Perppu Pilkada Tuai Kritikan Pakar Tata Negara UNS
Senin, 18 Mei 2020 - 14:15 WIB
SOLO - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret ( UNS ) Solo, Agus Riwanto menilai ada sejumlah risiko jika Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) serentak tetap digelar 2020. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai justru akan menciptakan ketidakpastian penyelenggaraan Pilkada serentak.
"Sebenarnya norma Perppu Nomor 2 Tahun 2020 hanya ada empat walaupun pasal yang diubah dan ditambah hanya ada tiga. Ini Perppu sangat singkat sekali. Pertama adalah Pilkada lanjutan pada perubahan Pasal 120 karena bencana non-alam. Kedua, KPU tetapkan penundaan sesuai Pasal 122A di PKPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Ketiga, ubah jadwal pada Pasal 201A dari September ke Desember. Dan keempat adalah Pilkada tunda lagi bila Desember tak terlaksana dengan persetujuan DPR dan pemerintah," ujar Agus Riwanto dalam keterangan tertulisnya Senin (18/5/2020).
Sebagaimana diketahui, penyelenggaraan Pilkada serentak tidak dapat dihelat sesuai jadwal. Pilkada yang akan digelar September 2020 akhirnya diundur penyelenggaraannya menjadi Desember 2020. Keputusan mengundur jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020. ( )
Walau pun pemerintah sudah mengambil sikap untuk mengundur penyelenggaraan Pilkada serentak akibat ketidakpastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir, tapi Agus menilai ada sejumlah risiko yang kemungkinan bisa muncul. Hal tersebut diakibatkan oleh bunyi dari Pasal 201A ayat (3) yang menunda kembali penyelenggaraan Pilkada serentak apabila pada Desember 2020 nanti pandemi COVID-19 masih berlangsung.
"Nanti akan ada masalah ketatanegaraan bagaimana kok ada Perppu yang dibikin Perppu, Perppu baru dihapus oleh Perppu yang baru lagi. Mestinya Pilkada dimulai saat diumumkannya COVID-19 berakhir supaya lebih aman. Dalam Perppu ini seharusnya juga ditambah jeda, KPU diberi waktu 2 bulan setelah COVID-19 diumumkannya berakhir," katanya.
Kritikan lain yang disampaikan Riwanto adalah soal penyelenggaraan Pilkada serentak yang terkesan dipaksakan digelar pada 2020. Ia melihat Pilkada serentak hanya digelar sebagai formalitas belaka untuk menjawab keajegan jabatan 1 periode yang berlangsung selama 5 tahun bagi kepala daerah. Baginya, penyelenggaraan Pilkada serentak tidak hanya ditekankan pada pergantian kepemimpinan politik di daerah. Namun hal yang lebih penting dan harus menjadi perhatian adalah tingkat partisipasi publik.
Dalam dinamika penundaan Pilkada serentak 2020, Agus melihat adanya peluang KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk tidak independen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya campur tangan DPR dan pemerintah dalam pelaksanaan Pilkada yang seharusnya menjadi tangung jawab penuh KPU.
"Baik tahapan maupun penundaannya KPU dalam Perppu ini diminta untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Karena ini produknya Perppu, Perppu itu kan setara dengan UU. Itu sebabnya, presiden tidak perlu mengatakan itu. Cukup mengatakan saja bahwa Pilkada akan dilakukan oleh KPU. Itu cukup," katanya.
"Sebenarnya norma Perppu Nomor 2 Tahun 2020 hanya ada empat walaupun pasal yang diubah dan ditambah hanya ada tiga. Ini Perppu sangat singkat sekali. Pertama adalah Pilkada lanjutan pada perubahan Pasal 120 karena bencana non-alam. Kedua, KPU tetapkan penundaan sesuai Pasal 122A di PKPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Ketiga, ubah jadwal pada Pasal 201A dari September ke Desember. Dan keempat adalah Pilkada tunda lagi bila Desember tak terlaksana dengan persetujuan DPR dan pemerintah," ujar Agus Riwanto dalam keterangan tertulisnya Senin (18/5/2020).
Sebagaimana diketahui, penyelenggaraan Pilkada serentak tidak dapat dihelat sesuai jadwal. Pilkada yang akan digelar September 2020 akhirnya diundur penyelenggaraannya menjadi Desember 2020. Keputusan mengundur jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020. ( )
Walau pun pemerintah sudah mengambil sikap untuk mengundur penyelenggaraan Pilkada serentak akibat ketidakpastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir, tapi Agus menilai ada sejumlah risiko yang kemungkinan bisa muncul. Hal tersebut diakibatkan oleh bunyi dari Pasal 201A ayat (3) yang menunda kembali penyelenggaraan Pilkada serentak apabila pada Desember 2020 nanti pandemi COVID-19 masih berlangsung.
"Nanti akan ada masalah ketatanegaraan bagaimana kok ada Perppu yang dibikin Perppu, Perppu baru dihapus oleh Perppu yang baru lagi. Mestinya Pilkada dimulai saat diumumkannya COVID-19 berakhir supaya lebih aman. Dalam Perppu ini seharusnya juga ditambah jeda, KPU diberi waktu 2 bulan setelah COVID-19 diumumkannya berakhir," katanya.
Kritikan lain yang disampaikan Riwanto adalah soal penyelenggaraan Pilkada serentak yang terkesan dipaksakan digelar pada 2020. Ia melihat Pilkada serentak hanya digelar sebagai formalitas belaka untuk menjawab keajegan jabatan 1 periode yang berlangsung selama 5 tahun bagi kepala daerah. Baginya, penyelenggaraan Pilkada serentak tidak hanya ditekankan pada pergantian kepemimpinan politik di daerah. Namun hal yang lebih penting dan harus menjadi perhatian adalah tingkat partisipasi publik.
Dalam dinamika penundaan Pilkada serentak 2020, Agus melihat adanya peluang KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk tidak independen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya campur tangan DPR dan pemerintah dalam pelaksanaan Pilkada yang seharusnya menjadi tangung jawab penuh KPU.
"Baik tahapan maupun penundaannya KPU dalam Perppu ini diminta untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Karena ini produknya Perppu, Perppu itu kan setara dengan UU. Itu sebabnya, presiden tidak perlu mengatakan itu. Cukup mengatakan saja bahwa Pilkada akan dilakukan oleh KPU. Itu cukup," katanya.
(abd)
tulis komentar anda