan, masyarakat adat tidak segan mengenakan denda bagi orang luar yang kedapatan berkunjung ke kampung-kampung adat.
Kearifan lokal tersebut berupa ritual adat yang selama ratusan tahun rutin dijalankan. Di antaranya berupa doa, upacara tolak bala, dan pengobatan tradisional. Kebijakan menutup rapat kampung atau dusun dari orang luar termasuk bagian dari aturan adat demi mencegah corona. Sepanjang jalan perbatasan mulai Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau sampai ke Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, hampir semua kampung atau dusun menutup akses dari orang luar.
Seperti yang dilakukan masyarakat Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sejak awal temuan dua kasus corona di Indonesia pada awal Maret lalu, warga dusun yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Desa Lubok Antu, Serawak, Malaysia ini, langsung melakukan upaya pencegahan. Masyarakat Suku Dayak Iban dan Melayu yang mayoritas mendiami kawasan perbatasan ini menggelar ritual adat memohon kepada leluhur dan yang Maha Pencipta agar terhindar dari pandemi Covid-19 .
Khusus masyarakat Dayak, penutupan kampung atau dusun diiringi ritual adat yang disebut Ba'samsam. Pelaksanaannya tetap berkoordinasi dengan pemerintahan setempat dan langsung dipimpin Dewan Adat Dayak (DAD) mulai tingkatan paling tinggi (pusat/provinsi), lalu kota/kabupaten untuk berikutnya dilanjutkan sampai ke dusun-dusun. (Baca: Hasil Survei, Warga DKI Jakarta Umumnya Belum Siap Memasuki New Normal)
"Hanya saja, setelah tiga bulan pandemi dan new normal diterapkan, dusun atau kampung-kampung yang tadinya ditutup kini sudah dibuka. Tapi tetap saja, namanya masih pandemi, ya orang luar yang berkunjung tetap tidak ada," kata Umpor (37) warga dusun Sadap, Kapuas Hulu saat berbincang kepada KORAN SINDO di PLBN Badau pekan lalu.
Aturan adat oleh masyarakat perbatasan diberlakukan sangat ketat. Bagi yang terbukti melanggar jangan harap bisa lolos dari hukuman denda. Ini berbeda dengan aturan protokol kesehatan pemerintah yang minim sanksi bagi yang melanggar. Besaran denda yang ditetapkan oleh dewan adat bermacam-macam, bisa mencapai Rp500.000 untuk setiap pelanggar.
"Setelah dilaporkan ke pemangku adat dan membayar denda, lalu kita serahkan ke polisi. Tapi itu berlaku saat awal-awal corona. Sekarang tidak lagi. Orang luar sudah boleh berkunjung, tapi tetap dengan menerapkan aturan kesehatan," ujar Umpor.
Ada alasan kuat di balik kebijakan menolak orang luar datang ke dusun-dusun di Kapuas Hulu, terutama ke rumah-rumah adat yang dihuni masyarakat suku Dayak. Menurut Umpor, rumah-rumah Betang (rumah panjang khas suku Dayak) dihuni banyak orang dan banyak kepala keluarga.
"Satu Rumah Betang bisa dihuni ratusan orang. Kalau satu terkena corona, kan bahaya. Bisa satu rumah terkena semua," kata Umpor. (Baca juga: Kemenkeu Perpanjang Bansos Corona Hingga Akhir Tahun)
Menutup kunjungan orang luar otomatis membawa dampak bagi masyarakat dusun. Salah satunya aktivitas ekonomi masyarakat menjadi lesu. Namun, hal tersebut harus dijalani. Umpor mengaku masyarakat lokal tidak terlalu merasakan kesusahan. Dengan berdiam di rumah malah dia merasa lebih nyaman dan aman.
"Jika keluar rumah, paling ke ladang, cari ikan di sungai. Kalau belanja barang kebutuhan juga tak banyak, secukupnya saja. Kita kan sudah biasa ‘belanja’ di hutan. Bagi kami orang Dayak, hutan itu ibarat supermarket. Apa yang kami butuhkan, kami cari di sana," kata Umpor tersenyum.
Dusun Sadap merupakan salah satu akses atau daerah terakhir untuk menuju ke Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), di Kabupaten Kapuas Hulu. Karena menjadi akses menuju ke TNBK, tak heran jika banyak orang luar bahkan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke dusun ini.
Namun selama pandemi, pihak TNBK menutup rapat kawasan tersebut. Begitu pun dengan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), yang menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Kapuas Hulu, juga ditutup rapat.
"Semua akses baik yang di TNDS maupun TNBK sementara ditutup. Walaupun sekarang Kapuas Hulu sudah menerapkan new normal, tapi kawasan masih ditutup," kata Kepala Balai Besar (Kababes) Taman Nasional Betung Kerihun & Danau Sentarum (TNBKDS) Arief Mahmud kepada KORAN SINDO. (Baca juga: Tanda Empati Saat Pandemi, 2.000 Es Krim Dikirim untuk Tenaga Medis)
Sementara itu, Leo, 45, warga Sungai Utik juga mengakui, sejak korona masyarakat di dusunnya menutup rapat akses dari orang luar. Padahal kampung Sungai Utik merupakan salah satu tempat wisata kampung yang selalu ramai dikunjungi masyarakat luar, bahkan wisatawan mancanegara. "Sementara masih tutup. Tapi informasinya akan dibuka. Tapi persisnya kapan dibuka, saya juga belum tahu," ujarnya.
Sejak pandemi corona melanda Indonesia hingga penerapan new normal, gerbang perbatasan di PLBN Badau, Kapuas Hulu, masih ditutup rapat. Tindakan ini sesuai kebijakan pemerintah Indonesia yang mengeluarkan protokol penanganan Covid-19, khususnya Protokol Pengawasan Perbatasan (PPP), yakni bandara, pelabuhan, dan PLBN. Hal yang sama juga berlaku di gerbang Pos Lintas Batas (PLB) Lubok Antu Serawak, Malaysia, yang juga ditutup rapat.
Yang menarik, saat KORAN SINDO berada di PLBN Badau, tiba-tiba ada serombongan pelajar dari Indonesia yang hendak melintas ke Malaysia. Rombongan pelajar yang diketahui bersekolah di Lubok Antu, Serawak itu, ternyata hari itu untuk pertama kalinya masuk sekolah. (Lihat videonya: Pemulung Bawa Uang Rp7Juta Hasil Jual Bansos Covid-19)
"Kalau rombongan pelajar ini kan memang guru-gurunya di Malaysia yang minta (datang dan masuk sekolah). Karena mereka yang minta dan permintaan tersebut sesuai kebutuhan kita di sini (pelajar Indonesia), ya kita tinggal meneruskan saja. Dan guru-gurunya itu juga menjemput di gerbang perbatasan Malaysia," ujar Agato.
Kasubid Pengembangan Kawasan PLBN Badau, Wendelinus Fanu menambahkan, selama masa pandemi hampir tidak ada sama sekali aktivitas pelintas di PLBN Badau. Begitu juga di Pos Lintas Negara (PLB) Lubok Antu, Serawak, Malaysia. Padahal sebelum ada pandemi, pelintas bisa mencapai 200 orang per hari, bahkan lebih.
Tak hanya aktivitas orang yang melintas, aktivitas angkutan umum terutama truk-truk pengangkut CPO (crude palm oil) yang biasanya ramai dari Indonesia ke Malaysia juga sudah distop. (Hendri Irawan)
Dua speedboat masing-masing berkekuatan 40 PK melaju kencang membelah permukaan air menuju sebuah pulau di Tengah Danau Sentarum. Langit cerah siang itu menghadirkan panorama danau yang indah. Berselang 15 menit, speedboat perlahan merapat ke dermaga Pulau Sepandan, sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ini salah satu daerah yang memiliki wilayah berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia.
Dari kejauhan seorang pria bergegas menghampiri penumpang yang baru saja turun dari speedboat. Dengan ramah pria tersebut menjelaskan bahwa untuk sementara Pulau Sepandan tidak menerima kunjungan orang luar. Penutupan tersebut berkaitan dengan pembatasan sosial di tengah pandemi corona (Covid-19) .
“Mohon maaf, untuk kunjungan ataupun aktivitas apa pun di pulau-pulau dalam kawasan Danau Sentarum belum diperbolehkan. Kalau di danaunya tak apa," kata pria yang diketahui sebagai Kepala Resor Sepandan, Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). (Baca: Kasus Djoko Tjandra, Satu Lagi Pejabat Polri Dicopot)
Bukan hanya pulau-pulau kecil di Danau Sentarum yang ditutup. Akibat pandemi corona, semua tempat wisata bahkan dusun dan perkampungan adat di Kapuas Hulu juga ditutup. Bahkan, masyarakat adat tidak segan mengenakan denda bagi orang luar yang kedapatan berkunjung ke kampung-kampung adat.
Kearifan lokal tersebut berupa ritual adat yang selama ratusan tahun rutin dijalankan. Di antaranya berupa doa, upacara tolak bala, dan pengobatan tradisional. Kebijakan menutup rapat kampung atau dusun dari orang luar termasuk bagian dari aturan adat demi mencegah corona. Sepanjang jalan perbatasan mulai Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau sampai ke Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, hampir semua kampung atau dusun menutup akses dari orang luar.
Seperti yang dilakukan masyarakat Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sejak awal temuan dua kasus corona di Indonesia pada awal Maret lalu, warga dusun yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Desa Lubok Antu, Serawak, Malaysia ini, langsung melakukan upaya pencegahan. Masyarakat Suku Dayak Iban dan Melayu yang mayoritas mendiami kawasan perbatasan ini menggelar ritual adat memohon kepada leluhur dan yang Maha Pencipta agar terhindar dari pandemi Covid-19 .
Khusus masyarakat Dayak, penutupan kampung atau dusun diiringi ritual adat yang disebut Ba'samsam. Pelaksanaannya tetap berkoordinasi dengan pemerintahan setempat dan langsung dipimpin Dewan Adat Dayak (DAD) mulai tingkatan paling tinggi (pusat/provinsi), lalu kota/kabupaten untuk berikutnya dilanjutkan sampai ke dusun-dusun. (Baca: Hasil Survei, Warga DKI Jakarta Umumnya Belum Siap Memasuki New Normal)
"Hanya saja, setelah tiga bulan pandemi dan new normal diterapkan, dusun atau kampung-kampung yang tadinya ditutup kini sudah dibuka. Tapi tetap saja, namanya masih pandemi, ya orang luar yang berkunjung tetap tidak ada," kata Umpor (37) warga dusun Sadap, Kapuas Hulu saat berbincang kepada KORAN SINDO di PLBN Badau pekan lalu.
Aturan adat oleh masyarakat perbatasan diberlakukan sangat ketat. Bagi yang terbukti melanggar jangan harap bisa lolos dari hukuman denda. Ini berbeda dengan aturan protokol kesehatan pemerintah yang minim sanksi bagi yang melanggar. Besaran denda yang ditetapkan oleh dewan adat bermacam-macam, bisa mencapai Rp500.000 untuk setiap pelanggar.
"Setelah dilaporkan ke pemangku adat dan membayar denda, lalu kita serahkan ke polisi. Tapi itu berlaku saat awal-awal corona. Sekarang tidak lagi. Orang luar sudah boleh berkunjung, tapi tetap dengan menerapkan aturan kesehatan," ujar Umpor.
Ada alasan kuat di balik kebijakan menolak orang luar datang ke dusun-dusun di Kapuas Hulu, terutama ke rumah-rumah adat yang dihuni masyarakat suku Dayak. Menurut Umpor, rumah-rumah Betang (rumah panjang khas suku Dayak) dihuni banyak orang dan banyak kepala keluarga.
"Satu Rumah Betang bisa dihuni ratusan orang. Kalau satu terkena corona, kan bahaya. Bisa satu rumah terkena semua," kata Umpor. (Baca juga: Kemenkeu Perpanjang Bansos Corona Hingga Akhir Tahun)
Menutup kunjungan orang luar otomatis membawa dampak bagi masyarakat dusun. Salah satunya aktivitas ekonomi masyarakat menjadi lesu. Namun, hal tersebut harus dijalani. Umpor mengaku masyarakat lokal tidak terlalu merasakan kesusahan. Dengan berdiam di rumah malah dia merasa lebih nyaman dan aman.
"Jika keluar rumah, paling ke ladang, cari ikan di sungai. Kalau belanja barang kebutuhan juga tak banyak, secukupnya saja. Kita kan sudah biasa ‘belanja’ di hutan. Bagi kami orang Dayak, hutan itu ibarat supermarket. Apa yang kami butuhkan, kami cari di sana," kata Umpor tersenyum.
Dusun Sadap merupakan salah satu akses atau daerah terakhir untuk menuju ke Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), di Kabupaten Kapuas Hulu. Karena menjadi akses menuju ke TNBK, tak heran jika banyak orang luar bahkan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke dusun ini.
Namun selama pandemi, pihak TNBK menutup rapat kawasan tersebut. Begitu pun dengan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), yang menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Kapuas Hulu, juga ditutup rapat.
"Semua akses baik yang di TNDS maupun TNBK sementara ditutup. Walaupun sekarang Kapuas Hulu sudah menerapkan new normal, tapi kawasan masih ditutup," kata Kepala Balai Besar (Kababes) Taman Nasional Betung Kerihun & Danau Sentarum (TNBKDS) Arief Mahmud kepada KORAN SINDO. (Baca juga: Tanda Empati Saat Pandemi, 2.000 Es Krim Dikirim untuk Tenaga Medis)
Sementara itu, Leo, 45, warga Sungai Utik juga mengakui, sejak korona masyarakat di dusunnya menutup rapat akses dari orang luar. Padahal kampung Sungai Utik merupakan salah satu tempat wisata kampung yang selalu ramai dikunjungi masyarakat luar, bahkan wisatawan mancanegara. "Sementara masih tutup. Tapi informasinya akan dibuka. Tapi persisnya kapan dibuka, saya juga belum tahu," ujarnya.
Sejak pandemi corona melanda Indonesia hingga penerapan new normal, gerbang perbatasan di PLBN Badau, Kapuas Hulu, masih ditutup rapat. Tindakan ini sesuai kebijakan pemerintah Indonesia yang mengeluarkan protokol penanganan Covid-19, khususnya Protokol Pengawasan Perbatasan (PPP), yakni bandara, pelabuhan, dan PLBN. Hal yang sama juga berlaku di gerbang Pos Lintas Batas (PLB) Lubok Antu Serawak, Malaysia, yang juga ditutup rapat.
Yang menarik, saat KORAN SINDO berada di PLBN Badau, tiba-tiba ada serombongan pelajar dari Indonesia yang hendak melintas ke Malaysia. Rombongan pelajar yang diketahui bersekolah di Lubok Antu, Serawak itu, ternyata hari itu untuk pertama kalinya masuk sekolah. (Lihat videonya: Pemulung Bawa Uang Rp7Juta Hasil Jual Bansos Covid-19)
"Kalau rombongan pelajar ini kan memang guru-gurunya di Malaysia yang minta (datang dan masuk sekolah). Karena mereka yang minta dan permintaan tersebut sesuai kebutuhan kita di sini (pelajar Indonesia), ya kita tinggal meneruskan saja. Dan guru-gurunya itu juga menjemput di gerbang perbatasan Malaysia," ujar Agato.
Kasubid Pengembangan Kawasan PLBN Badau, Wendelinus Fanu menambahkan, selama masa pandemi hampir tidak ada sama sekali aktivitas pelintas di PLBN Badau. Begitu juga di Pos Lintas Negara (PLB) Lubok Antu, Serawak, Malaysia. Padahal sebelum ada pandemi, pelintas bisa mencapai 200 orang per hari, bahkan lebih.
Tak hanya aktivitas orang yang melintas, aktivitas angkutan umum terutama truk-truk pengangkut CPO (crude palm oil) yang biasanya ramai dari Indonesia ke Malaysia juga sudah distop. (Hendri Irawan)
(ysw)