Kisah Soetarjo, Pejuang Gerilyawan Bersenjata Peluru Uang Koin Usir Tentara Sekutu

Selasa, 20 Agustus 2024 - 09:00 WIB
“Ada juga pistol yang dibawa komandan cuma satu, Bomen ada 10, senapan Jepang satu, kemudian geranat nanas buatan Jepang. Geranat nanas ini dulu dijadikan caranya dengan diikatkan sama bekas wadah cat kemudian dilempar-lempar,” sambungnya.

Soetarjo mengatakan ikut perang dua kali saat Agresi Militer Belanda 1 dan 2 di Solo, tapi ia hanya mampu melakukan perang gerilya. Pasalnya mereka kekurangan jumlah pasukan dan senjata, jika dipaksa perang terbuka sudah pasti mereka akan digilas tank dan panser milik musuh.

“Sebenarnya yang di Solo ini Belanda-nya beda, kalau di Surabaya itu benderanya merah putih biru. Tapi kalau di Solo itu bendera Inggris, orangnya kecil-kecil gak seperti orang Belanda yang besar-besar,” ungkapnya.

Soetarjo mengenang jika selama bergerilya, mereka mengincar persediaan militer milik musuh. Mereka juga akan menculik pasukan patroli musuh untuk mendapatkan informasi.



Namun di saat ada pergolakan mempertahankan kemerdekaan pada Agresi Militer Belanda dan sekutu itu, semapt ada kejadian pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Musso.

“Di tengah gencatan senjata perjanjian Renville 1948 itu sempat ada kejadian PKI Musso. Tapi tentara Belanda itu masih ada di Solo, Semarang, sampai Surabaya. Kemudian perang besar gerilya lagi sampai gencatan senjata lagi karena perjanjian meja bundar tahun 1949,” jelasnya.

Soetarjo akhirnya benar-benar bisa merasakan kemerdekaan usai Agresi Militer Belanda 2 berakhir pada 5 Januari 1949. Belanda akhirnya menarik pasukannya setelah mendapat kecaman dunia. “Baru setelah itu kita merdeka sepenuhnya nggak ada yang menjajah lagi,” kata dia.

Dirinya berpesan kepada generasi muda bahwa perjuangan Indonesia saat ini bukan lagi dengan perang angkat senjata, melainkan melawan kemiskinan dan kebodohan. Maka ia berharap generasi muda sekarang belajar giat untuk memajukan Bangsa Indonesia.

“Anak pejuang bukan anaknya veteran, semua anak muda itu kita anggap anak pejuang semua. Perjuangan dulu macam-macam, tidak hanya memegang senjata, tapi petani hingga pedagang juga pejuang, kalau tidak ada nasi tidak akan kuat perang,” pungkasnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content