Kisah Sewa Tanah di Era Sultan HB IV Picu Kebencian Pribumi ke Tionghoa dan Eropa
Jum'at, 01 Desember 2023 - 05:54 WIB
KEBIJAKAN penyewaan tanah yang dimunculkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IV menimbulkan masalah. Konon kala itu beberapa daerah yang tanahnya baru dikuasai oleh penjajah Belanda dan orang-orang Tionghoa mulai muncul permasalahan, salah satunya pajak.
Kebijakan ini berawal dari pajak yang diberlakukan oleh Raffles di tahun 1812 - 1813. Pada kenyataannya kewajiban pajak itu ternyata tidak adil dan merata diberlakukan kepada penduduk.
Secara teoretis, pajak itu dimaksudkan untuk memberi keuntungan bagi penduduk pribumi, dengan membebaskan mereka dari kerja paksa atau rodi dan kerja bakti lainnya. Hal ini supaya mereka mampu membayar pajak tanah saja.
Tujuan Raffles adalah untuk memberi kepada para petani Jawa kebebasan dalam memilih apa yang akan mereka tanam dan kebebasan dalam berproduksi.
Akan tetapi, karena tidak ada survei atau penelitian tentang batas-batas tanah milik dan pengumpul pajak yang terlatih baik maka kewajiban pajak itu sering dibebankan dengan tidak adil kepada penduduk.
Hal itu dicatat oleh Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785-1855". Harapan bahwa pajak dapat dibayar dengan uang tunai, bukan dalam bentuk barang, dalam kenyataannya sering meleset.
Justru ekonomi kaum petani Jawa umumnya berbasis barter. Dengan demikian, inisiatif Raffles tersebut kian menjerumuskan kaum tani Jawa semakin jauh ke dalam cengkeraman para rentenir Tionghoa setempat.
Kebijakan ini berawal dari pajak yang diberlakukan oleh Raffles di tahun 1812 - 1813. Pada kenyataannya kewajiban pajak itu ternyata tidak adil dan merata diberlakukan kepada penduduk.
Secara teoretis, pajak itu dimaksudkan untuk memberi keuntungan bagi penduduk pribumi, dengan membebaskan mereka dari kerja paksa atau rodi dan kerja bakti lainnya. Hal ini supaya mereka mampu membayar pajak tanah saja.
Tujuan Raffles adalah untuk memberi kepada para petani Jawa kebebasan dalam memilih apa yang akan mereka tanam dan kebebasan dalam berproduksi.
Akan tetapi, karena tidak ada survei atau penelitian tentang batas-batas tanah milik dan pengumpul pajak yang terlatih baik maka kewajiban pajak itu sering dibebankan dengan tidak adil kepada penduduk.
Hal itu dicatat oleh Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785-1855". Harapan bahwa pajak dapat dibayar dengan uang tunai, bukan dalam bentuk barang, dalam kenyataannya sering meleset.
Baca Juga
Justru ekonomi kaum petani Jawa umumnya berbasis barter. Dengan demikian, inisiatif Raffles tersebut kian menjerumuskan kaum tani Jawa semakin jauh ke dalam cengkeraman para rentenir Tionghoa setempat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda