Kisah Mayjen Iwan Setiawan Jadi Orang Pertama yang Kibarkan Merah Putih di Gunung Everest
loading...
A
A
A
Pada tahun 1997, Mayjen TNI Iwan Setiawan mencetak sejarah yang mengesankan dengan mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Everest , gunung tertinggi di dunia. Dalam perjalanan yang penuh risiko ini, Iwan dan timnya menghadapi tantangan luar biasa yang hampir merenggut nyawa mereka.
Ekspedisi ini dikenang sebagai momen heroik, bukan sekadar menaklukkan puncak, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Di balik kisah ini, terdapat pesan penting dari mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, yang mengingatkan bahwa keberhasilan sejati berarti menghargai keagungan alam, bukan hanya mengejar ambisi pribadi.
“Tugas kita ke sana adalah untuk menziarahi. Menaklukkan terkesan sombong, karena ini adalah alam yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Banyak hal yang tampaknya mustahil terjadi di luar akal manusia,” ungkapnya di Podcast Deddy Corbuzier dikutip SINDOnews, Minggu (6/10/2023).
Mayjen Iwan Setiawan yang kini menjabat sebagai Pangdam XII/Tanjungpura menjelaskan bahwa ekspedisi ke Mount Everest ini diprakarsai oleh Danjen Kopassus, Prabowo Subianto. Ide ini muncul ketika Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad mengumumkan rencana untuk mendaki gunung tersebut.
Mendengar rencana itu, Prabowo langsung mencari prajurit terbaik dari Kopassus untuk melaksanakan pendakian ini. “Waktu itu, Pak Mahathir sudah memproklamirkan bahwa Malaysia ingin mengibarkan bendera Asia pertama di puncak Everest. Pak Prabowo terpanggil oleh semangat nasionalisme. Jangan sampai bangsa yang besar kalah,” tuturnya.
Dalam seleksi tersebut, Iwan yang baru lulus dari Akademi Militer (Akmil) dan berpangkat Letnan Satu berhasil terpilih sebagai Duta Kopassus untuk ekspedisi ini. Dia membawa harapan besar untuk mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Meskipun menyadari risiko besar dari pendakian setinggi 8.884 meter ini, Iwan menganggap tugas tersebut sebagai kehormatan yang harus dijalani sebaik mungkin. Ia berlatih selama tiga bulan di Mako Kopassus Cijantung dan Gunung Gede Pangrango, Bogor, Jawa Barat—waktu yang relatif singkat untuk persiapan mendaki gunung es di Nepal dan Tibet.
“Mendaki Mount Everest butuh latihan selama 3 sampai 5 tahun, itu harus pernah mendaki gunung ketinggian 3.000, 4.000, beberapa gunung es, ketinggian 6.000, 7.000 terakhir 8.000 Mount Everest. Sedangkan kita dari negara tropis, belum berpengalaman, dan belum pernah lihat es,” paparnya.
Selama latihan tersebut, mantan Danjen Kopassus ini bersama timnya tidur di atas gunung dan bangun pukul 04.00 WIB selanjutnya lari dari Gunung Gede ke Pangrango setiap hari. Namun dibandingkan dengan Mount Everest tidak ada apa-apanya.
“Memang ada saran dari pendaki sipil, latihan di Jaya Wijaya karena masih dingin. Tetapi Pak Prabowo tidak boleh karena waktu itu baru ada penyanderaan Mapenduma. Kita langsung latihan di sana saja di medan sebenarnya,” ujarnya.
Setelah berlatih tiga bulan di Indonesia, pada 18 Desember Iwan dan tim berangkat ke Nepal untuk berlatih lagi di dua gunung bersalju, yakni Gunung Paldor dan Gunung Island Peak. ”Kita di drop di suatu ketinggian, tapi baru berjalan saya muntah-muntah, saya tidak bisa lanjut karena hipoksia,” tuturnya.
Dalam kondisi tidak berdaya, salah seorang pelatih bernama Anatolo Boukreev yang mendampinginya memberikan dua opsi yakni, tinggal selama dua hari lalu menyusul kalau bisa atau pulang.
"Saya di situ merenung, sedih dan malu. Masa pulang, saya perwira satu-satunya Akmil yang diharapkan untuk memimpin Everest, masa saya gagal menjalankan tugas. Lebih baik mati daripada gagal dalam tugas,” ucap Iwan.
Dengan semangat juang yang tinggi, Iwan berhasil menyusul timnya setelah lima hari. Dari situ, dia tidak pernah lagi mengalami masalah kesehatan. Ia kemudian dipilih untuk memimpin tim terkuat dari selatan Nepal bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin, sementara satu tim lainnya dipimpin Letnan Sudarto dari Tibet.
Di Camp 4, timnya mengalami kesulitan karena kehabisan logistik, yang membuat mereka tidak bisa makan sebelum mencapai puncak. “Selama tiga hari, saya hanya bisa makan muntah. Kami kehabisan makanan,” ucapnya.
Meskipun dalam keadaan tersebut, Iwan bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin bertekad menancapkan Merah Putih di puncak Everest, meski nyawa menjadi taruhannya. “Kami sampai di puncak pada pukul 15.10, hanya 10 menit untuk foto sebelum turun,” kenangnya.
Keterlambatan mereka menyebabkan mereka terjebak di ketinggian 8.500 meter tanpa oksigen, sleeping bag, dan matras. Dalam situasi yang sangat berbahaya, tim mereka dianggap sudah mati oleh orang-orang di base camp.
“Kami terbangun keesokan harinya dan melihat semuanya putih. Kita turun ke bawah semuanya kaget ternyata kita masih hidup,” ucapnya dengan kelegaan.
Mantan Danpusdikpassus ini mengingat kembali pesan Prabowo Subianto tentang pentingnya meluruskan niat dalam pendakian Mount Everest. “Kenapa bisa selamat, bukan karena kita kuat, tapi Tuhan memberi kesempatan untuk kita menziarahi puncak tertinggi di dunia. Dari 24 negara hanya kita yang sampai duluan di 1997,” pungkasnya.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Ekspedisi ini dikenang sebagai momen heroik, bukan sekadar menaklukkan puncak, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Di balik kisah ini, terdapat pesan penting dari mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, yang mengingatkan bahwa keberhasilan sejati berarti menghargai keagungan alam, bukan hanya mengejar ambisi pribadi.
“Tugas kita ke sana adalah untuk menziarahi. Menaklukkan terkesan sombong, karena ini adalah alam yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Banyak hal yang tampaknya mustahil terjadi di luar akal manusia,” ungkapnya di Podcast Deddy Corbuzier dikutip SINDOnews, Minggu (6/10/2023).
Mayjen Iwan Setiawan yang kini menjabat sebagai Pangdam XII/Tanjungpura menjelaskan bahwa ekspedisi ke Mount Everest ini diprakarsai oleh Danjen Kopassus, Prabowo Subianto. Ide ini muncul ketika Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad mengumumkan rencana untuk mendaki gunung tersebut.
Mendengar rencana itu, Prabowo langsung mencari prajurit terbaik dari Kopassus untuk melaksanakan pendakian ini. “Waktu itu, Pak Mahathir sudah memproklamirkan bahwa Malaysia ingin mengibarkan bendera Asia pertama di puncak Everest. Pak Prabowo terpanggil oleh semangat nasionalisme. Jangan sampai bangsa yang besar kalah,” tuturnya.
Dalam seleksi tersebut, Iwan yang baru lulus dari Akademi Militer (Akmil) dan berpangkat Letnan Satu berhasil terpilih sebagai Duta Kopassus untuk ekspedisi ini. Dia membawa harapan besar untuk mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Meskipun menyadari risiko besar dari pendakian setinggi 8.884 meter ini, Iwan menganggap tugas tersebut sebagai kehormatan yang harus dijalani sebaik mungkin. Ia berlatih selama tiga bulan di Mako Kopassus Cijantung dan Gunung Gede Pangrango, Bogor, Jawa Barat—waktu yang relatif singkat untuk persiapan mendaki gunung es di Nepal dan Tibet.
“Mendaki Mount Everest butuh latihan selama 3 sampai 5 tahun, itu harus pernah mendaki gunung ketinggian 3.000, 4.000, beberapa gunung es, ketinggian 6.000, 7.000 terakhir 8.000 Mount Everest. Sedangkan kita dari negara tropis, belum berpengalaman, dan belum pernah lihat es,” paparnya.
Selama latihan tersebut, mantan Danjen Kopassus ini bersama timnya tidur di atas gunung dan bangun pukul 04.00 WIB selanjutnya lari dari Gunung Gede ke Pangrango setiap hari. Namun dibandingkan dengan Mount Everest tidak ada apa-apanya.
“Memang ada saran dari pendaki sipil, latihan di Jaya Wijaya karena masih dingin. Tetapi Pak Prabowo tidak boleh karena waktu itu baru ada penyanderaan Mapenduma. Kita langsung latihan di sana saja di medan sebenarnya,” ujarnya.
Setelah berlatih tiga bulan di Indonesia, pada 18 Desember Iwan dan tim berangkat ke Nepal untuk berlatih lagi di dua gunung bersalju, yakni Gunung Paldor dan Gunung Island Peak. ”Kita di drop di suatu ketinggian, tapi baru berjalan saya muntah-muntah, saya tidak bisa lanjut karena hipoksia,” tuturnya.
Dalam kondisi tidak berdaya, salah seorang pelatih bernama Anatolo Boukreev yang mendampinginya memberikan dua opsi yakni, tinggal selama dua hari lalu menyusul kalau bisa atau pulang.
"Saya di situ merenung, sedih dan malu. Masa pulang, saya perwira satu-satunya Akmil yang diharapkan untuk memimpin Everest, masa saya gagal menjalankan tugas. Lebih baik mati daripada gagal dalam tugas,” ucap Iwan.
Dengan semangat juang yang tinggi, Iwan berhasil menyusul timnya setelah lima hari. Dari situ, dia tidak pernah lagi mengalami masalah kesehatan. Ia kemudian dipilih untuk memimpin tim terkuat dari selatan Nepal bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin, sementara satu tim lainnya dipimpin Letnan Sudarto dari Tibet.
Di Camp 4, timnya mengalami kesulitan karena kehabisan logistik, yang membuat mereka tidak bisa makan sebelum mencapai puncak. “Selama tiga hari, saya hanya bisa makan muntah. Kami kehabisan makanan,” ucapnya.
Meskipun dalam keadaan tersebut, Iwan bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin bertekad menancapkan Merah Putih di puncak Everest, meski nyawa menjadi taruhannya. “Kami sampai di puncak pada pukul 15.10, hanya 10 menit untuk foto sebelum turun,” kenangnya.
Keterlambatan mereka menyebabkan mereka terjebak di ketinggian 8.500 meter tanpa oksigen, sleeping bag, dan matras. Dalam situasi yang sangat berbahaya, tim mereka dianggap sudah mati oleh orang-orang di base camp.
“Kami terbangun keesokan harinya dan melihat semuanya putih. Kita turun ke bawah semuanya kaget ternyata kita masih hidup,” ucapnya dengan kelegaan.
Mantan Danpusdikpassus ini mengingat kembali pesan Prabowo Subianto tentang pentingnya meluruskan niat dalam pendakian Mount Everest. “Kenapa bisa selamat, bukan karena kita kuat, tapi Tuhan memberi kesempatan untuk kita menziarahi puncak tertinggi di dunia. Dari 24 negara hanya kita yang sampai duluan di 1997,” pungkasnya.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(kri)