Industri Mamin Jatim Alami Kesulitan, Permenperin 03/2021 Minta Direvisi

Sabtu, 12 Juni 2021 - 12:12 WIB
Foto ilustrasi SINDOnews
JAKARTA - Industri yang bergerak di bidang makan minum (mamin) di Jawa Timur (Jatim) mengalami kesulitan dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 03 Tahun 2021.

Pasalnya, Permenperin tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional itu hanya memberikan hak eksklusif kepada 11 perusahaan. Papberik-pabrik itu punberada di luar Jawa Timur, di antaranya di Cilacap, Cilegon, Lampung, Bekasi, dan Makasar

Menurut Direktur Quadrant Consulting Ronny Mustamu, jauhnya jangkauan tersebut membuat industri mamin di Jatim mengalami kesulitan. Bahkan saat ini ada yang terhenti karena sulit mendapatkan bahan baku.



"Dari segi biaya, ada tambahan cost dari yang sebelumnya Rp80,- naik sekita Rp300 hingga Rp350. Dari segi waktu tunggu pasokan bahan baku juga dari sebelumnya hanya 2 hingga 3 hari, kini bisa seminggu dan ini membutuhkan biaya tabahan," kata Ronny dalam diskusi virtual, Jumat (11/6/2021).

Singkatnya, kata Ronny, dengan Permenperin Nomor 03 Tahun 2021, UKM dan industri mamin Jawa Timur harus membayar lebih mahal, tidak efisien, dan dengan kualitas produk yang lebih rendah. Karena waktu dan ongkos dari pabrik yang ada di luar Jawa Timur itu mahal dan waktunya lama.

Ronny mengatakan, pemerintah mestinya melindungi industri lokal untuk tetap bertumbuh dan menjadi lebih besar. Dengan kebijakan pemerintah melalui Permenperin 03/2021 yang kontraproduktif itu, para pelaku industri mamin dan UKM tidak dilindugi.

Padahal, lanjut dia, Jawa Timur menyumbang 14 persen lebih untuk ekonomi nasional. Dari 14 persen itu, sektor mamin mengambil peran penting yaitu menyumbang 37,27 persen untuk pendapatan Jatim. Dengan pemberlakuan Permenperin Nomor 03 Tahun 2021 itu jelas akan sangat berpengaruh terhadap ekonomi Jatim.

Menurut Ronny, selain mengganggu industri mamin di Jatim, Permenperin Nomor 03 Tahun 2021 juga bertentangan dengan UU Cipta Kerja yang menyebutkan agar pabrik gula wajib membina petani tebu selama minimal tiga tahun.

11 pabrik gula tersebut nyatanya tidak menjalankan amanatUU karena tidak mampu mengolah gula dari tebu petani. Kebijakan ini adalah jika terjadi kekurangan gula, prioritas utama adalah dengan melakukan impor dan tidak mengambil dari kebun petani gula.

“Kebijakan ini bertentangan dengan UU Cipta Kerja yang mengedepankan kemudahan berusaha, terbuka pada investasi baru, dan berdaya saing. Karena itu kami minta supaya direvisi,” tutupnya
(don)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content