Gelombang Dukungan Menangkan Kotak Kosong Menguat di Raja Ampat

Selasa, 06 Oktober 2020 - 07:02 WIB
"Banyak janji politik dari Faris saat menjabat sebagai Bupati Raja Ampat, tidak terpenuhi," ungkap Yakobus, salah seorang warga di wilayah Kampung Wejim Timur.

Bahkan aksi penolakan terhadap tim koalisi partai (tim sukses AFU-ORI) dilakukan dengan cara yang unik, di mana warga yang menolak menggunakan buah lemon asam, yang menurut istilah masyakarat setempat menggambarkan jangan datang untuk membuat janji-janji kepada masyarakat.

Sejak ditetapkannya pasangan calon tunggal pada Pilkada Kabupaten Raja Ampat, oleh KPU Kabupaten Raja Ampat, tim kampanye pasangan calon tunggal yang turun ke beberapa kampung di Raja Ampat mulai menuai aksi penolakan oleh masyarakat kampung yang ada di distrik-distrik di Kabupaten Raja Ampat.

(Baca juga: Berkat Termos, Nelayan Hilang di Perairan Mlonggo Jepara Selamat )

Penolakan masyarakat kampung ini viral dan beredar di media sosial seperti yang terjadi di kampung Wejim Timur, dan Wejim Barat, Distrik Kepulauan Sembilan; Kampung Meosmanggara, Distrik Waigeo Barat Kepulauan; Kampung Boni/Warkori Distrik Wawarbomi; serta masyarakat yang ada di Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Raja Ampat.

Aksi penolakan yang dilakukan masyarakat dibeberapa kampung ini, diduga merupakan dampak dari lima tahun kepemimpinan Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati yang saat ini memborong hampir semua partai politik baik yang memiliki kursi di DPRD Kabupaten Raja Ampat, maupun yang tidak memilik kursi, dan hanya menyisakan Partai Hanura dengan dua kursi di DPRD Kabupaten Raja Ampat saja yang tidak memberikan rekomendasi.



Menurut Ketua Aliansi Raja Ampat Bersatu (ARAB), Alberth Mayor, calon tunggal di Pilkada Raja Ampat, menjadi bukti kegagalan proses kaderisasi dan demokrasi di masyarakat. "Namun juga menjadi bukti kesadaran masyarakat untuk menjalankan hak konstitusinya, dengan memilih kotak kosong," tuturnya.

Aksi spontanitas masyarakat menolak kehadiran tim sukses Faris-Ori, menurut Alberth menandakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi semakin sadar bahwa demokrasi di Raja Ampat, telah mati.

"Pesta rakyat atau pesta demokrasi yang harusnya bisa melahirkan pemimpin Raja Ampat, dari sebuah proses pemilihan, ternyata tidak dapat berjalan dengan baik, dikarenakan petahana yang adalah pembina politik memborong hampir semua parpol untuk maju sebagai calon tunggal dalam Pilkada ," tegasnya.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content