Kisah Mayjen Iwan Setiawan Jadi Orang Pertama yang Kibarkan Merah Putih di Gunung Everest
Minggu, 06 Oktober 2024 - 13:22 WIB
Selama latihan tersebut, mantan Danjen Kopassus ini bersama timnya tidur di atas gunung dan bangun pukul 04.00 WIB selanjutnya lari dari Gunung Gede ke Pangrango setiap hari. Namun dibandingkan dengan Mount Everest tidak ada apa-apanya.
“Memang ada saran dari pendaki sipil, latihan di Jaya Wijaya karena masih dingin. Tetapi Pak Prabowo tidak boleh karena waktu itu baru ada penyanderaan Mapenduma. Kita langsung latihan di sana saja di medan sebenarnya,” ujarnya.
Setelah berlatih tiga bulan di Indonesia, pada 18 Desember Iwan dan tim berangkat ke Nepal untuk berlatih lagi di dua gunung bersalju, yakni Gunung Paldor dan Gunung Island Peak. ”Kita di drop di suatu ketinggian, tapi baru berjalan saya muntah-muntah, saya tidak bisa lanjut karena hipoksia,” tuturnya.
Dalam kondisi tidak berdaya, salah seorang pelatih bernama Anatolo Boukreev yang mendampinginya memberikan dua opsi yakni, tinggal selama dua hari lalu menyusul kalau bisa atau pulang.
"Saya di situ merenung, sedih dan malu. Masa pulang, saya perwira satu-satunya Akmil yang diharapkan untuk memimpin Everest, masa saya gagal menjalankan tugas. Lebih baik mati daripada gagal dalam tugas,” ucap Iwan.
Dengan semangat juang yang tinggi, Iwan berhasil menyusul timnya setelah lima hari. Dari situ, dia tidak pernah lagi mengalami masalah kesehatan. Ia kemudian dipilih untuk memimpin tim terkuat dari selatan Nepal bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin, sementara satu tim lainnya dipimpin Letnan Sudarto dari Tibet.
Di Camp 4, timnya mengalami kesulitan karena kehabisan logistik, yang membuat mereka tidak bisa makan sebelum mencapai puncak. “Selama tiga hari, saya hanya bisa makan muntah. Kami kehabisan makanan,” ucapnya.
Meskipun dalam keadaan tersebut, Iwan bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin bertekad menancapkan Merah Putih di puncak Everest, meski nyawa menjadi taruhannya. “Kami sampai di puncak pada pukul 15.10, hanya 10 menit untuk foto sebelum turun,” kenangnya.
Keterlambatan mereka menyebabkan mereka terjebak di ketinggian 8.500 meter tanpa oksigen, sleeping bag, dan matras. Dalam situasi yang sangat berbahaya, tim mereka dianggap sudah mati oleh orang-orang di base camp.
“Kami terbangun keesokan harinya dan melihat semuanya putih. Kita turun ke bawah semuanya kaget ternyata kita masih hidup,” ucapnya dengan kelegaan.
“Memang ada saran dari pendaki sipil, latihan di Jaya Wijaya karena masih dingin. Tetapi Pak Prabowo tidak boleh karena waktu itu baru ada penyanderaan Mapenduma. Kita langsung latihan di sana saja di medan sebenarnya,” ujarnya.
Setelah berlatih tiga bulan di Indonesia, pada 18 Desember Iwan dan tim berangkat ke Nepal untuk berlatih lagi di dua gunung bersalju, yakni Gunung Paldor dan Gunung Island Peak. ”Kita di drop di suatu ketinggian, tapi baru berjalan saya muntah-muntah, saya tidak bisa lanjut karena hipoksia,” tuturnya.
Dalam kondisi tidak berdaya, salah seorang pelatih bernama Anatolo Boukreev yang mendampinginya memberikan dua opsi yakni, tinggal selama dua hari lalu menyusul kalau bisa atau pulang.
"Saya di situ merenung, sedih dan malu. Masa pulang, saya perwira satu-satunya Akmil yang diharapkan untuk memimpin Everest, masa saya gagal menjalankan tugas. Lebih baik mati daripada gagal dalam tugas,” ucap Iwan.
Dengan semangat juang yang tinggi, Iwan berhasil menyusul timnya setelah lima hari. Dari situ, dia tidak pernah lagi mengalami masalah kesehatan. Ia kemudian dipilih untuk memimpin tim terkuat dari selatan Nepal bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin, sementara satu tim lainnya dipimpin Letnan Sudarto dari Tibet.
Di Camp 4, timnya mengalami kesulitan karena kehabisan logistik, yang membuat mereka tidak bisa makan sebelum mencapai puncak. “Selama tiga hari, saya hanya bisa makan muntah. Kami kehabisan makanan,” ucapnya.
Meskipun dalam keadaan tersebut, Iwan bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin bertekad menancapkan Merah Putih di puncak Everest, meski nyawa menjadi taruhannya. “Kami sampai di puncak pada pukul 15.10, hanya 10 menit untuk foto sebelum turun,” kenangnya.
Keterlambatan mereka menyebabkan mereka terjebak di ketinggian 8.500 meter tanpa oksigen, sleeping bag, dan matras. Dalam situasi yang sangat berbahaya, tim mereka dianggap sudah mati oleh orang-orang di base camp.
“Kami terbangun keesokan harinya dan melihat semuanya putih. Kita turun ke bawah semuanya kaget ternyata kita masih hidup,” ucapnya dengan kelegaan.
tulis komentar anda