Awas! Penyakit Kulit Benjol Ancam Ternak Sapi Warga Bintan
loading...
A
A
A
BINTAN - Para peternak sapi di wilayah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri), diminta mewaspadai penularan penyakit kulit benjol atau Lumpy Skin Disease (LSD). Imbauan untuk meningkatkan kewaspadaa ini, juga diungkapkan Pejabat Otoritas Veteriner Kabupaten Bintan, Iwan Berri Prima.
Menurut Iwan, daerah itu perlu mewaspadai penyakit kulit benjol pada ternak sapi. "Selain penyakit mulut dan kuku, saat ini yang jadi ancaman bagi peternak sapi adalah penyakit kulit berbenjol," katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, penyakit itu kini sedang menyerang sapi di beberapa wilayah di Indonesia. Oleh sebab itu, pihak-pihak terkait seperti Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, UPTD Rumah Potong Hewan (RPH) serta Puskeswan di Kabupaten Bintan, diimbau untuk meningkatkan kewaspadaannya.
Hingga saat ini, menurutnya belum ada laporan kasus penyakit kulit benjol pada sapi di Bintan. Meski demikian, para peternak sapi diminta segera menghubungi dokter hewan, dan atau petugas paramedik veteriner di lapangan ketika sapinya sakit.
Adapun gejala klinis dari penyakit kulit benjol pada sapi ini, di antaranya adalah adanya lesi kulit berupa nodul atau benjolan berukuran 1-7 cm, yang biasanya ditemukan pada daerah leher, kepala, kaki, ekor dan ambing.
Pada kasus berat, nodul-nodul ini dapat ditemukan dihampir seluruh bagian tubuh sapi. Munculnya nodul ini biasanya diawali dengan demam hingga lebih dari 40,5 derajat celcius. Nodul pada kulit tersebut jika dibiarkan akan menjadi lesi nekrotik dan ulseratif.
"Selanjutnya, hewan sapi akan lemah, adanya leleran hidung dan mata, pembengkakan limfonodus subscapula dan prefemoralis, serta dapat terjadi oedema pada kaki," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, LSD juga dapat meyebabkan abortus, penurunan produksi susu pada sapi perah, infertilitas dan demam berkepanjangan. Namun, gejala klinis LSD dipengaruhi oleh umur, ras dan status imun ternak.
Ia memgutarakan, penularan penyakit LSD ini terjadi karena ada dua cara. Pertama, penularan secara langsung, yakni melalui kontak dengan lesi kulit, namun virus LSD juga diekskresikan melalui darah, leleran hidung dan mata, air liur, semen dan susu. Penularan juga dapat terjadi secara intrauterine.
Kedua, penularan secara tidak langsung, yaitu penularan terjadi melalui peralatan dan perlengkapan yang terkontaminasi virus LSD seperti pakaian kandang, peralatan kandang, dan jarum suntik.
"Bahkan, penularan secara mekanis juga dapat terjadi, yakni melalui vektor nyamuk (genus aedes dan culex), lalat (stomoxys sp, haematopota spp, hematobia irritans), migas penggigit dan caplak (riphicephalus appendiculatus dan Ambyomma heberaeum)," paparnya.
Iwan mengimbau, mengingat penyakit ini disebabkan oleh virus, yakni Lumpy Skin Disease Virus (LSDV) maka upaya pencegahan perlu ditingkatkan, di antaranya melalui Biosecurity yang ketat dan pembatasan lalu lintas orang atau barang keluar masuk kandang. "Masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan, karena LSD bukan zoonosis atau bukan penyakit yang menular dari hewan ke manusia," pungkasnya.
Menurut Iwan, daerah itu perlu mewaspadai penyakit kulit benjol pada ternak sapi. "Selain penyakit mulut dan kuku, saat ini yang jadi ancaman bagi peternak sapi adalah penyakit kulit berbenjol," katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, penyakit itu kini sedang menyerang sapi di beberapa wilayah di Indonesia. Oleh sebab itu, pihak-pihak terkait seperti Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, UPTD Rumah Potong Hewan (RPH) serta Puskeswan di Kabupaten Bintan, diimbau untuk meningkatkan kewaspadaannya.
Hingga saat ini, menurutnya belum ada laporan kasus penyakit kulit benjol pada sapi di Bintan. Meski demikian, para peternak sapi diminta segera menghubungi dokter hewan, dan atau petugas paramedik veteriner di lapangan ketika sapinya sakit.
Adapun gejala klinis dari penyakit kulit benjol pada sapi ini, di antaranya adalah adanya lesi kulit berupa nodul atau benjolan berukuran 1-7 cm, yang biasanya ditemukan pada daerah leher, kepala, kaki, ekor dan ambing.
Pada kasus berat, nodul-nodul ini dapat ditemukan dihampir seluruh bagian tubuh sapi. Munculnya nodul ini biasanya diawali dengan demam hingga lebih dari 40,5 derajat celcius. Nodul pada kulit tersebut jika dibiarkan akan menjadi lesi nekrotik dan ulseratif.
"Selanjutnya, hewan sapi akan lemah, adanya leleran hidung dan mata, pembengkakan limfonodus subscapula dan prefemoralis, serta dapat terjadi oedema pada kaki," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, LSD juga dapat meyebabkan abortus, penurunan produksi susu pada sapi perah, infertilitas dan demam berkepanjangan. Namun, gejala klinis LSD dipengaruhi oleh umur, ras dan status imun ternak.
Ia memgutarakan, penularan penyakit LSD ini terjadi karena ada dua cara. Pertama, penularan secara langsung, yakni melalui kontak dengan lesi kulit, namun virus LSD juga diekskresikan melalui darah, leleran hidung dan mata, air liur, semen dan susu. Penularan juga dapat terjadi secara intrauterine.
Kedua, penularan secara tidak langsung, yaitu penularan terjadi melalui peralatan dan perlengkapan yang terkontaminasi virus LSD seperti pakaian kandang, peralatan kandang, dan jarum suntik.
"Bahkan, penularan secara mekanis juga dapat terjadi, yakni melalui vektor nyamuk (genus aedes dan culex), lalat (stomoxys sp, haematopota spp, hematobia irritans), migas penggigit dan caplak (riphicephalus appendiculatus dan Ambyomma heberaeum)," paparnya.
Iwan mengimbau, mengingat penyakit ini disebabkan oleh virus, yakni Lumpy Skin Disease Virus (LSDV) maka upaya pencegahan perlu ditingkatkan, di antaranya melalui Biosecurity yang ketat dan pembatasan lalu lintas orang atau barang keluar masuk kandang. "Masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan, karena LSD bukan zoonosis atau bukan penyakit yang menular dari hewan ke manusia," pungkasnya.
(eyt)