Momen Hayam Wuruk Bangun Bendungan hingga Perluasan Lahan Pertanian dari Pajak Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pajak menjadi salah satu pemasukan sumber dana di masa pemerintahan Kerajaan Majapahit untuk membangun sejumlah fasilitas. Pajak ini menjadi tumpuan, khususnya ketika Hayam Wuruk bertahta menggantikan ibunya Tribhuwana Tunggadewi.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit bersifat agraris sekaligus sebagai negeri dagang. Dalam menghidupi kas negara kerajaan ini sama seperti kerajaan sebelumnya yang menggantungkan dari hasil bumi dan berbagai jenis pajak.
Dikutip dari Perpajakan Pada Masa Majapahit tulisan Djoko Dwijanto pada "700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai, hasil tersebut digunakan sebagai anggaran belanja kerajaan untuk menggaji para pegawai kerajaan, prajurit, keluarga raja, biaya pendirian bangunan suci, perluasan wilayah (perang), upacara keagamaan, perjalanan raja dan keluarganya ke daerah-daerah serta untuk pesta-pesta, sebagaimana dimuat pada Kakawin Nagarakertagama, pupuh: LXXXV sampai XCI.
Keperluan-keperluan membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga untuk menutup anggarannya diperlukan pengerahan hasil bumi, upeti dan pajak dari berbagai aktivitas ekonomi dan kenegaraan.
Upaya peningkatan pendapatan kerajaan selain dalam bentuk pengembangan usaha pertanian, perkebunan, dan intensifikasi dengan pengolahan tanah dan irigasi, juga dilakukan dalam bentuk upaya peningkatan pemungutan pajak.
Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jenis aktivitas yang dikenai pajak. Selain itu pendapatan dari upeti juga merupakan sumber yang penting, baik dari sudut ekonomi maupun politik. Sistem upeti sebagai tanda kesetiaan kepada raja dan bersifat wajib, ditentukan berdasarkan jenis dan besarnya barang yang diserahkan.
Selain dari kedua jenis pendapatan itu masih terdapat pemasukan lain, yaitu dari denda. Denda diperoleh dari kasus-kasus putusan peradilan yang menyangkut berbagai perkara, seperti termuat dalam prasasti-prasasti jayapatra.
Hayam Wuruk juga sadar potensi besar hasil bumi di negerinya. Peranan hasil bumi ini menjadi penyangga kehidupan rumah tangga istana. Oleh karena itu raja dan kerabatnya berusaha meningkatkan hasil bumi ini, antara lain dengan memperluas lahan pertanian dengan cara membuka hutan. Raja Hayam Wuruk lakukan itu di Watsari dekat Tigawangi Selain itu juga dengan membuka ladang luas di Sagala. Sedangkan Pangeran Wengker, mertua Hayam Wuruk membuka hutan di Surabhana, Pasuruan, dan Pajang.
Perluasan daerah pertanian, diikuti pula dengan sistem pengolahan tanah secara intensif, dimaksudkan untuk meningkatkan hasil, mengisi lumbung dan kas negara. Dari hasil pajak Kerajaan Majapahit melakukan pembangunan besar-besaran, pembuatan saluran irigasi.
Pengadaan sarana irigasi dilakukan dengan membangun bendungan. Pada masa sebelum Majapahit pembangunan bendungan bahkan mendapat perhatian langsung dari raja, sebagaimana termuat dalam prasasti Kamalagyan tahun 959 Saka.
Pembuatan bendungan dan saluran irigasi dilakukan oleh para pegawai daerah dan petani penggarap, yang ditunjuk dan diangkat oleh para adipati sebagai penguasa daerah. Penguasa daerah dalam hal ini tidak melakukan aktivitas pertanian.
Ia tinggal menunggu panen sambil bersenang-senang di Ibu kota. Apabila sudah tiba saatnya ia akan menerima hasil bumi dan kemudian mendistribusikannya, sebagian untuk dirinya dan sebagian lagi diserahkan ke pemerintah pusat.
Lihat Juga: Kisah 3 Jenderal Mongol Dihukum Cambuk oleh Khubilai Khan Gara-gara Gagal Kalahkan Majapahit
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit bersifat agraris sekaligus sebagai negeri dagang. Dalam menghidupi kas negara kerajaan ini sama seperti kerajaan sebelumnya yang menggantungkan dari hasil bumi dan berbagai jenis pajak.
Dikutip dari Perpajakan Pada Masa Majapahit tulisan Djoko Dwijanto pada "700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai, hasil tersebut digunakan sebagai anggaran belanja kerajaan untuk menggaji para pegawai kerajaan, prajurit, keluarga raja, biaya pendirian bangunan suci, perluasan wilayah (perang), upacara keagamaan, perjalanan raja dan keluarganya ke daerah-daerah serta untuk pesta-pesta, sebagaimana dimuat pada Kakawin Nagarakertagama, pupuh: LXXXV sampai XCI.
Keperluan-keperluan membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga untuk menutup anggarannya diperlukan pengerahan hasil bumi, upeti dan pajak dari berbagai aktivitas ekonomi dan kenegaraan.
Upaya peningkatan pendapatan kerajaan selain dalam bentuk pengembangan usaha pertanian, perkebunan, dan intensifikasi dengan pengolahan tanah dan irigasi, juga dilakukan dalam bentuk upaya peningkatan pemungutan pajak.
Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jenis aktivitas yang dikenai pajak. Selain itu pendapatan dari upeti juga merupakan sumber yang penting, baik dari sudut ekonomi maupun politik. Sistem upeti sebagai tanda kesetiaan kepada raja dan bersifat wajib, ditentukan berdasarkan jenis dan besarnya barang yang diserahkan.
Selain dari kedua jenis pendapatan itu masih terdapat pemasukan lain, yaitu dari denda. Denda diperoleh dari kasus-kasus putusan peradilan yang menyangkut berbagai perkara, seperti termuat dalam prasasti-prasasti jayapatra.
Hayam Wuruk juga sadar potensi besar hasil bumi di negerinya. Peranan hasil bumi ini menjadi penyangga kehidupan rumah tangga istana. Oleh karena itu raja dan kerabatnya berusaha meningkatkan hasil bumi ini, antara lain dengan memperluas lahan pertanian dengan cara membuka hutan. Raja Hayam Wuruk lakukan itu di Watsari dekat Tigawangi Selain itu juga dengan membuka ladang luas di Sagala. Sedangkan Pangeran Wengker, mertua Hayam Wuruk membuka hutan di Surabhana, Pasuruan, dan Pajang.
Perluasan daerah pertanian, diikuti pula dengan sistem pengolahan tanah secara intensif, dimaksudkan untuk meningkatkan hasil, mengisi lumbung dan kas negara. Dari hasil pajak Kerajaan Majapahit melakukan pembangunan besar-besaran, pembuatan saluran irigasi.
Pengadaan sarana irigasi dilakukan dengan membangun bendungan. Pada masa sebelum Majapahit pembangunan bendungan bahkan mendapat perhatian langsung dari raja, sebagaimana termuat dalam prasasti Kamalagyan tahun 959 Saka.
Pembuatan bendungan dan saluran irigasi dilakukan oleh para pegawai daerah dan petani penggarap, yang ditunjuk dan diangkat oleh para adipati sebagai penguasa daerah. Penguasa daerah dalam hal ini tidak melakukan aktivitas pertanian.
Ia tinggal menunggu panen sambil bersenang-senang di Ibu kota. Apabila sudah tiba saatnya ia akan menerima hasil bumi dan kemudian mendistribusikannya, sebagian untuk dirinya dan sebagian lagi diserahkan ke pemerintah pusat.
Lihat Juga: Kisah 3 Jenderal Mongol Dihukum Cambuk oleh Khubilai Khan Gara-gara Gagal Kalahkan Majapahit
(don)