Riwayat Masjid Ukhuwah, dari Gedung Freemason hingga Pancasila

Jum'at, 12 Juni 2015 - 05:05 WIB
Riwayat Masjid Ukhuwah, dari Gedung Freemason hingga Pancasila
Riwayat Masjid Ukhuwah, dari Gedung Freemason hingga Pancasila
A A A
MASJID Raya Al Ukhuwah yang terletak di Jalan Wastu Kencana, No 27, Bandung, salah satu dari sekian banyak bangunan yang memiliki sejarah tersendiri yang cukup unik di Kota Bandung.

Keberadaan masjid yang terletak tidak jauh dari Balai Kota itu, memang tidak memiliki sejarah panjang dalam perjalanan Kota Bandung. Hal itu lantaran, tempat ibadah kaum Muslim ini baru dibangun sekitar 1996-1998.

Jika melihat daftar Wali Kota Bandung, maka masjid itu kemungkinan dibangun pada era Wahyu Hamidjaja yang menjabat sebagai wali kota periode 1993-1998.

Nilai sejarah sekaligus keunikan masjid seluas 1.373 meter persegi itu adalah julukan yang diberikan warga sekitar sebelum bangunan itu dijadikan madjid bernama "rumah setan".

Sebutan tersebut ditunjukan ke bangunan yang pernah berdiri persis di lokasi Masjid Raya Ukhuwwah itu. Loge Sint Jan, demikian nama bangunan yang kemudian popular dengan "rumah setan" itu.

Loge Sint Jan sendiri adalah sebuah gedung yang dibangun pada 1896 yang digunakan untuk berkumpul orang-orang yang memiiki ideologi Freemason, sebuah gerakan kebebasan berfikir dan antidogma.

Kendati biasa digunakan untuk berkumpul para orang-orang aliran Freemason. Namun gedung tersebut terkesan sepi. Bahkan, setiap hari pintu-pintu gedung itu selalu tertutup.

“Aktivitas di gedung itu hanya dilakukan malam hari, adapun kalau siang hari selalu sepi sehingga terkesan angker. Dari sana lah, maka orang-orang sekitar menyebutnya dengan rumah setan,” kata sejarawan Kota Bandung, Sudarsono Katam.

Orang-orang yang biasa keluar-masuk ke gedung itu, adalah mereka dari kalangan menak, elit, baik dari kalangan penjajah, maupun pribumi. Keberadaan gedung tersebut bertahan selama sekitar 60 tahunan.

Sebab, pada 1960 an, rumah setan itu dibongkar rata dengan tanah. Tidak ada keterangan jelas mengapa gedung Loge Sint Jan itu dibongkar. Namun jika merunut pada keterangan yang ada pada Wikipedia, pembongkaran gedung itu kemungkinan seiring adanya pelarangan Loge Agung Indonesia dan organisasi lain atas alasan mengikuti ajaran Freemason.

Setelah dilakukan pembongkaran, selang tidak berapa lama, di tempat tersebut kembali dibangun sebuah gedung yang kemudian dinamakan dengan gedung Graha Pancasila.

Berbeda dengan era Loge Sint Jan yang terkesan angker, gedung Graha Pancasila selalu ramai dengan berbagai macam aktivitas. Kesan angker yang dulu pernah melekat di tempat itu seketika berubah menjadi ramai dan semarak.

“Gedung Graha Pancasila menjadi tempat untuk berbagai amcam kegiatan. Di sana ada pertemuan, pertunjukan, dan lain-lain. Bahkan di salah satu sudutnya dijadikan sekretariat Wanadri. Sangat jauh berbeda ketika masih menjadi Loge Sint Jan,” jelas Katam, yang juga penulis buku Gemeente Huis, itu.

Dari sisi fisik bangunan, ada perbedaan yang cukup mencolok antara Loge Sint Jan dan Graha Pancasila. Jika sebelumnya bangunan itu terlihat lebar ke samping, maka pada saat menjadi Graha Pancasila, bangunan di sana memanjang. Perbedaan itu menyebabkan tempat parkir lebih sempit, tidak seperti saat masih bernama Loge Sint Jan.

Kendati suasana di sana lebih hidup, namun gedung tersebut pun akhirnya bernasib sama dengan Loge Sint Jan. Graha Pancasila kembali dibongkar untuk kemudian di tempat itu dibangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Ukhuwwah.

Sama seperti saat pembongkaran pertama dari Loge Sint Jan menjadi Graha Pancasila, tidak ada satu pun ruangan yang selamat dari pembongkaran itu. “Benar-benar dibongkar, diratakan. Jadi, tidak ada sisa-sisa bangunan sebelumnya,” jelas dia.

Proses pembangunan masjid Ukhuwwah berlangsung selama dua tahun, yakni dari 1996-1998 dengan anggaran dari Pemkot dan Pemprov. Aktivitas masjid yang terletak sebelah kulon Balai Kota itu, membuat masjid selalu ramai oleh aktivitas warganya.

Tidak hanya kegiatan yang merupakan agenda internal saja, di masjid tersebut juga kerap diadakan acara dari pihak luar. Akad nikah, dan pembacaan syahadat bagi yang masuk Islam, adalah dua hal yang sering dilakukan di sana.

“Untuk yang mualaf, tahun ini belum ada. Adapun yang menggelar akad nikah, terakhir itu hari minggu kemarin,” sambung Ketua DKM Ukhuwwah Maman Suparman.

Posisinya yang terletak di jantung kota, serta suasana yang nyaman, cukup menjadi alasan siapapun akan betah untuk belama-lama di masjid yang dulu terdapat Rumah Setan itu.

Jika pada umumnya lantai sebuah bangunan itu dibuat dari keramik, maka tidak demikian dengan Masjid Ukhuwwah. Di sana, lantai masjid terbuat dari kayu dengan warna cokelat, yang cukup serasi dengan warna dindingnya.

Sama seperti halnya masjid pada umumnya, Masjid Ukhuwwah pun dilengkapi dengan menara yang terletak di sebalah kanan masjid. “Aristeknya adalah Ir Keulman,” jelas Maman.

Lebih jauh, Sudarsono Katam menjelaskan, kendati ada bukti tertulis, bahwa sebelum dibangun Masjid Ukhuwwah, di sana terdapat Gedung Graha Pancasila, namun sulit untuk ditemukan bukti dalam bentuk foto.

Hal itu berbeda dengan Gedung Loge Sint Jan yang masih bisa ditemukan bukti fotonya. Padahal, jika melihat usia, gedung Rumah Setan itu jauh lebih tua dibanding keberadaan gedung Graha Pancasila yang dibangun pada era kemerdekaan.

“Saya mengalami kesulitan untuk mencari foto gedung Graha Pancasila. Dan itu pun dialami oleh teman-teman saya. Bahkan, Wanadri sendiri yang pernah menjadikan salah satu sudut Graha Pancasila sebagai sekretariat, tidak memiliki foto bangunan itu. Kalau ruangan yang jadi sekretariat, mungkin saja mereka punya,” kata Sudarsono.

Kesulitan yang dialami oleh Katam dalam menelusuri foto Gedung Graha Pancasila, tidak hanya dialami dalam hal fisik foto. Ketika wartawan mencoba menelusuri dengan cara googling pun tidak ditemukan gedung tersebut.

Dari hasil pencarian mesin google, hanya terdapat artikel berisi tulisan, tanpa ada foto. Padahal, jika dilihat lamanya gedung itu berdiri, keberadannya cukup lama, yakni dari sekitar 1960 hingga 1998.

“Saya hanya bisa menggambarkan saja, mengandalkan ingatan bagaimana bentuknya,” pungkasnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3451 seconds (0.1#10.140)