Tolak Achmad Purnomo Mundur, PDIP Solo Ingin Tegakkan Kewibawaan
Senin, 08 Juni 2020 - 16:07 WIB
SOLO - Pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto menilai sikap DPC PDIP Solo yang menolak pengunduran diri Achmad Purnomo sebagai bakal calon wali kota merupakan langkah tepat. PDIP Solo dinilai juga tengah menegakkan kewibawaannya.
"Kalau dilihat dari roda organisasi kepartaian, apa yang dilakukan DPC PDIP Solo itu benar. Seseorang menjadi calon itu kan ditentukan partai politik. Begitu dicalonkan partai politik, maka dianggap berkontrak politik dengan partai itu. Sehingga begitu mengundurkan diri, maka tidak diperkenankan karena sifatnya pribadi," kata Agus Riewanto kepada SINDOnews, Senin (8/6/2020).
Achmad Purnomo saat mundur, lanjutnya, dianggap sebagai kepentingan pribadi. Sebagai kepentingan partai berdasarkan budaya organisasi partai, hingga UU Pemilukada, peserta Pilkada ada dua jalur. Yakni jalur perorangan dan jalur partai. Achmad Purnomo sendiri memilih jalur partai dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo .
Berarti seseorang itu harus berdasarkan kepada mekanisme yang diatur dalam AD/ART Politik. "Umumnya AD/ART partai politik menyatakan begitu. Begitu juga dalam UU Pemilukada Nomor 10 Tahun 2016, ada dua model syarat. Yakni syarat calon dan syarat pencalonan," katanya.
Syarat calon menyangkut syarat pribadi orang yang menjadi calon. Sedangkan syarat pencalonan, pertama, dicalonkan partai politik dan kedua, partai politik memenuhi jumlah kursi yang syaratkan dalam UU Pemilu. "Dalam konteks Pak Purnomo, syarat pencalonannya dia belum terpenuhi. Sehingga tidak bisa dia mengundurkan diri," katanya.
Mengundurkan diri secara pribadi itu boleh jika menyangkut syarat calon. Umpamanya mangkat, dan syarat ijazahnya tidak terpenuhi. Sedangkan syarat pencalonannya ke partai politik. Dengan demikian, jika partai politik tidak boleh, maka Achmad Purnomo tidak bisa mengundurkan diri.
Menurut Agus Riewanto, PDIP Solo terlihat ngotot mempertahankan Achmad Purnomo meski ada bakal calon lainnya yang muncul, yakni putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, cukup beralasan. Sebab secara umum di Indonesia tidak ada otonomi partai di tingkat daerah. Jika dilogika secara politik, sebenarnya calon yang boleh mengajukan adalah dari pengurus di tingkat daerah.
"Karena mereka yang lebih mengetahui dinamika politik lokal. Nanti yang berjuang menjadikan seseorang terpilih atau tidak terpilih adalah pengurus lokal dan bukan pengurus pusat," katanya.
Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo (Rudy) dan pengurus lainnya yang terlihat ngotot mempertahankan calon yang diajukan tanpa menyerah, menunjukkan sebagai bagian dari kritik. Bahwa sistem kepartaian di Indonesia belum sepenuhnya otonom. "Padahal pemerintah daerah kan sudah otonomi. Ini kan sentralisasi, calon kepala daerah harus mendapat rekomendasi dari DPP," katanya.
Dalam penilaiannya, hal itu tidak ada hubungannya antara DPP Partai dengan Pilkada. Sebab, kepala daerah itu urusan pemerintah daerah. Jika begitu, maka urusannya dengan DPC partai politik. Pada sisi lain, dirinya melihat PDIP Solo ingin menunjukkan sebuah gengsi, kewibawaan, harga diri dan marwah bahwa calon kepala daerah harus dicalonkan DPC.
Lihat Juga: Keluarga Tiga Eks Bupati Tegal Bersatu Dukung Bima-Mujab, Hadiri Kampanye Akbar Hajatan Bisa Dadi 1
"Kalau dilihat dari roda organisasi kepartaian, apa yang dilakukan DPC PDIP Solo itu benar. Seseorang menjadi calon itu kan ditentukan partai politik. Begitu dicalonkan partai politik, maka dianggap berkontrak politik dengan partai itu. Sehingga begitu mengundurkan diri, maka tidak diperkenankan karena sifatnya pribadi," kata Agus Riewanto kepada SINDOnews, Senin (8/6/2020).
Achmad Purnomo saat mundur, lanjutnya, dianggap sebagai kepentingan pribadi. Sebagai kepentingan partai berdasarkan budaya organisasi partai, hingga UU Pemilukada, peserta Pilkada ada dua jalur. Yakni jalur perorangan dan jalur partai. Achmad Purnomo sendiri memilih jalur partai dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo .
Berarti seseorang itu harus berdasarkan kepada mekanisme yang diatur dalam AD/ART Politik. "Umumnya AD/ART partai politik menyatakan begitu. Begitu juga dalam UU Pemilukada Nomor 10 Tahun 2016, ada dua model syarat. Yakni syarat calon dan syarat pencalonan," katanya.
Syarat calon menyangkut syarat pribadi orang yang menjadi calon. Sedangkan syarat pencalonan, pertama, dicalonkan partai politik dan kedua, partai politik memenuhi jumlah kursi yang syaratkan dalam UU Pemilu. "Dalam konteks Pak Purnomo, syarat pencalonannya dia belum terpenuhi. Sehingga tidak bisa dia mengundurkan diri," katanya.
Mengundurkan diri secara pribadi itu boleh jika menyangkut syarat calon. Umpamanya mangkat, dan syarat ijazahnya tidak terpenuhi. Sedangkan syarat pencalonannya ke partai politik. Dengan demikian, jika partai politik tidak boleh, maka Achmad Purnomo tidak bisa mengundurkan diri.
Menurut Agus Riewanto, PDIP Solo terlihat ngotot mempertahankan Achmad Purnomo meski ada bakal calon lainnya yang muncul, yakni putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, cukup beralasan. Sebab secara umum di Indonesia tidak ada otonomi partai di tingkat daerah. Jika dilogika secara politik, sebenarnya calon yang boleh mengajukan adalah dari pengurus di tingkat daerah.
"Karena mereka yang lebih mengetahui dinamika politik lokal. Nanti yang berjuang menjadikan seseorang terpilih atau tidak terpilih adalah pengurus lokal dan bukan pengurus pusat," katanya.
Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo (Rudy) dan pengurus lainnya yang terlihat ngotot mempertahankan calon yang diajukan tanpa menyerah, menunjukkan sebagai bagian dari kritik. Bahwa sistem kepartaian di Indonesia belum sepenuhnya otonom. "Padahal pemerintah daerah kan sudah otonomi. Ini kan sentralisasi, calon kepala daerah harus mendapat rekomendasi dari DPP," katanya.
Dalam penilaiannya, hal itu tidak ada hubungannya antara DPP Partai dengan Pilkada. Sebab, kepala daerah itu urusan pemerintah daerah. Jika begitu, maka urusannya dengan DPC partai politik. Pada sisi lain, dirinya melihat PDIP Solo ingin menunjukkan sebuah gengsi, kewibawaan, harga diri dan marwah bahwa calon kepala daerah harus dicalonkan DPC.
Lihat Juga: Keluarga Tiga Eks Bupati Tegal Bersatu Dukung Bima-Mujab, Hadiri Kampanye Akbar Hajatan Bisa Dadi 1
(abd)
tulis komentar anda