Misteri Kitab Kacijulangan yang Berisi Ajaran dan Falsafah Spiritual

Selasa, 14 Februari 2023 - 05:03 WIB
loading...
Misteri Kitab Kacijulangan yang Berisi Ajaran dan Falsafah Spiritual
Kitab Kacijulangan dinilai sebagai kitab yang sakral. Karena itu, kitab ini tidak dibaca sembarang orang dan waktu. Waktu untuk membaca kitab ini hanya sekali setahun. Foto ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kitab Kacijulangan dinilai sebagai kitab yang sakral . Karena itu, kitab ini tidak dibaca sembarang orang dan waktu. Waktu untuk membaca kitab ini hanya sekali setahun. Dan yang membaca kitab ini adalah mereka yang memiliki tingkat ketasawufan dan tauhid yang sudah kokoh.

Saat ini, sosok yang memiliki keilmuan tinggi semakin langka. Akibatnya, ritual pembacaan Kitab Kacijulangan semakin jarang dilaksanakan. Ritual pembacaan kitab Kacijulangan terakhir kali dibaca pada 2013, oleh salah satu kasepuhan bernama Abah Adim.

Seperi apakah Kitab Kacijulangan itu? Kitab Kacijulangan merupakan rangkaian sejarah para pendahulu dan tokoh masyarakat Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Kitab ini berisi sejarah kenabian dalam Islam.

Selain itu, Kitab Kacijulang juga berisi cerita mengenai Sunan Raja Mandala. Dia merupakan salah satu bangsawan keturunan Kerajaan Pajajaran dan dikaruniai lima anak laki-laki, di antaranya Nini Gede Aki Gede atau Sembah Gede, Jang Pati, Jang Singa atau Maung Panjalu, Jang Raga, Jang Langas atau Sembah Agung.

Disebutkan bahwa semua anaknya diutus ke berbagai daerah untuk mengembangkan Agama Islam. Nini Gede Aki Gede diutus oleh Sunan Raja Mandala ke wilayah Banyumas, Purwokerto, yang waktu itu masuk wilayah kerajaan Galuh.

Di Banyumas Purwokerto tepatnya di Baturaden yang cirinya ada keramat Maqom Batire Raden atau Teman Raden. Sedangkan Jang Pati diutus ke Jambansari Ciamis, sementara Jang Singa diutus ke Panjalu, sedangkan Jang Raga diutus ke Mangunjaya dan Jang Langas diutus ke Batukaras.

Sunan Raja Mandala memiliki saudara bernama Liman Sanjaya dan Sanghiang Wiruna atau Eyang Prabu Waseh yang saat ini maqomnya terdapat di lokasi Nusawiru, lokasi tersebut hingga saat ini di keramatkan oleh masyarakat Cijulang.

Menurutbudayawan Krisna Yudha Astrawijaya, tradisi pembacaan kitab Kacijulangan yang biasa dibacakan satu tahun satu kali, pada bulan Muharam kini hampir punah.

Ancaman kepunahan ini disebabkan makin berkurangnya para pelaku dan para kasepuhan yang biasa melaksanakan tradisi tersebut. Generasi baru hampir tidak memiliki minat untuk meneruskan tradisi itu.

Kitab Kacijulangan yang asli hingga saat ini belum ditemukan. Namun, kata Krisna, salinan kitab tersebut berdasarkan informasi keberadaannya sekarang ada di Perpustakaan Nasional.

“Kitab Kacijulangan sebanyak 23 halaman, kitab tersebut aslinya bukan ditulis di atas kertas. Beberapa kasepuhan ada yang menyebut terbuat dari kulit hewan dan ada juga yang mengatakan dari kulit kelopak pohon,” ungkap Krisna.

Kitab Kacijulangan ditulis dengan tulisan arab pagon dalam bahasa Jawa. Isi kitab Kacijulangan juga memaparkan ilmu hakikat jatidiri manusia. "Oleh karena itu kitab Kacijulangan biasa disebut juga dengan rangkaian purwaning jagat,” ujar Krisna.

Krisna memaparkan, pembacaan kitab Kacijulangan terakhir dibaca dalam rangkaian ritual ngabuku tahun pada 2013 oleh salah satu kasepuhan bernama Abah Adim. Baca juga: Prof Hamid Nasuki Ditetapkan Menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Tasawuf UIN Jakarta

“Sebelumnya pada tiap tahun pada bulan Muharam pembaca kitab tersebut dibacakan oleh Agan Didi, setalah pupus diwariskan ke Abah Sajib selanjutnya oleh Kuwu Kanta,” paparnya.

Karena kitab tersebut dinilai sakral dan pembacanya harus oleh orang yang memiliki tingkat ketasawufan dan tauhidnya sudah kokoh, untuk saat ini ritual pembacaan tersebut jarang dilaksanakan.

“Pembacaan kitab Kacijulangan dari awal hingga akhir pembacaan biasanya berdurasi 2 jam 30 menit, kami pernah melakukan percobaan membaca kitab Kacijulangan pada bulan Muharam tahun 2014. Namun baru saja 15 menit pembaca kitab Kacijulangan tidak kuat menahan aura khodamnya,” jelasnya.

Kitab Kacijulangan sudah disalin ke tulisan latin oleh Prof Edi S Ekadjati. Saat ini naskah salinan tulisan latin tersebut berada di perpustakaan nasional Jalan Salemba Raya Lantai 5.

Namun salinan dalam tulisan latin tersebut tidak diperbolehkan untuk dipinjam atau di foto copy karena telah masuk pada arsip nasional dan hanya bisa dibaca di tempat itu saja.

Namun naskah yang saat ini ada dibeberapa budayawan hanya naskah tulisan Arab Pagon dan belum ada yang mampu menerjemahkan dalam bahasa daerah atau bahasa nasional.

Salah satu keturunan Wangsa Manggala dan Tafsirudin bernama Endang Sukara (41) saat dihubungi mengaku tidak pernah menemukan kitab Kacijulangan hingga dirinya mencari kitab tersebut ke daerah Bulakbeunda, Desa Madasari, Kecamatan Cimerak.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1363 seconds (0.1#10.140)