China Mulai Jerat Indonesia dalam Pusaran Konflik Laut China Selatan
Sabtu, 29 Agustus 2020 - 10:23 WIB
JAKARTA - China terus berusaha menjerat Indonesia dalam visinya sendiri untuk Laut China Selatan , meski Indonesia telah lama memperjelas posisinya sebagai negara non-penggugat di Laut China Selatan , dengan menyatakan kepentingan utamanya dalam sengketa itu adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut. Baca : China Tembakkan Rudal, Kapal Perusak Amerika Diusir dari Laut China Selatan
Upaya China menjerat Indonesia dengan mengajukan beberapa proposal pembangunan bersama di Laut China Selatan sejak 2017, terutama ditujukan ke Filipina dan Vietnam, yang juga melibatkan Indonesia. China mengusulkan pembentukan Spratly Resource Management Authority (SRMA)—dengan keanggotaan tidak hanya dari negara-negara penggugat yang bersengketa, yaitu Brunei, China , Malaysia, Vietnam, dan Filipina, tetapi juga Indonesia.
Huaigao Qi dari Universitas Fudan berpendapat dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun lalu di Journal of Contemporary East Asian Studies bahwa tujuan China adalah memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan wilayah yang damai dan stabil, serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi persaingan China -Amerika Serikat (AS) di wilayah yang disengketakan.
Langkah China yang menyeret Indonesia dalam pusaran konflik sengketa wilayah itu menjadi sorotan kelompok think tank yang berbasis di Sydney; Lowy Institute, Jumat (28/8/2020), dengan artikel berjudul "Jakarta should be wary of Beijing’s South China Sea proposals".
Artikel itu ditulis oleh Aristyo Rizka Darmawan, dosen dan peneliti senior di Center for Sustainable Ocean Policy di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan fokus penelitian pada keamanan maritim di Asia dan Pasifik.
"Bekerja sama dengan China sama saja dengan memvalidasi klaim Laut China Selatan , sebuah langkah yang akan sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan Indonesia," tulis Darmawan. Baca Juga : Sejak Bulan Juli China Sudah Berikan Vaksin Corona ke Tenaga Medis
"Namun dengan mengajukan Indonesia bergabung dengan SRMA, tampaknya Beijing belum mendengar pesan dari Jakarta. Penerbitan serangkaian catatan diplomatik antara kedua negara baru-baru ini membuat jelas Indonesia waspada terhadap niat China , dan memang demikian. Indonesia tidak boleh melibatkan proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan ," lanjut dia.
Posisi Indonesia jelas bahwa Indonesia bukanlah penggugat atas fitur apa pun di Laut China Selatan , sehingga tidak ada batasan maritim yang tertunda dengan China. Meskipun demikian, China secara sepihak bersikeras bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas pantai Pulau Natuna tumpang tindih dengan apa yang disebut klaim "dash-nine line (garis sembilan putus-putus)".
Indonesia secara konsisten menolak klaim China . Putusan pengadilan internasional tahun 2016, yang menegaskan bahwa klaim "garis sembilan putus-putus" China tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional yang mendukung posisi Indonesia. "Untuk alasan ini saja, tidak ada dasar bagi Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian pembangunan apapun dengan China ," tulis Darmawan.
Upaya China menjerat Indonesia dengan mengajukan beberapa proposal pembangunan bersama di Laut China Selatan sejak 2017, terutama ditujukan ke Filipina dan Vietnam, yang juga melibatkan Indonesia. China mengusulkan pembentukan Spratly Resource Management Authority (SRMA)—dengan keanggotaan tidak hanya dari negara-negara penggugat yang bersengketa, yaitu Brunei, China , Malaysia, Vietnam, dan Filipina, tetapi juga Indonesia.
Huaigao Qi dari Universitas Fudan berpendapat dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun lalu di Journal of Contemporary East Asian Studies bahwa tujuan China adalah memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan wilayah yang damai dan stabil, serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi persaingan China -Amerika Serikat (AS) di wilayah yang disengketakan.
Langkah China yang menyeret Indonesia dalam pusaran konflik sengketa wilayah itu menjadi sorotan kelompok think tank yang berbasis di Sydney; Lowy Institute, Jumat (28/8/2020), dengan artikel berjudul "Jakarta should be wary of Beijing’s South China Sea proposals".
Artikel itu ditulis oleh Aristyo Rizka Darmawan, dosen dan peneliti senior di Center for Sustainable Ocean Policy di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan fokus penelitian pada keamanan maritim di Asia dan Pasifik.
"Bekerja sama dengan China sama saja dengan memvalidasi klaim Laut China Selatan , sebuah langkah yang akan sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan Indonesia," tulis Darmawan. Baca Juga : Sejak Bulan Juli China Sudah Berikan Vaksin Corona ke Tenaga Medis
"Namun dengan mengajukan Indonesia bergabung dengan SRMA, tampaknya Beijing belum mendengar pesan dari Jakarta. Penerbitan serangkaian catatan diplomatik antara kedua negara baru-baru ini membuat jelas Indonesia waspada terhadap niat China , dan memang demikian. Indonesia tidak boleh melibatkan proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan ," lanjut dia.
Posisi Indonesia jelas bahwa Indonesia bukanlah penggugat atas fitur apa pun di Laut China Selatan , sehingga tidak ada batasan maritim yang tertunda dengan China. Meskipun demikian, China secara sepihak bersikeras bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas pantai Pulau Natuna tumpang tindih dengan apa yang disebut klaim "dash-nine line (garis sembilan putus-putus)".
Indonesia secara konsisten menolak klaim China . Putusan pengadilan internasional tahun 2016, yang menegaskan bahwa klaim "garis sembilan putus-putus" China tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional yang mendukung posisi Indonesia. "Untuk alasan ini saja, tidak ada dasar bagi Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian pembangunan apapun dengan China ," tulis Darmawan.
tulis komentar anda