Kisah Pelukis Basoeki Abdullah Berani Memarahi Keluarga Cendana Gara-gara Lukisan
loading...
A
A
A
PELUKIS legendaris Basoeki Abdullah pernah gusar dengan Pak Harto dan Bu Tien sampai-sampai melontarkan kekesalannya dengan menyebut keluarga Cendana vandalistik. Pemicunya berupa sebuah lukisan merpati yang menjadi elemen dekorasi utama kediaman Presiden Soeharto di jalan Cendana, Menteng Jakarta Pusat.
Lukisan sekawanan burung merpati yang dibubuhi tanda tangan itu merupakan karya Basoeki Abdullah.
Polemik soal lukisan yang membuat Basoeki Abdullah kesal itu terjadi begitu saja. Ceritanya, berawal dari hari ulang tahun perkawinan Presiden Soeharto dan Ibu Tien (Siti Hartinah) ke-40, yakni 26 Desember 1987.
Ibu Tien diketahui salah seorang pengagum karya Basoeki Abdullah. Dalam sebuah acara pameran, Ibu Tien pernah mengungkapkan rasa takjubnya pada lukisan sekawanan angsa karya Basoeki.
Melihat sekawanan angsa, timbul inspirasi pada Ibu Tien sebuah lukisan yang menggambarkan keluarga.
“Indah apabila keluarga kita digambarkan sebagai angsa-angsa. Hewan lembut dan tenang ini menurut kepercayaan berbagai bangsa adalah simbol kebahagiaan,” kata Bu Tien seperti dikutip dari buku Basoeki Abdullah Sang Hanoman Keloyongan, Jumat (27/1/2023).
Singkat cerita, jelang hari ulang tahun perkawinan ke-40, anak-anak Pak Harto dan Bu Tien ingin memberi sebuah kejutan. Dimotori Mbak Tutut (Siti Hardiyanti) dan Titiek (Siti Hediati), mereka merencanakan kado spesial.
Maka diam-diam dipesanlah sebuah lukisan hadiah ulang tahun kepada pelukis Basoeki Abdullah. Basoeki yang masih ingat kata-kata Bu Tien sewaktu di pameran, lantas melukis sekawanan angsa.
Ia lukis angsa di atas kanvas berukuran dua depa. Jumlahnya disamakan dengan jumlah keluarga Cendana.
Namun di tengah perjalanan, Basoeki tiba-tiba berubah pikiran. Menurutnya, bukan angsa yang cocok untuk menggambarkan keluarga Cendana, melainkan merpati.
Sebab, merpati menggambarkan kebebasan dan kelincahan. Merpati lambang makhluk yang diam tanpa suara, tapi dapat terbang ke sana-sini.
Apa yang ada di benak Basoeki sejalan dengan pikiran Mbak Tutut dan Titiek. Merpati lebih cocok dari pada angsa. Lukisan sekawanan merpati dengan kanvas berukuran besar pun jadi.
Setelah dibayar lunas, dengan penuh kehormatan lukisan merpati itu kemudian ditempatkan sebagai elemen dekorasi utama rumah keluarga Cendana. Sementara lukisan angsa jadinya dibeli oleh Mbak Tutut.
Keberadaan lukisan merpati disambut dengan luapan rasa bahagia. Mungkin saking gembiranya, Pak Harto dan Bu Tien menyuruh anak, menantu dan cucunya membubuhkan tanda tangan dengan spidol emas di masing-masing tubuh lukisan merpati Basoeki.
Pesta pernikahan ke-40 itu menarik perhatian masyarakat dan media. Mengetahui hasil karyanya ada imbuhan tanda tangan, Basoeki Abdullah sontak gusar. Ia menyebut keluarga Cendana vandalistik.
Basoeki menilai Pak Harto telah menganggap setiap benda yang dibeli adalah seratus persen hak milik, dan itu menurut pandangannya keliru.
Bagi Basoeki pemilik lukisan sesungguhnya hanya mengantongi hak guna pakai, meski tanpa batas waktu. Sebab di dalam karya seni berlaku undang-undang hak cipta.
Basoeki menelepon Bu Tien untuk menyampaikan protesnya, namun tidak tersambung. Berkali-kali telepon, tidak tersambung. Meski demikian kekecewaan Basoeki Abdullah sampai juga ke telinga Pak Harto. Diam-diam Pak Harto memahami kekesalan Basoeki.
Empat tahun kemudian, yakni tepatnya 4 Juni 1991. Ibu Tien meminta Basoeki Abdullah membuat pameran tunggal di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Basoeki bersedia.
Saat membuka acara pameran tunggal itu, rasa kagum Presiden Soeharto tertuju pada lukisan pohon bambu yang berjudul Rumpun Bambu, Panjanglah Umurmu. Lukisan itu seolah begitu nyata. Tangan Pak Harto mengelus permukaan kanvasnya.
Tiba-tiba Pak Harto berbisik ke telinga Basoeki Abdullah yang berdiri di sampingnya.
“Pak Basoeki, saya punya utang, ya,” bisik Pak Harto seperti dikutip dari buku Basoeki Abdullah Sang Hanoman Keloyongan.
Basoeki Abdullah terkejut dan sempat bingung, namun segera menimpali balik, utang yang tidak dimengertinya.
Pak Harto hanya tersenyum. Basoeki Abdullah hanya bisa menduga, utang yang dimaksud mungkin terkait persoalan vandalisme atas lukisan merpatinya.
Lukisan sekawanan burung merpati yang dibubuhi tanda tangan itu merupakan karya Basoeki Abdullah.
Polemik soal lukisan yang membuat Basoeki Abdullah kesal itu terjadi begitu saja. Ceritanya, berawal dari hari ulang tahun perkawinan Presiden Soeharto dan Ibu Tien (Siti Hartinah) ke-40, yakni 26 Desember 1987.
Ibu Tien diketahui salah seorang pengagum karya Basoeki Abdullah. Dalam sebuah acara pameran, Ibu Tien pernah mengungkapkan rasa takjubnya pada lukisan sekawanan angsa karya Basoeki.
Melihat sekawanan angsa, timbul inspirasi pada Ibu Tien sebuah lukisan yang menggambarkan keluarga.
“Indah apabila keluarga kita digambarkan sebagai angsa-angsa. Hewan lembut dan tenang ini menurut kepercayaan berbagai bangsa adalah simbol kebahagiaan,” kata Bu Tien seperti dikutip dari buku Basoeki Abdullah Sang Hanoman Keloyongan, Jumat (27/1/2023).
Baca Juga
Singkat cerita, jelang hari ulang tahun perkawinan ke-40, anak-anak Pak Harto dan Bu Tien ingin memberi sebuah kejutan. Dimotori Mbak Tutut (Siti Hardiyanti) dan Titiek (Siti Hediati), mereka merencanakan kado spesial.
Maka diam-diam dipesanlah sebuah lukisan hadiah ulang tahun kepada pelukis Basoeki Abdullah. Basoeki yang masih ingat kata-kata Bu Tien sewaktu di pameran, lantas melukis sekawanan angsa.
Ia lukis angsa di atas kanvas berukuran dua depa. Jumlahnya disamakan dengan jumlah keluarga Cendana.
Namun di tengah perjalanan, Basoeki tiba-tiba berubah pikiran. Menurutnya, bukan angsa yang cocok untuk menggambarkan keluarga Cendana, melainkan merpati.
Sebab, merpati menggambarkan kebebasan dan kelincahan. Merpati lambang makhluk yang diam tanpa suara, tapi dapat terbang ke sana-sini.
Apa yang ada di benak Basoeki sejalan dengan pikiran Mbak Tutut dan Titiek. Merpati lebih cocok dari pada angsa. Lukisan sekawanan merpati dengan kanvas berukuran besar pun jadi.
Setelah dibayar lunas, dengan penuh kehormatan lukisan merpati itu kemudian ditempatkan sebagai elemen dekorasi utama rumah keluarga Cendana. Sementara lukisan angsa jadinya dibeli oleh Mbak Tutut.
Keberadaan lukisan merpati disambut dengan luapan rasa bahagia. Mungkin saking gembiranya, Pak Harto dan Bu Tien menyuruh anak, menantu dan cucunya membubuhkan tanda tangan dengan spidol emas di masing-masing tubuh lukisan merpati Basoeki.
Pesta pernikahan ke-40 itu menarik perhatian masyarakat dan media. Mengetahui hasil karyanya ada imbuhan tanda tangan, Basoeki Abdullah sontak gusar. Ia menyebut keluarga Cendana vandalistik.
Basoeki menilai Pak Harto telah menganggap setiap benda yang dibeli adalah seratus persen hak milik, dan itu menurut pandangannya keliru.
Bagi Basoeki pemilik lukisan sesungguhnya hanya mengantongi hak guna pakai, meski tanpa batas waktu. Sebab di dalam karya seni berlaku undang-undang hak cipta.
Basoeki menelepon Bu Tien untuk menyampaikan protesnya, namun tidak tersambung. Berkali-kali telepon, tidak tersambung. Meski demikian kekecewaan Basoeki Abdullah sampai juga ke telinga Pak Harto. Diam-diam Pak Harto memahami kekesalan Basoeki.
Empat tahun kemudian, yakni tepatnya 4 Juni 1991. Ibu Tien meminta Basoeki Abdullah membuat pameran tunggal di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Basoeki bersedia.
Saat membuka acara pameran tunggal itu, rasa kagum Presiden Soeharto tertuju pada lukisan pohon bambu yang berjudul Rumpun Bambu, Panjanglah Umurmu. Lukisan itu seolah begitu nyata. Tangan Pak Harto mengelus permukaan kanvasnya.
Tiba-tiba Pak Harto berbisik ke telinga Basoeki Abdullah yang berdiri di sampingnya.
“Pak Basoeki, saya punya utang, ya,” bisik Pak Harto seperti dikutip dari buku Basoeki Abdullah Sang Hanoman Keloyongan.
Basoeki Abdullah terkejut dan sempat bingung, namun segera menimpali balik, utang yang tidak dimengertinya.
Pak Harto hanya tersenyum. Basoeki Abdullah hanya bisa menduga, utang yang dimaksud mungkin terkait persoalan vandalisme atas lukisan merpatinya.
(shf)