Kisah Santri dan Ulama Keturunan Arab-China Bergabung Pasukan Pangeran Diponegoro di Perang Jawa
Senin, 06 November 2023 - 06:25 WIB
Para santri dan tokoh ulama turut berjuang mendukung Pangeran Diponegoro berperang melawan Belanda. Kedua elemen ini tadi bahkan turut berkumpul di markas Pangeran Diponegoro di Gua Selarong untuk menjalani pertempuran.
Tercatat ada sebuah sumber yang menemukan adanya catatan daftar nama 200 orang santri dan santriwati yang bergabung dalam pasukan Pangeran Diponegoro di Perang Jawa. Di antara para santri dan santriwati, sebutan santri perempuan bahkan ada yang merupakan keturunan Tionghoa atau China dan Arab.
Tak ketinggalan golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Beberapa di antaranya adalah Suranatan dan Suryogomo, serta penduduk desa - desa bebas pajak di Yogyakarta dan pondok - pondok pesantren.
Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1825" juga menggambarkan kelompok besar santri dan tokoh ulama lain yang dibawa Kiai Mojo. Saat itu para santri dari tiga pondok pesantren besar di Mojo, Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri juga ikut bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, pada awal Agustus.
Delapan pemuka agama dan pejabat masjid serta sepuluh guru agama atau kiai guru juga menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka ini juga termasuk para pemimpin pondok pesantren mulai dari Bagelan, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. Sisanya yang 121 orang disebut kiai, suatu istilah yang secara longgar dipakai di Jawa sebagai gelar kehormatan bagi sepuluh desa, guru agama, serta guru kebatinan.
Konon para pemuka agama dan pondok pesantren ini lantaran dipercaya pangeran memilki kekuatan magis, yang membuatnya bisa terbang dan mempengaruhi cuaca. Hal ini yang membuat para pemimpin pondok pesantren mencoba meminta jimat hidup berupa darah dari pangeran, dalam diri saudara perempuan Pangeran, Raden Ayu Sosrodiwiryo, untuk memperat ikatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan para santri dan tokoh agama ini merapat ke Pangeran Diponegoro karena adanya peristiwa saat ribuan tokoh agama dan kaum kerabatnya dibantai di alun - alun Keraton Plered, sekitar tahun 1650. Perang - perang suksesi di Jawa pada akhir abad ke - 17 hingga awal abad ke-18 menjadi saksi ketegangan antara keraton dengan kauman, sebuah komunitas agama yang kuat.
Para ulama yang dihormati, seperti ulama di Kajoran, Panembahan Rama, ikut memberontak melawan kekuasaan raja. Hal ini sama dengan pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan muda asal Madura yang saleh, bernama Raden Trunojoyo di tahun 1676 - 1680.
Komitmen pribadi Pangeran Diponegoro terhadap Islam dan kontak - kontaknya yang luas dengan para santri di Jawa tengah bagian selatan, menjadikan Pangeran Diponegoro dianggap seorang bangsawan Jawa, tetapi tidak seperti bangsawan umumnya.
Tercatat ada sebuah sumber yang menemukan adanya catatan daftar nama 200 orang santri dan santriwati yang bergabung dalam pasukan Pangeran Diponegoro di Perang Jawa. Di antara para santri dan santriwati, sebutan santri perempuan bahkan ada yang merupakan keturunan Tionghoa atau China dan Arab.
Tak ketinggalan golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Beberapa di antaranya adalah Suranatan dan Suryogomo, serta penduduk desa - desa bebas pajak di Yogyakarta dan pondok - pondok pesantren.
Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1825" juga menggambarkan kelompok besar santri dan tokoh ulama lain yang dibawa Kiai Mojo. Saat itu para santri dari tiga pondok pesantren besar di Mojo, Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri juga ikut bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, pada awal Agustus.
Delapan pemuka agama dan pejabat masjid serta sepuluh guru agama atau kiai guru juga menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka ini juga termasuk para pemimpin pondok pesantren mulai dari Bagelan, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. Sisanya yang 121 orang disebut kiai, suatu istilah yang secara longgar dipakai di Jawa sebagai gelar kehormatan bagi sepuluh desa, guru agama, serta guru kebatinan.
Konon para pemuka agama dan pondok pesantren ini lantaran dipercaya pangeran memilki kekuatan magis, yang membuatnya bisa terbang dan mempengaruhi cuaca. Hal ini yang membuat para pemimpin pondok pesantren mencoba meminta jimat hidup berupa darah dari pangeran, dalam diri saudara perempuan Pangeran, Raden Ayu Sosrodiwiryo, untuk memperat ikatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan para santri dan tokoh agama ini merapat ke Pangeran Diponegoro karena adanya peristiwa saat ribuan tokoh agama dan kaum kerabatnya dibantai di alun - alun Keraton Plered, sekitar tahun 1650. Perang - perang suksesi di Jawa pada akhir abad ke - 17 hingga awal abad ke-18 menjadi saksi ketegangan antara keraton dengan kauman, sebuah komunitas agama yang kuat.
Para ulama yang dihormati, seperti ulama di Kajoran, Panembahan Rama, ikut memberontak melawan kekuasaan raja. Hal ini sama dengan pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan muda asal Madura yang saleh, bernama Raden Trunojoyo di tahun 1676 - 1680.
Komitmen pribadi Pangeran Diponegoro terhadap Islam dan kontak - kontaknya yang luas dengan para santri di Jawa tengah bagian selatan, menjadikan Pangeran Diponegoro dianggap seorang bangsawan Jawa, tetapi tidak seperti bangsawan umumnya.
(hri)
tulis komentar anda