Forum Kiai Muda NU Cirebon Tawarkan Solusi Atasi Karut Marut Dampak COVID-19
Minggu, 10 Mei 2020 - 07:08 WIB
“Silakan juga menjadikan kami kuasa hukum jika ada debitur yang diperlakukan buruk oleh kreditur yang bertindak tidak sesuai kebijakan pemerintah dalam penundaan pembayaran pokok dan bunga kredit usaha rakyat,” tutur Rasjid.
Rasjid mengungkapkan, kalangan agama berusaha menjawab masalah global ini, misalnya Islam membuat Fikih COVID-19 —yang menjustifikasi penangkalan virus Corona dengan cara menghindarinya, sebagaimana dipesankan oleh etika Islam tentang tha’un dan disarankan oleh para ahli epidemiologi.
Argumen dasar dari fikih Covid-19 adalah hifzhu al-nafs, menyelamatkan jiwa, sebagai kewajiban yang harus didahulukan di atas kewajiban lain, termasuk hifzhu al-din (menjaga agama) dan hifzhu al-mal (melindungi harta).
Namun, ungkap Rasjid, forum menilai, penanganan pemerintah atas COVID-19 di Indonesia tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan (science) matang. Sistem kesehatan nasional menunjukkan boroknya sendiri karena riset-riset ilmiah dan keberpihakan kepada kesehatan warga selama ini diabaikan demi keuntungan orang-orang yang sudah kaya —baik di industri farmasi maupun rumah-rumah sakit.
"Penanggulangan ekonomi akibat serangan COVID-19 dikerjakan dengan skema amburadul. Meski telah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, kebijakan turunannya tidak terukur," ungkap Rasjid.
Ketidakkompakan yang disampaikan oleh pihak-pihak berwenang, kata dia, dari Presiden, para menteri, Gugus Tugas Penanggulangan COVID-19, menunjukkan perencanaan mentah dan tanpa disiplin untuk menjaga putusan-putusan yang telah dibuat.
Bahkan pelaksanaan atas kebijakan untuk menanggulangi COVID-19 di lapangan menunjukkan gejala ketidakberesan. Ada indikasi kelompok-kelompok tertentu mendapatkan keuntungan dari krisis ini, pada saat sama korban terdampak mengalami penderitaan semakin dalam.
"Semua kebijakan tidak memiliki kejelasan batas waktunya, kecuali penyebutan 14 hari sebagai ukuran proses inkubasi virus korona. Semua bersandar pada kemungkinan atau prasangka (zhan), padahal, secara ekonomi, semua warga negara terdampak dan merasakan langsung akibat dari serangan virus ini," kata dia.
Akibatnya, ujar Rasjid, kebijakan baik berskala nasional maupun wilayah, tampak tidak efektif dan selalu meragukan dan sulit masuk di akal sehat. Hal yang menjadi fenomena justru efek ekonomi dan sosial yang buruk dari kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah.
Rasjid mengungkapkan, kalangan agama berusaha menjawab masalah global ini, misalnya Islam membuat Fikih COVID-19 —yang menjustifikasi penangkalan virus Corona dengan cara menghindarinya, sebagaimana dipesankan oleh etika Islam tentang tha’un dan disarankan oleh para ahli epidemiologi.
Argumen dasar dari fikih Covid-19 adalah hifzhu al-nafs, menyelamatkan jiwa, sebagai kewajiban yang harus didahulukan di atas kewajiban lain, termasuk hifzhu al-din (menjaga agama) dan hifzhu al-mal (melindungi harta).
Namun, ungkap Rasjid, forum menilai, penanganan pemerintah atas COVID-19 di Indonesia tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan (science) matang. Sistem kesehatan nasional menunjukkan boroknya sendiri karena riset-riset ilmiah dan keberpihakan kepada kesehatan warga selama ini diabaikan demi keuntungan orang-orang yang sudah kaya —baik di industri farmasi maupun rumah-rumah sakit.
"Penanggulangan ekonomi akibat serangan COVID-19 dikerjakan dengan skema amburadul. Meski telah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, kebijakan turunannya tidak terukur," ungkap Rasjid.
Ketidakkompakan yang disampaikan oleh pihak-pihak berwenang, kata dia, dari Presiden, para menteri, Gugus Tugas Penanggulangan COVID-19, menunjukkan perencanaan mentah dan tanpa disiplin untuk menjaga putusan-putusan yang telah dibuat.
Bahkan pelaksanaan atas kebijakan untuk menanggulangi COVID-19 di lapangan menunjukkan gejala ketidakberesan. Ada indikasi kelompok-kelompok tertentu mendapatkan keuntungan dari krisis ini, pada saat sama korban terdampak mengalami penderitaan semakin dalam.
"Semua kebijakan tidak memiliki kejelasan batas waktunya, kecuali penyebutan 14 hari sebagai ukuran proses inkubasi virus korona. Semua bersandar pada kemungkinan atau prasangka (zhan), padahal, secara ekonomi, semua warga negara terdampak dan merasakan langsung akibat dari serangan virus ini," kata dia.
Akibatnya, ujar Rasjid, kebijakan baik berskala nasional maupun wilayah, tampak tidak efektif dan selalu meragukan dan sulit masuk di akal sehat. Hal yang menjadi fenomena justru efek ekonomi dan sosial yang buruk dari kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah.
tulis komentar anda