Kisah Tragedi Pembantaian PKI di Solo dan Banjir Besar
Minggu, 03 Oktober 2021 - 17:01 WIB
SOLO - Kisah tragedi pembantaian PKI di Solo dan banjir besar terjadi pasca tragedi 30 September 1965 atau dikenal dengan G30SPKI. Saat itu eskalasi politik dan keamanan terus menjalar ke daerah termasuk di Solo, Jawa Tengah.
Di Jakarta digambarkan pada film berjudul Jakarta 1966 mahasiswa dan masyarakat bergejolak menuntut dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN Aidit. Begitupun tuntutan pembubaran PKI di Solo.
Seperti dikutip dalam buku Yong Witono 'Suara di Balik Prahara'. Konflik antara anggota dan simpatisan PKI di Solo dengan masyarakat yang pro pembubaran PKI terus terjadi.
Sejarah menceritakan adanya pembantaian yang dilakukan PKI di Solo terhadap warga. Salah satunya tragedi Kedung Kopi tahun 1965 yang mengakibatkan 13 orang warga meninggal dunia. Mereka ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Sebagai pengingat, dibangun monumen pada peristiwa yang terjadi 22 Oktober 1965 itu. Kedung Kopi adalah daerah kecil di tepi sungai Bengawan Solo.
Hingga saat ini, Sungai Bengawan Solo menjadi saksi bisu tumpah darah masyarakat atas pergolakan politik kala itu.
Sungai itu konon menjadi tempat pembuangan mayat atau tempat eksekusi. Aliran sungai digambarkan berwarna merah, diduga setelah ada pembantaian atau mayat yang dibuang ke Sungai Bengawan Solo.
Dikutip dari buku Yong Witono berjudul Suara di Balik Prahara (2011:284) disebutkan banyak peristiwa terjadi di sana.
"Sekitar bulan Desember awal, ketika melewati Sungai Bengawan Solo, saya melihat banyak sekali orang-orang diikat, trus dijajar di pinggiran Bengawan Solo,” kata Yong Witono. Baca: Kesabaran Mbah Jamilah dan Komitmen Perindo Bantu Wujudkan Herd Immunity.
Konflik antara simpatisan PKI dan masyarakat diduga terus terjadi hingga tahun 1966. Banyak masyarakat yang mengeulu-elukan kedatangan RPKAD yang akan melakukan pembersihan PKI di Solo. Sementara Solo sendiri memiliki basis pendukung PKI yang cukup kuat.
Suatu waktu, turunlah banjir yang terjadi pada 15 Maret 1966. Banjir terjadi akibat hujan yang terus mengguyur Solo tanpa henti. Air meluap dimana mana. Kondisi kota saat itupun dilanda banjir. Baca Juga: 26 Ekor Buaya Ganas Berhasil Dijerat Tim BKSDA Jambi.
Banjir inilah yang disebut sebut banyak pihak menjadi titik balik kondisi Solo berangsur kondusif. Banyak pihak menahan diri, lantaran fokus melakukan penanganan banjir.
Di Jakarta digambarkan pada film berjudul Jakarta 1966 mahasiswa dan masyarakat bergejolak menuntut dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN Aidit. Begitupun tuntutan pembubaran PKI di Solo.
Seperti dikutip dalam buku Yong Witono 'Suara di Balik Prahara'. Konflik antara anggota dan simpatisan PKI di Solo dengan masyarakat yang pro pembubaran PKI terus terjadi.
Sejarah menceritakan adanya pembantaian yang dilakukan PKI di Solo terhadap warga. Salah satunya tragedi Kedung Kopi tahun 1965 yang mengakibatkan 13 orang warga meninggal dunia. Mereka ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Sebagai pengingat, dibangun monumen pada peristiwa yang terjadi 22 Oktober 1965 itu. Kedung Kopi adalah daerah kecil di tepi sungai Bengawan Solo.
Hingga saat ini, Sungai Bengawan Solo menjadi saksi bisu tumpah darah masyarakat atas pergolakan politik kala itu.
Sungai itu konon menjadi tempat pembuangan mayat atau tempat eksekusi. Aliran sungai digambarkan berwarna merah, diduga setelah ada pembantaian atau mayat yang dibuang ke Sungai Bengawan Solo.
Dikutip dari buku Yong Witono berjudul Suara di Balik Prahara (2011:284) disebutkan banyak peristiwa terjadi di sana.
"Sekitar bulan Desember awal, ketika melewati Sungai Bengawan Solo, saya melihat banyak sekali orang-orang diikat, trus dijajar di pinggiran Bengawan Solo,” kata Yong Witono. Baca: Kesabaran Mbah Jamilah dan Komitmen Perindo Bantu Wujudkan Herd Immunity.
Konflik antara simpatisan PKI dan masyarakat diduga terus terjadi hingga tahun 1966. Banyak masyarakat yang mengeulu-elukan kedatangan RPKAD yang akan melakukan pembersihan PKI di Solo. Sementara Solo sendiri memiliki basis pendukung PKI yang cukup kuat.
Suatu waktu, turunlah banjir yang terjadi pada 15 Maret 1966. Banjir terjadi akibat hujan yang terus mengguyur Solo tanpa henti. Air meluap dimana mana. Kondisi kota saat itupun dilanda banjir. Baca Juga: 26 Ekor Buaya Ganas Berhasil Dijerat Tim BKSDA Jambi.
Banjir inilah yang disebut sebut banyak pihak menjadi titik balik kondisi Solo berangsur kondusif. Banyak pihak menahan diri, lantaran fokus melakukan penanganan banjir.
(nag)
tulis komentar anda