Drajad Wibowo: Pemain Politik Masih Itu-itu Saja
Minggu, 24 Mei 2020 - 12:00 WIB
JAKARTA - Gerakan reformasi tahun 1998 menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia untuk menuju bangsa yang terbuka. Sebab sejak saat itu sejumlah perubahan yang bisa dirasakan hingga sekarang, salah satunya, pemilu langsung, kebebasan berpendapat, dan pers.
“Pers tidak sebebas sekarang kalau tidak ada reformasi. Kalau tidak ada demokrasi seperti sekarang, kita tidak akan mengenal Presiden Jokowi karena chance-nya kecil,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo dalam diskusi daring bertajuk Makna Reformasi 21 Mei 98-20 di tengah COVID-19: Bersiap Menghadapi New Normal, belum lama ini.
(Baca: Imbauan di Rumah Saja Diabaikan, Warga Bandung Salat Id Lapangan dan Masjid)
Namun, cita-cita reformasi tak sepenuhnya berjalan. Drajad mengatakan yang terjadi dalam praktik demokrasi sekarang ini adalah oligarki dan kapitalis. Aktor politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan eksekutif bisa berganti-ganti. “Tapi yang dibelakangnya masih itu-itu saja,” ucapnya.
Peralihan rezim biasanya diikuti perubahan pada sejumlah sektor, termasuk aktornya. Pada saat orde lama beralih ke orde baru itu ada pernatian konglomerasi ekonomi. Setelah reformasi 1998, menurut Drajad, aktor ekonomi yang berganti hanya satu-dua orang.
“Pelaku yang besar masih sama saja. Aktor-aktor yang tidak terjun dalam politik, tapi berpengaruh di politik masih sama saja. Itu PR bagi kita semua. Demokrasi harus memberikan kesempatan kepada orang untuk tampil,” tuturnya.
(Baca: Musim Nyekar, Waktunya Petani Bunga Selasih Untung Besar)
Dosen FISIP Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah mengatakan hal yang sama. Reformasi itu menginginkan adanya perubahan-perubahan. Namun, semua seperti jalan ditempat karena aktor utamanya tidak berubah dan sistemnya tetap.
Chusnul menyebut demokrasi Indonesia di-hijeck oleh oleh oligarki politik. ”Sekelompok kecil menguasai partai politik. Oligarki ekonominya, sekelompok kecil menguasai ekonomi,” ucapnya.
“Pers tidak sebebas sekarang kalau tidak ada reformasi. Kalau tidak ada demokrasi seperti sekarang, kita tidak akan mengenal Presiden Jokowi karena chance-nya kecil,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo dalam diskusi daring bertajuk Makna Reformasi 21 Mei 98-20 di tengah COVID-19: Bersiap Menghadapi New Normal, belum lama ini.
(Baca: Imbauan di Rumah Saja Diabaikan, Warga Bandung Salat Id Lapangan dan Masjid)
Namun, cita-cita reformasi tak sepenuhnya berjalan. Drajad mengatakan yang terjadi dalam praktik demokrasi sekarang ini adalah oligarki dan kapitalis. Aktor politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan eksekutif bisa berganti-ganti. “Tapi yang dibelakangnya masih itu-itu saja,” ucapnya.
Peralihan rezim biasanya diikuti perubahan pada sejumlah sektor, termasuk aktornya. Pada saat orde lama beralih ke orde baru itu ada pernatian konglomerasi ekonomi. Setelah reformasi 1998, menurut Drajad, aktor ekonomi yang berganti hanya satu-dua orang.
“Pelaku yang besar masih sama saja. Aktor-aktor yang tidak terjun dalam politik, tapi berpengaruh di politik masih sama saja. Itu PR bagi kita semua. Demokrasi harus memberikan kesempatan kepada orang untuk tampil,” tuturnya.
(Baca: Musim Nyekar, Waktunya Petani Bunga Selasih Untung Besar)
Dosen FISIP Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah mengatakan hal yang sama. Reformasi itu menginginkan adanya perubahan-perubahan. Namun, semua seperti jalan ditempat karena aktor utamanya tidak berubah dan sistemnya tetap.
Chusnul menyebut demokrasi Indonesia di-hijeck oleh oleh oligarki politik. ”Sekelompok kecil menguasai partai politik. Oligarki ekonominya, sekelompok kecil menguasai ekonomi,” ucapnya.
(muh)
tulis komentar anda