Ketika NU Kecewa, Tarik Diri lalu Jadi Partai Politik hingga Pecundangi Masyumi
loading...
A
A
A
BLITAR - Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) telah memasuki usia satu abad. Sebelum berdiri sebagai partai politik dan lantas kembali ke khittah 1926, NU dalam perjalanan sejarahnya pernah menjadi konstituen Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Warga NU berada dalam satu barisan dengan kelompok Islam modernis, yakni Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
Kehadiran NU sebagai kekuatan tradisional menjadikan Masyumi partai Islam terbesar di Indonesia sekaligus tandingan serius partai sekuler seperti PNI, PSI dan PKI.
Namun di tengah perjalanan terjadi dinamika politik yang keras. Perbedaan pandangan yang terus menajam membuat NU dan Masyumi mengalami pecah kongsi.
Puncak ketegangan NU dan Masyumi berlangsung pada awal tahun 1952. Seiring berakhirnya kabinet PNI-Masyumi yang dipimpin Sukiman pada 25 Februari 1952, posisi NU mulai dipinggirkan.
Pada kabinet baru, upaya NU mempertahankan jatah menteri agama mulai diganggu. Dengan berbagai alasan, yakni salah satunya NU sudah sembilan kali menerima jatah (sejak 1946), Masyumi mengisyaratkan mendukung calon dari Muhammadiyah.
Sementara bagi NU, posisi kementerian agama adalah vital karena merupakan lembaga penting yang melayani kebutuhan spiritual masyarakat.
“Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek penting dalam kehidupan Islam, termasuk pendidikan agama, pengaturan masalah perkawinan, waris dan perceraian serta pengawasan terhadap urusan-urusan haji- semuanya merupakan lahan tradisional para kiai NU,” demikian yang tertulis dalam buku Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 (2003).
Sebelum muncul persoalan pembagian jatah kekuasaan di kabinet, benih ketegangan antara NU dengan Masyumi, yakni terutama dengan kelompok Moh Natsir, sudah mulai terasa pada akhir tahun 1949.
Ketegangan itu dipicu adanya perubahan kepemimpinan, kebijakan, peraturan dan sikap partai terhadap ulama tradisionalis. Semua perubahan yang merugikan NU itu adalah hasil Kongres Masyumi ke-4 pada Desember 1949 di Yogyakarta.
Kongres telah mengantarkan Moh Natsir sebagai Ketua DPP dan sekaligus menjadikan orang-orangnya mendominasi partai.
Melalui peraturan barunya, Natsir menyempitkan peran Majelis Syuro (Dewan Penasihat) yang diketuai KH Wahab Chasbullah. Dewan Syuro dilarang mencampuri urusan politik dan hanya dibolehkan memberi fatwa terkait hukum Islam.
Sementara di Masyumi, satu-satunya lembaga kepemimpinan yang didominasi NU hanya Majelis Syuro. NU memandang anggaran dasar baru itu meletakkan politisi pada posisi lebih tinggi dari ulama.
“Perubahan peran ulama dan Majelis Syuro ini merupakan penyebab utama pertikaian antara NU dengan kelompok Natsir,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967.
Di dalam Kongres Masyumi ke-4 di Yogyakarta itu, serangan kaum modernis terhadap ulama tradisionalis juga diperlihatkan terang-terangan. Wali Kota Yogyakarta, Mr Saleh melontarkan ucapan yang memerahkan telinga warga NU.
Dikatakan politik merupakan dunia yang luas, dan bukan hanya menyangkut peristiwa seputar pondok dan pesantren. Ia juga mengatakan masalah politik terlalu luas untuk didiskusikan sambil menggenggam tasbih.
“Ucapan itu mengundang protes keras kaum tradisionalis, yang akhirnya menyebabkan utusan NU meninggalkan sidang,” kata Amak Fadholi dalam buku Partai NU.
NU semakin kecewa ketika usulan pengubahan struktur di Masyumi ditolak. Sebagai kekuatan terbesar di Masyumi, NU merasakan adanya pembagian kekuasaan yang tak seimbang.
Pasca Kongres Masyumi 1949 sejumlah aktivis NU mulai berkampanye untuk menarik diri dari Masyumi.
Secara diam-diam PBNU juga menyiapkan diri dengan membentuk Majelis Pertimbangan Politik (MPP) pada awal September 1951. MPP menyusun rencana bagi NU untuk menjadi partai politik.
Diawali manuver politik Kiai Wahab Chasbullah yang menuntut diberikannya jatah menteri agama, NU mulai melakukan perlawanan terhadap Masyumi. Sementara Natsir sebagai pimpinan Masyumi menganggap ancaman penarikan diri NU, kecil kemungkinan dilaksanakan.
Dan kalaupun terjadi, NU tidak akan menjadi partai politik, melainkan tetap menjadi jam’iyah. Ternyata Natsir keliru. Setelah melalui perdebatan keras dalam Muktamar NU ke XIX, pada 31 Juli 1952 NU resmi keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik.
Baca: Geger, Perempuan di Madiun Bakar Bayinya di Atas Tungku hingga Tewas.
Dalam berkampanye NU mengusung jargon Kerjasama Islam-nasional. Jargon itu merujuk pada cita-cita Izzul Islam wal Muslimin (Kejayaan Islam dan para pemeluknya).
Pada pemilu 1955, NU membuktikan diri mampu mengalahkan Masyumi. Perolehan suara Partai NU sebanyak 6.492.631 suara menempati posisi kedua terbesar di bawah PNI, yakni 7.333.063 suara.
Setelah melalui perjalanan politik yang panjang. Pada tahun 1984 melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926. NU bukan lagi partai politik atau bagian partai politik, melainkan jam’iyah sosial kemasyarakatan keagamaan.
Lihat Juga: Pengamat Nilai Pergeseran Dukungan Simpatisan Parpol ke Egi-Syaiful Bukti Keinginan Perubahan
Warga NU berada dalam satu barisan dengan kelompok Islam modernis, yakni Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
Kehadiran NU sebagai kekuatan tradisional menjadikan Masyumi partai Islam terbesar di Indonesia sekaligus tandingan serius partai sekuler seperti PNI, PSI dan PKI.
Namun di tengah perjalanan terjadi dinamika politik yang keras. Perbedaan pandangan yang terus menajam membuat NU dan Masyumi mengalami pecah kongsi.
Puncak ketegangan NU dan Masyumi berlangsung pada awal tahun 1952. Seiring berakhirnya kabinet PNI-Masyumi yang dipimpin Sukiman pada 25 Februari 1952, posisi NU mulai dipinggirkan.
Pada kabinet baru, upaya NU mempertahankan jatah menteri agama mulai diganggu. Dengan berbagai alasan, yakni salah satunya NU sudah sembilan kali menerima jatah (sejak 1946), Masyumi mengisyaratkan mendukung calon dari Muhammadiyah.
Sementara bagi NU, posisi kementerian agama adalah vital karena merupakan lembaga penting yang melayani kebutuhan spiritual masyarakat.
“Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek penting dalam kehidupan Islam, termasuk pendidikan agama, pengaturan masalah perkawinan, waris dan perceraian serta pengawasan terhadap urusan-urusan haji- semuanya merupakan lahan tradisional para kiai NU,” demikian yang tertulis dalam buku Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 (2003).
Sebelum muncul persoalan pembagian jatah kekuasaan di kabinet, benih ketegangan antara NU dengan Masyumi, yakni terutama dengan kelompok Moh Natsir, sudah mulai terasa pada akhir tahun 1949.
Ketegangan itu dipicu adanya perubahan kepemimpinan, kebijakan, peraturan dan sikap partai terhadap ulama tradisionalis. Semua perubahan yang merugikan NU itu adalah hasil Kongres Masyumi ke-4 pada Desember 1949 di Yogyakarta.
Kongres telah mengantarkan Moh Natsir sebagai Ketua DPP dan sekaligus menjadikan orang-orangnya mendominasi partai.
Melalui peraturan barunya, Natsir menyempitkan peran Majelis Syuro (Dewan Penasihat) yang diketuai KH Wahab Chasbullah. Dewan Syuro dilarang mencampuri urusan politik dan hanya dibolehkan memberi fatwa terkait hukum Islam.
Sementara di Masyumi, satu-satunya lembaga kepemimpinan yang didominasi NU hanya Majelis Syuro. NU memandang anggaran dasar baru itu meletakkan politisi pada posisi lebih tinggi dari ulama.
“Perubahan peran ulama dan Majelis Syuro ini merupakan penyebab utama pertikaian antara NU dengan kelompok Natsir,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967.
Di dalam Kongres Masyumi ke-4 di Yogyakarta itu, serangan kaum modernis terhadap ulama tradisionalis juga diperlihatkan terang-terangan. Wali Kota Yogyakarta, Mr Saleh melontarkan ucapan yang memerahkan telinga warga NU.
Dikatakan politik merupakan dunia yang luas, dan bukan hanya menyangkut peristiwa seputar pondok dan pesantren. Ia juga mengatakan masalah politik terlalu luas untuk didiskusikan sambil menggenggam tasbih.
“Ucapan itu mengundang protes keras kaum tradisionalis, yang akhirnya menyebabkan utusan NU meninggalkan sidang,” kata Amak Fadholi dalam buku Partai NU.
NU semakin kecewa ketika usulan pengubahan struktur di Masyumi ditolak. Sebagai kekuatan terbesar di Masyumi, NU merasakan adanya pembagian kekuasaan yang tak seimbang.
Pasca Kongres Masyumi 1949 sejumlah aktivis NU mulai berkampanye untuk menarik diri dari Masyumi.
Secara diam-diam PBNU juga menyiapkan diri dengan membentuk Majelis Pertimbangan Politik (MPP) pada awal September 1951. MPP menyusun rencana bagi NU untuk menjadi partai politik.
Diawali manuver politik Kiai Wahab Chasbullah yang menuntut diberikannya jatah menteri agama, NU mulai melakukan perlawanan terhadap Masyumi. Sementara Natsir sebagai pimpinan Masyumi menganggap ancaman penarikan diri NU, kecil kemungkinan dilaksanakan.
Dan kalaupun terjadi, NU tidak akan menjadi partai politik, melainkan tetap menjadi jam’iyah. Ternyata Natsir keliru. Setelah melalui perdebatan keras dalam Muktamar NU ke XIX, pada 31 Juli 1952 NU resmi keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik.
Baca: Geger, Perempuan di Madiun Bakar Bayinya di Atas Tungku hingga Tewas.
Dalam berkampanye NU mengusung jargon Kerjasama Islam-nasional. Jargon itu merujuk pada cita-cita Izzul Islam wal Muslimin (Kejayaan Islam dan para pemeluknya).
Pada pemilu 1955, NU membuktikan diri mampu mengalahkan Masyumi. Perolehan suara Partai NU sebanyak 6.492.631 suara menempati posisi kedua terbesar di bawah PNI, yakni 7.333.063 suara.
Setelah melalui perjalanan politik yang panjang. Pada tahun 1984 melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926. NU bukan lagi partai politik atau bagian partai politik, melainkan jam’iyah sosial kemasyarakatan keagamaan.
Lihat Juga: Pengamat Nilai Pergeseran Dukungan Simpatisan Parpol ke Egi-Syaiful Bukti Keinginan Perubahan
(nag)