Ngobras Bahas Bagaimana Menggunakan Hak-hak Digital dengan Bijaksana
loading...
A
A
A
MANADO - Dalam kemajuan internet dan media sosial, masyarakat sebetulnya mempunyai hak-hak digital. Hak-hak digital ialah hal untuk mengakses, menggunakan menciptakan, dan menyebarluaskan kerja digital, dan untuk mengakses komputer dan perangkat elektronik lainnya, termasuk jaringan komunikasi, khususnya internet.
Dengan potensi tersebut, Kominfo dan Komisi I DPR RI menyelenggarakan webinar Ngobrol Bareng Legislator (Ngobras) dengan tema “Hak-Hak Digital” pada 1 Maret 2023 lalu. Kegiatan ini dibuka oleh Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan
Anggota Komisi I DPR RI Subarna menjelaskan pentingnya mengetahui hak-hak digital yang merupakan perluasan hak asasi manusia.
"Hak-hak digital ini meliputi hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi di internet, hak untuk rasa mana di ranah digital atau internet," ujar Subarna.
Subarna mengungkapkan hak untuk mengakses internet merupakan hak individu untuk mengakses semua hal yang ada di internet sesuai hukum yang ada. Karenanya, seseorang yang menghalangi akses internet telah melanggar hukum internasional.
Selain mengetahui hak-hak digital, Co-Founder Jakarta Good Guide Pracandha Adwitiyo menjelaskan kewajiban di dunia digital juga tak kalah pentingnya.
Hak untuk berekpresi di internet, menurut Pracandha, sudah tercantum sejak lama dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Pracandha menyatakan kebebasan di dunia internet harus dibatasi dengan adanya kewajiban-kewajiban di dunia digital.
"Kewajiabnnya cuma satu: memenuhi hak pengguna lain, menggunakan internet dengan bijak dan sehat, dan tidak memproduksi atau menyebar hoaks," sebutnya.
Dalam konteks kebebasan berekspresi, Dosen IAIN Manado Taufani merekomendasikan kepada siapapun yang ingin menyuarakan sesuatu agar memakai platform seperti change.org dan memanfaatkan penggunaan tagar.
Selain itu, Taufani juga menilik penggunaan meme di internet yang dapat menjadi kritik sosial yang sangat kreatif.
“Meme ini adalah salah satu bentuk kritik sosial yang sangat kreatif di era digital saat ini,” jelas Dosen IAIN Manado tersebut.
Taufani menjelaskan ada sejumlah aturan dalam UU ITE yang mengandung internet. Di antaranya pasal 207 KUHP, pasal 27, pasal 1 UU ITE tentang kesusilaan, berita bohong, dan ancaman secara pribadi. Catatan Setneg dari 2011-2019 menyebutkan laporan terkait UU ITE didominasi oleh laporan pencemaran nama baik.
Karena itu, Taufani memberi tips agar tidak terjerat UU ITE saat melakukan kritik sosial. Pertama, ingatkan diri di dunia maya sama seperti dunia digital. Kedua, mengenali dan tidak menyebarkan hoaks.
Ketiga, tidak menyebarkan data pribadi. Keempat, tidak melontarkan komentar atau ujaran tak sopan. Kelima, tidak mencemarkan nama baik.
Tentunya, Taufani berharap sebagai akademisi bahwa kebebasan berekspresi dapat jadi saran kritis sosial tanpa jeratan UU ITE.
“Kita juga berharap dengan keberedaan UU ITE tidak mengkrangkeng kebebasan publik untuk melakukan kritik sosial sebagai bentuk check and balance karena konsekuensi kita berdemokrasi tentunya masyarakat memiliki kebebasan untuk melakukan kritik sosial terhadap pemerintah,” pungkasnya.
Dengan potensi tersebut, Kominfo dan Komisi I DPR RI menyelenggarakan webinar Ngobrol Bareng Legislator (Ngobras) dengan tema “Hak-Hak Digital” pada 1 Maret 2023 lalu. Kegiatan ini dibuka oleh Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan
Anggota Komisi I DPR RI Subarna menjelaskan pentingnya mengetahui hak-hak digital yang merupakan perluasan hak asasi manusia.
"Hak-hak digital ini meliputi hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi di internet, hak untuk rasa mana di ranah digital atau internet," ujar Subarna.
Subarna mengungkapkan hak untuk mengakses internet merupakan hak individu untuk mengakses semua hal yang ada di internet sesuai hukum yang ada. Karenanya, seseorang yang menghalangi akses internet telah melanggar hukum internasional.
Selain mengetahui hak-hak digital, Co-Founder Jakarta Good Guide Pracandha Adwitiyo menjelaskan kewajiban di dunia digital juga tak kalah pentingnya.
Hak untuk berekpresi di internet, menurut Pracandha, sudah tercantum sejak lama dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Pracandha menyatakan kebebasan di dunia internet harus dibatasi dengan adanya kewajiban-kewajiban di dunia digital.
"Kewajiabnnya cuma satu: memenuhi hak pengguna lain, menggunakan internet dengan bijak dan sehat, dan tidak memproduksi atau menyebar hoaks," sebutnya.
Dalam konteks kebebasan berekspresi, Dosen IAIN Manado Taufani merekomendasikan kepada siapapun yang ingin menyuarakan sesuatu agar memakai platform seperti change.org dan memanfaatkan penggunaan tagar.
Selain itu, Taufani juga menilik penggunaan meme di internet yang dapat menjadi kritik sosial yang sangat kreatif.
“Meme ini adalah salah satu bentuk kritik sosial yang sangat kreatif di era digital saat ini,” jelas Dosen IAIN Manado tersebut.
Taufani menjelaskan ada sejumlah aturan dalam UU ITE yang mengandung internet. Di antaranya pasal 207 KUHP, pasal 27, pasal 1 UU ITE tentang kesusilaan, berita bohong, dan ancaman secara pribadi. Catatan Setneg dari 2011-2019 menyebutkan laporan terkait UU ITE didominasi oleh laporan pencemaran nama baik.
Karena itu, Taufani memberi tips agar tidak terjerat UU ITE saat melakukan kritik sosial. Pertama, ingatkan diri di dunia maya sama seperti dunia digital. Kedua, mengenali dan tidak menyebarkan hoaks.
Ketiga, tidak menyebarkan data pribadi. Keempat, tidak melontarkan komentar atau ujaran tak sopan. Kelima, tidak mencemarkan nama baik.
Tentunya, Taufani berharap sebagai akademisi bahwa kebebasan berekspresi dapat jadi saran kritis sosial tanpa jeratan UU ITE.
“Kita juga berharap dengan keberedaan UU ITE tidak mengkrangkeng kebebasan publik untuk melakukan kritik sosial sebagai bentuk check and balance karena konsekuensi kita berdemokrasi tentunya masyarakat memiliki kebebasan untuk melakukan kritik sosial terhadap pemerintah,” pungkasnya.
(nag)