Masyarakat Jangan Terprovokasi Konflik Keraton

Senin, 11 Mei 2015 - 10:16 WIB
Masyarakat Jangan Terprovokasi...
Masyarakat Jangan Terprovokasi Konflik Keraton
A A A
BANTUL - Polemik tentang Sabdaraja dan Dawuhraja di kalangan internal Keraton Yogyakarta terus berlanjut. Meski demikian masyarakat diminta tak terprovokasi dan terlibat dalam konflik tersebut.

Sebaiknya konflik diselesaikan oleh internal keraton sendiri. Ketua Paguyuban Dukuh (Pandu) Bantul, Sulistyo Atmojo mengungkapkan, polemik tentang Sabdaraja tersebut sebaiknya di selesaikan di lingkup internal keraton sesuai dengan tata kelola internal Keraton. Pandu berpendapat jika keluarga Sultan, rayidalem(adikadik Sultan), sentonodalem (keluarga/ trah) dan keluarga be sar Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat memilik kapasitas untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Masyarakat tidak perlu terpancing atau terbelah untuk saling mendukung. Pandu bersama masyarakat harus men jaga kekompakan demi ke tenteraman dan kerukunan war ga agar tidak mudah terpro vokasi oleh langkah-langkah yang tidak bertanggung jawab,” katanya.

Sementara itu, adik Sri Sultan HB X, Gusti Bandara Pangeran Haryo (GBPH) Yudaningrat me ngatakan, dalam waktu dekat adik-adik yang keberatan dengan Sabdaraja dan Da wuhraja, akan segera berkumpul dan menyampaikannya secara res mi kepada raja. "Kami bersebelas sudah menunjuk Kang Ha di (Kanjeng Gusti Pangeran Har yo (KGPH) Hadiwinoto) selaku juru bicaranya," katanya, kemarin.

Menurut Gusti Yuda, sapaan akrab GBPH Yudaningrat, pasti ada langkah-langkah yang dilakukan jika tatap muka dengan Sri Sultan HB X tidak menemui titik temu. Bahkan, jika puncaknya nanti berupa Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi sebagai penerus takhta atau dinobat - kan sebagai ratu, rayidalem (adik-adik Sultan HB X) akan menggugat lewat ranah hukum. "Kalau nggak ketemu ya, ranah hukum. Tapi itu masih jauh," ungkapnya.

Sementara adik Sultan HB X yang lain, GBPH Prabukusumo mengaku sudah mendapatkan pen jelasan langsung mengenai Sab daraja dan Dawuhraja beserta penjelasannya langsung dari sang raja. Namun, apa yang didapatkan dari penjelasan itu sama sekali sulit dinalar. "Jangan protes. Kalau belum paham, tanyakan kepada Tuhan," ujar dia menirukan penjelasan Sri Sultan HB X.

Warga Protes Sultan di Makam Kotagede

Masyarakat dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Jamaah Nahdliyin Mataram, menggelar Pisowanan dan doa bersama di Kompleks Makam Panembahan Senopati dan Raja Mataram Islam, Kotagede, kemarin. Aksi ini digelar sebagai wujud keprihatinan atas Sabdaraja dan Dawuhraja yang dikeluarkan Raja Keraton Yog yakarta Sri Sultan HB X belum lama ini.

Mereka sangat keberatan dengan Sabdaraja, khususnya yang berisi penghapusan gelar Ngabdurrahman Sayidin Pa nataga ma Kalifatullah. Mereka meminta agar Sultan HB X mencabut penghapusan gelar tersebut. Usai melakukan doa bersama di Bangsal Pengapit Ler, Kompleks Makam Panembahan Senopati, mereka kemudian menyampaikan pernyataan sikap. Mereka berharap agar keinginan didengar oleh Sultan HB X.

Koordinator Jamaah Nahdliyin Mataram, Muhammad Alfu Niam mengatakan, masyarakat sadar bahwa suksesi adalah urusan internal Keraton. Mereka juga tidak ingin mencampuri urusan internal tersebut. Namun, apa yang disampaikan Sri Sultan HB X melalui Sabdaraja dan Dawuhraja berpe ngaruh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Menurut dia, penghapusan gelar tersebut sangat mengganggu masyarakat. "Karena gelar tersebut merupakan penan da keselarasan dunia batin Is lam Jawa," katanya. Niam menambahkan, Keraton Mataram berdiri di atas dunia batin dan dihidupi oleh budaya Islam Jawa. Dalam perjalanannya melahirkan akulturasi antara Islam dan Jawa dengan bentuk gelar Sayidin Panataga ma Khalifatullah.

Secara historis, sosiologis, dan spiritual, Keraton Yogyakarta adalah penerus Kerajaan Mataram Islam. Dia menegaskan, gelar ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari dunia batin dan kebanggaan masyarakat Jawa- Islam. "Ini satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan eksistensi Keraton Mataram,” ka tanya.

Ketua Dewan Kebudayaan Ahmad Charis Zubair yang hadir dalam acara tersebut juga me nyayangkan Sabdaraja da Da wuhraja, khususnya perubahan gelar. Dia berpendapat, gelar Buwono memiliki arti bumi, sementara Bawono adalah alam semesta. Buwono sama artinya dengan Khalifah Fil Ardl yang adalah kewajiban bagi seluruh manusia menjaga bumi. “Kalau Bawono itu alam semesta, tugas manusia bukan mengelola alam semesta tapi cukup bumi saja. Alam semesta itu kewenangan Allah SWT,” katanya.

Menurut Charis, sejarah yang sudah jadi paugeran dan undang-undang, mestinya ditaati. Terlebih Keraton Yogyakar ta adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Sebagai kawula alit, kami ingin ini didengar oleh raja," tandasnya.

Erfanto linangkung/ Ridwan anshori
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2146 seconds (0.1#10.140)