Labuhan Merapi, Cara Orang Jawa Menjinakkan Amukan Gunung Merapi
loading...
A
A
A
BLITAR - Labuhan Merapi adalah cara masyarakat Jawa menjinakkan Gunung Merapi agar tidak erupsi. Dan kalau pun Merapi erupsi tidak sampai mencelakai tanah dan orang-orang Mataram, utamanya kerajaan.
Ritual labuhan Merapi dilakukan rutin di kawasan Kendhit, yakni sabuk imajiner yang melingkari gunung merapi. Posisi kendhit berada pada perbatasan antara puncak gunung berkerikil berselimut awan dan lereng hutan di bawahnya.
Sesaji sebagai tanda penghormatan, pelayanan atau pengabdian itu diulurkan kepada Panembahan Sapu Jagat atau Kiai Sapu Jagat, yakni yang diyakini sebagai sosok gaib penjaga gunung Merapi.
Dikutip dari buku Berandal Tanah Jawa (2019), ritus Labuhan Merapi dimulai dengan pengantaran sejumlah benda pusaka keraton kasultanan. Pusaka diantarkan dari keraton Yogyakarta ke arah kantor kecamatan di Cangkringan yang berlokasi di lereng gunung di bawah Kinahrejo.
Apa saja benda yang dilabuhkan? Seperangkat lengkap pakaian tradisional pria dan wanita Jawa. Di antaranya kain batik berbagai pola, setagen, blangkon, serta gelondongan kain polos.
Kemudian guntingan kuku dan potongan rambut sultan, sajian kembang, kemenyan, daun sirih, dan minyak wangi. Lalu juga aneka sajian makanan termasuk tumpeng yang berhias buah-buahan, sayuran, telur rebus, serta cabai.
Juga ditambah rokok klobot, minyak wangi dan sedikit uang. “Persembahan ini diangkut dalam kotak kayu yang cukup besar”.
Prosesi dimulai di wilayah Kinahrejo. Di dapur rumah juru kunci gunung Merapi di Kinahrejo, ubo rampe berupa hidangan untuk upacara ritual telah disiapkan oleh para perempuan.
Di antaranya dua ekor ayam panggang, satu ekor ayam ingkung, nasi dan tumpeng, sayur urap, anek jajan pasar, cemilan gorengan, sayur campur, lemper, dan kerupuk udang.
Di dapur itu, juru kunci Merapi membakar dupa sekaligus memanjatkan doa yang berlafalkan Arab dan Jawa. Sebelum peristiwa erupsi dahsyat tahun 2010 yang menelan banyak korban jiwa, doa dipimpin juru kunci mendiang Mbah Maridjan.
Disampaikan bahwa Sultan Yogyakarta telah menghaturkan persembahan kepada leluhur yang bersemayam di gunung Merapi. Persembahan yang dihaturkan sebagai wujud rasa cinta, hormat dan syukur.
Sultan sekeluarga, bangsa Indonesia, para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia didoakan senantiasa berumur panjang, damai, sehat, serta dilindungi dari segala malapetaka dan bencana alam.
“Ritual diakhiri dengan selametan, upacara menyantap sesajian makanan yang telah diletakkan di atas tikar yang terhampar di lantai”.
Selanjutnya kotak kayu yang berisi persembahan benda keraton diusung sekaligus dikirab menuju kawasan kendhit. Tetua adat dan para abdi dalem keraton mengenakan pakaian tradisional Jawa.Laki-laki memakai kain batik, surjan dari kain lurik serta blangkon. Sedangkan perempuan mengenakan kemben dari kain warna-warni dan kain batik yang panjangnya hingga pergelangan kaki.
Sesampai di sebuah batu besar yang diberi nama Pelabuhan, persembahan dihaturkan. Kemenyan dibakar. Semua duduk bersila menghadap puncak gunung Merapi dengan posisi tangan menyembah.
Dengan bahasa Jawa halus, juru kunci berdoa sekaligus menghaturkan persembahan kepada Kiai Sapu Jagat. Khusus pakaian tradisional dan kain dari keraton dibagi-bagikan kepada warga.
Banyak warga yang berharap besar bisa mendapatkannya. Warga kemudian menyimpannya karena meyakini sebagai benda bertuah yang mampu menambah kewibawaan, melancarkan karier, menangkal serangan ilmu hitam serta menghindarkan dari malapetaka.
Malapetaka yang dimaksud, terutama terkait dengan ancaman erupsi gunung Merapi. Begitulah cara orang Jawa menjinakkan Gunung Merapi yang dikenal mudah mengamuk.
Ritual labuhan Merapi dilakukan rutin di kawasan Kendhit, yakni sabuk imajiner yang melingkari gunung merapi. Posisi kendhit berada pada perbatasan antara puncak gunung berkerikil berselimut awan dan lereng hutan di bawahnya.
Sesaji sebagai tanda penghormatan, pelayanan atau pengabdian itu diulurkan kepada Panembahan Sapu Jagat atau Kiai Sapu Jagat, yakni yang diyakini sebagai sosok gaib penjaga gunung Merapi.
Dikutip dari buku Berandal Tanah Jawa (2019), ritus Labuhan Merapi dimulai dengan pengantaran sejumlah benda pusaka keraton kasultanan. Pusaka diantarkan dari keraton Yogyakarta ke arah kantor kecamatan di Cangkringan yang berlokasi di lereng gunung di bawah Kinahrejo.
Apa saja benda yang dilabuhkan? Seperangkat lengkap pakaian tradisional pria dan wanita Jawa. Di antaranya kain batik berbagai pola, setagen, blangkon, serta gelondongan kain polos.
Kemudian guntingan kuku dan potongan rambut sultan, sajian kembang, kemenyan, daun sirih, dan minyak wangi. Lalu juga aneka sajian makanan termasuk tumpeng yang berhias buah-buahan, sayuran, telur rebus, serta cabai.
Juga ditambah rokok klobot, minyak wangi dan sedikit uang. “Persembahan ini diangkut dalam kotak kayu yang cukup besar”.
Prosesi dimulai di wilayah Kinahrejo. Di dapur rumah juru kunci gunung Merapi di Kinahrejo, ubo rampe berupa hidangan untuk upacara ritual telah disiapkan oleh para perempuan.
Di antaranya dua ekor ayam panggang, satu ekor ayam ingkung, nasi dan tumpeng, sayur urap, anek jajan pasar, cemilan gorengan, sayur campur, lemper, dan kerupuk udang.
Di dapur itu, juru kunci Merapi membakar dupa sekaligus memanjatkan doa yang berlafalkan Arab dan Jawa. Sebelum peristiwa erupsi dahsyat tahun 2010 yang menelan banyak korban jiwa, doa dipimpin juru kunci mendiang Mbah Maridjan.
Disampaikan bahwa Sultan Yogyakarta telah menghaturkan persembahan kepada leluhur yang bersemayam di gunung Merapi. Persembahan yang dihaturkan sebagai wujud rasa cinta, hormat dan syukur.
Sultan sekeluarga, bangsa Indonesia, para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia didoakan senantiasa berumur panjang, damai, sehat, serta dilindungi dari segala malapetaka dan bencana alam.
“Ritual diakhiri dengan selametan, upacara menyantap sesajian makanan yang telah diletakkan di atas tikar yang terhampar di lantai”.
Selanjutnya kotak kayu yang berisi persembahan benda keraton diusung sekaligus dikirab menuju kawasan kendhit. Tetua adat dan para abdi dalem keraton mengenakan pakaian tradisional Jawa.Laki-laki memakai kain batik, surjan dari kain lurik serta blangkon. Sedangkan perempuan mengenakan kemben dari kain warna-warni dan kain batik yang panjangnya hingga pergelangan kaki.
Sesampai di sebuah batu besar yang diberi nama Pelabuhan, persembahan dihaturkan. Kemenyan dibakar. Semua duduk bersila menghadap puncak gunung Merapi dengan posisi tangan menyembah.
Dengan bahasa Jawa halus, juru kunci berdoa sekaligus menghaturkan persembahan kepada Kiai Sapu Jagat. Khusus pakaian tradisional dan kain dari keraton dibagi-bagikan kepada warga.
Banyak warga yang berharap besar bisa mendapatkannya. Warga kemudian menyimpannya karena meyakini sebagai benda bertuah yang mampu menambah kewibawaan, melancarkan karier, menangkal serangan ilmu hitam serta menghindarkan dari malapetaka.
Malapetaka yang dimaksud, terutama terkait dengan ancaman erupsi gunung Merapi. Begitulah cara orang Jawa menjinakkan Gunung Merapi yang dikenal mudah mengamuk.
(nic)