Dendam Kesumat Sultan Agung Cincang Antonio Paulo Utusan VOC Jadi Santapan Buaya
Jum'at, 17 Desember 2021 - 05:48 WIB
Sultan Agung Hanyokrokusumo diceritakan sebagai Raja Mataram yang berani menghukum utusan VOC, Antonio Paulo, dengan melemparkannya menjadi santapan buaya. Nah, cerita pagi kali ini menyajikan bagaimana kisah Antonio Paulo, sang utusan VOC yang dicincang menjadi mangsa buaya ganas.
Dari berbagai sumber, kisah hukuman terhadap Antonio Paulo yang menjadi santapan buaya menjadi salah satu cara eksekusi di masa kepemimpinan Sultan Agung. Kisah itu bermula saat Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645 ingin membangun imperium di Tanah Jawa.
Sebelum bermahkota raja, Sultan Agung bernama Raden Mas Rangsang. Setelah naik tahta pada 1613, Raden mas Rangsang mendapat gelar Panembahan Hanyokrokusumo. Pada 1624, gelar berubah menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Setelah menaklukkan Jawa Timur, Sultan Agung bergerak ke Barat untuk menaklukkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia, sekarang Jakarta. Namun, penyerangan selama dua kali pada 1628 dan 1629 berakhir dengan kegagalan. Sultan Agung menghukum pancung Tumenggung Bahureksa karena tidak berhasil menaklukkan VOC.
Kegagalan menaklukkan VOC tidak berarti mengakhiri kekuasaan Sultan Agung. Selanjutnya diceritakan, Sultan Agung sempat mencoba bersekutu dengan Portugis dan Inggris untuk diajak bekerjasama melawan VOC. Sayang, upaya itu kembali menemui kegagalan.
Dalam kajian HJ De Graaf, hingga tahun 1640, sebenarnya raja Mataram belum menggunakan gelar Sultan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana gelar itu diperoleh. Namun konon, ia berhasil pergi ke Mekkah dengan memanfaatkan kapal Inggris.
Dari catatanDagregister1 Juli 1641, disebutkan bahwa raja Mataram telah bergelar Sultan Mataram, kemudian biasa ditulis Sultan Agung. Gelar itu menunjukkan bahwa ia adalah raja yang taat terhadap agama Islam.
Dalam upaya melegitimasi gelar barunya, pada 1642, Sultan Agung mengirim ulama Arab bersama 18 orang Jawa terkemuka untuk pergi ziarah ke Makkah dengan menumpangi kapal Reformation milik orang Inggris yang bernama Ralph Cartwright.
Dari berbagai sumber, kisah hukuman terhadap Antonio Paulo yang menjadi santapan buaya menjadi salah satu cara eksekusi di masa kepemimpinan Sultan Agung. Kisah itu bermula saat Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645 ingin membangun imperium di Tanah Jawa.
Sebelum bermahkota raja, Sultan Agung bernama Raden Mas Rangsang. Setelah naik tahta pada 1613, Raden mas Rangsang mendapat gelar Panembahan Hanyokrokusumo. Pada 1624, gelar berubah menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Setelah menaklukkan Jawa Timur, Sultan Agung bergerak ke Barat untuk menaklukkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia, sekarang Jakarta. Namun, penyerangan selama dua kali pada 1628 dan 1629 berakhir dengan kegagalan. Sultan Agung menghukum pancung Tumenggung Bahureksa karena tidak berhasil menaklukkan VOC.
Kegagalan menaklukkan VOC tidak berarti mengakhiri kekuasaan Sultan Agung. Selanjutnya diceritakan, Sultan Agung sempat mencoba bersekutu dengan Portugis dan Inggris untuk diajak bekerjasama melawan VOC. Sayang, upaya itu kembali menemui kegagalan.
Dalam kajian HJ De Graaf, hingga tahun 1640, sebenarnya raja Mataram belum menggunakan gelar Sultan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana gelar itu diperoleh. Namun konon, ia berhasil pergi ke Mekkah dengan memanfaatkan kapal Inggris.
Dari catatanDagregister1 Juli 1641, disebutkan bahwa raja Mataram telah bergelar Sultan Mataram, kemudian biasa ditulis Sultan Agung. Gelar itu menunjukkan bahwa ia adalah raja yang taat terhadap agama Islam.
Dalam upaya melegitimasi gelar barunya, pada 1642, Sultan Agung mengirim ulama Arab bersama 18 orang Jawa terkemuka untuk pergi ziarah ke Makkah dengan menumpangi kapal Reformation milik orang Inggris yang bernama Ralph Cartwright.
tulis komentar anda