Keris Kiai Bontit untuk Paku Alam, Simbol Pendukung Kasultanan Yogyakarta
loading...
A
A
A
KERIS KIAI BONTIT adalah pusaka sekaligus menjadi simbol bahwa yang berhak menyematkannya di pinggang adalah Paku Alam yang baru dan berkuasa di Kadipaten Pakualaman.
Kisah Kiai Bontit tak lepas dari sejarah keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Tak jelas siapa sang empu dan kapan keris pusaka ini dibuat, namun Pujangga Senior Pakualaman, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Mangunkusuma mencatat sejarah keberadaannya. Ada juga yang menyebutkan bahwa keris pusaka itu adalah milik Sunan Bonang.
Kiai Bontit memiliki hubungan yang erat dengan Kanjeng Kiai Ageng Kopek, keris pusaka yang hanya boleh dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta. Kisahnya bisa dirunut jauh hingga masa berkuasanya Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengku Buwono I.
Menjelang akhir masa kepemimpinannya, HB I mewariskan dua keris pusaka pada dua anaknya.
Keris Kiai Kopek diserahkan kepada HB II sementara keris pendamping Kiai Kopek, Kiai Bontit diserahkan kepada pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi Adipati Paku Alam I.
Saat itu HB I berpesan kepada kedua anak kesayangannya untuk saling mendukung. Kasultanan Yogyakarta tak akan bisa berdaulat tanpa dukungan Pakualaman. Begitu pula sebaliknya, kadipaten Pakualaman tak akan ada tanpa Kasultanan Yogyakarta.
“Karena itulah namanya Kiai Bontit, karena menjadi pendukung dari belakang. Posisinya selalu mengiringi langkah Kiai Kopek,” beber Mangunkusuma.
Saat ini, keris Kiai Bontit yang asli tak dipamerkan dan disimpan secara khusus oleh Paku Alam yang bertahta. Mangunkusuma mendeskripsikan keris itu memiliki dhapur Sabuk Inten dengan 13 lekukan. Di bilahnya terdapat pamor (motif) Beras Wutah. Warangka (sarung) keris Kiai Bontit lebih panjang dari umumnya agar dapat disematkan di sisi pinggang.
Sama seperti keris pusaka lain, Mangunkusuma mengatakan keris ini juga dipercaya memiliki kesaktian. Namun kesaktian itu hanya bisa digunakan oleh sosok yang sudah mengisi ruhnya dengan nilai-nilai luhur dalam agama. “Kalau jiwanya tidak terisi maka keris ini hanya sebilah besi biasa,” imbuh dia.
“Tidak sembarang orang bisa memakai keris ini, hanya Paku Alam yang sah yang diperkenankan mengenakannya,” kata dia.
Sementara menurut versi lain, keris tersebut awalnya adalah milik Sunan Bonang. Dia adalah salah satu dari sembilan wali, yang merupakan putra dari Raden Rahmat alias Sunan Ampel.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang selalu membawa sebilah keris yang diletakkan di pinggang bagian depan. Keris yang biasa dibawa-bawa Sunan Bonang adalah keris Kanjeng Kiai Bontit. Keris berdapur tilam upih ini tampil sederhana dengan pamor dan sandangan yang sederhana pula.
Meski sederhana, keris Kanjeng Kiai Bontit ini menjadi pusaka yang sangat berharga. Pasca wafatnya Sunan Bonang yang di makamkan di depan Masjid Tuban, keris ini jadi salah satu pusaka utama penguasa Tuban.
Tetapi pada akhirnya keris ini tidak di Tuban lagi. Bermula dari merosotnya kekuasaan Mataram, banyak daerah utamanya di pesisir mulai dikuasai VOC. Daerah tersebut menjadi kompensasi bagi jasa VOC yang memberi bantuan pada penguasa Mataram dalam menghadapi berbagai pemberontakan.
Tuban temasuk daerah yang jadi korban, tapi penguasanya melawan. Maka penguasa Tuban ini dibungkam dan diganti adipati yang ditunjuk dari Kraton Kartosuro yang lebih kooperatif dengan VOC.
Melalui penguasa dari Katosuro inilah, pusaka Tuban diambil dan dipindah ke Kraton Kartosuro dan masuk gedong pusaka Mataram. Termasuk keris Kanjeng Kiai Bontit.
Saat mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, terjadi pembagian pusaka Mataram. Kanjeng Kiai Bontit termasuk pusaka yang ikut ke Surakarta.
Keris Kanjeng Kiai Bontit kemudian menjadi milik Pangeran Joyokusumo, putra PB IV. Lalu berpindah tangan ke GPH Suryo Hamijoyo, putra PB X, yang tercatat jadi pemilik terakhir.
Sempat terduga pusaka ini terbawa ke Yogyakarta. Sebab diketahui Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengkubuwono I, memberikan keris yang bergelar Kanjeng Kiai Bontit kepada putranya yaitu Pengeran Notokusumo yang di kemudian hari jadi Paku Alam I.
Keris tersebut adalah pendamping dari keris Kanjeng Kiai Kopek yang diserahkan pada saudaranya yaitu Pangeran Sundara yang jadi Hamengkubuwono II. Keris Kanjeng Kiai Bontit ini sekarang jadi keris utama penanda tahta Paku Alam, sebagaimana Kanjeng Kiai Kopek jadi penanda tahta Kasultanan Yogyakarta.
Namun belakangan bisa dipastikan, keris Kanjeng Kiai Bontit milik Sunan Bonang dan yang berada di Pakualaman berbeda dapur. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Mangunkusuma menyebutkan, Kiai Bontit yang di Pakualaman adalah Sabuk Inten. Sementara keris Sunan Bonang berdapur Tilam Upih khas keris Tuban.
Sumber:
dok/okezone
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Kisah Kiai Bontit tak lepas dari sejarah keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Tak jelas siapa sang empu dan kapan keris pusaka ini dibuat, namun Pujangga Senior Pakualaman, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Mangunkusuma mencatat sejarah keberadaannya. Ada juga yang menyebutkan bahwa keris pusaka itu adalah milik Sunan Bonang.
Kiai Bontit memiliki hubungan yang erat dengan Kanjeng Kiai Ageng Kopek, keris pusaka yang hanya boleh dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta. Kisahnya bisa dirunut jauh hingga masa berkuasanya Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengku Buwono I.
Menjelang akhir masa kepemimpinannya, HB I mewariskan dua keris pusaka pada dua anaknya.
Keris Kiai Kopek diserahkan kepada HB II sementara keris pendamping Kiai Kopek, Kiai Bontit diserahkan kepada pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi Adipati Paku Alam I.
Saat itu HB I berpesan kepada kedua anak kesayangannya untuk saling mendukung. Kasultanan Yogyakarta tak akan bisa berdaulat tanpa dukungan Pakualaman. Begitu pula sebaliknya, kadipaten Pakualaman tak akan ada tanpa Kasultanan Yogyakarta.
“Karena itulah namanya Kiai Bontit, karena menjadi pendukung dari belakang. Posisinya selalu mengiringi langkah Kiai Kopek,” beber Mangunkusuma.
Saat ini, keris Kiai Bontit yang asli tak dipamerkan dan disimpan secara khusus oleh Paku Alam yang bertahta. Mangunkusuma mendeskripsikan keris itu memiliki dhapur Sabuk Inten dengan 13 lekukan. Di bilahnya terdapat pamor (motif) Beras Wutah. Warangka (sarung) keris Kiai Bontit lebih panjang dari umumnya agar dapat disematkan di sisi pinggang.
Sama seperti keris pusaka lain, Mangunkusuma mengatakan keris ini juga dipercaya memiliki kesaktian. Namun kesaktian itu hanya bisa digunakan oleh sosok yang sudah mengisi ruhnya dengan nilai-nilai luhur dalam agama. “Kalau jiwanya tidak terisi maka keris ini hanya sebilah besi biasa,” imbuh dia.
“Tidak sembarang orang bisa memakai keris ini, hanya Paku Alam yang sah yang diperkenankan mengenakannya,” kata dia.
Sementara menurut versi lain, keris tersebut awalnya adalah milik Sunan Bonang. Dia adalah salah satu dari sembilan wali, yang merupakan putra dari Raden Rahmat alias Sunan Ampel.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang selalu membawa sebilah keris yang diletakkan di pinggang bagian depan. Keris yang biasa dibawa-bawa Sunan Bonang adalah keris Kanjeng Kiai Bontit. Keris berdapur tilam upih ini tampil sederhana dengan pamor dan sandangan yang sederhana pula.
Meski sederhana, keris Kanjeng Kiai Bontit ini menjadi pusaka yang sangat berharga. Pasca wafatnya Sunan Bonang yang di makamkan di depan Masjid Tuban, keris ini jadi salah satu pusaka utama penguasa Tuban.
Tetapi pada akhirnya keris ini tidak di Tuban lagi. Bermula dari merosotnya kekuasaan Mataram, banyak daerah utamanya di pesisir mulai dikuasai VOC. Daerah tersebut menjadi kompensasi bagi jasa VOC yang memberi bantuan pada penguasa Mataram dalam menghadapi berbagai pemberontakan.
Tuban temasuk daerah yang jadi korban, tapi penguasanya melawan. Maka penguasa Tuban ini dibungkam dan diganti adipati yang ditunjuk dari Kraton Kartosuro yang lebih kooperatif dengan VOC.
Melalui penguasa dari Katosuro inilah, pusaka Tuban diambil dan dipindah ke Kraton Kartosuro dan masuk gedong pusaka Mataram. Termasuk keris Kanjeng Kiai Bontit.
Saat mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, terjadi pembagian pusaka Mataram. Kanjeng Kiai Bontit termasuk pusaka yang ikut ke Surakarta.
Keris Kanjeng Kiai Bontit kemudian menjadi milik Pangeran Joyokusumo, putra PB IV. Lalu berpindah tangan ke GPH Suryo Hamijoyo, putra PB X, yang tercatat jadi pemilik terakhir.
Sempat terduga pusaka ini terbawa ke Yogyakarta. Sebab diketahui Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengkubuwono I, memberikan keris yang bergelar Kanjeng Kiai Bontit kepada putranya yaitu Pengeran Notokusumo yang di kemudian hari jadi Paku Alam I.
Keris tersebut adalah pendamping dari keris Kanjeng Kiai Kopek yang diserahkan pada saudaranya yaitu Pangeran Sundara yang jadi Hamengkubuwono II. Keris Kanjeng Kiai Bontit ini sekarang jadi keris utama penanda tahta Paku Alam, sebagaimana Kanjeng Kiai Kopek jadi penanda tahta Kasultanan Yogyakarta.
Namun belakangan bisa dipastikan, keris Kanjeng Kiai Bontit milik Sunan Bonang dan yang berada di Pakualaman berbeda dapur. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Mangunkusuma menyebutkan, Kiai Bontit yang di Pakualaman adalah Sabuk Inten. Sementara keris Sunan Bonang berdapur Tilam Upih khas keris Tuban.
Sumber:
dok/okezone
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(nic)