Jadi GKR Mangkubumi, Pembayun Pewaris Takhta?

Rabu, 06 Mei 2015 - 11:10 WIB
Jadi GKR Mangkubumi, Pembayun Pewaris Takhta?
Jadi GKR Mangkubumi, Pembayun Pewaris Takhta?
A A A
YOGYAKARTA - Raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X kembali mengeluarkan Sabdaraja di Sitihinggil Keraton Yogyakarta, kemarin.Kali ini isi Sabdaraja mengarah pada penunjukan GKR Pembayun sebagai pewaris takhta.

Tak heran, para pangeran atau adikadik Sultan memboikot acara penting tersebut. Mereka ramai-ramai tak menghadiri pembacaan Sabdaraja. Seperti Sabdaraja sebelumnya, agenda itu kembali digelar tertutup. Hanya internal Keraton yang diundang. Isi Sabdaraja yang kedua ini adalah mengganti nama dan gelar putri sulung Sultan, yakni GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi.

Banyak yang menafsirkan penggantian nama menjadi GKR Mangkubumi ini merupakan penobatan putri mahkota atau calon penerus takhta Keraton. Salah satu abdi dalem yang mengikuti acara Sabdaraja, Raden Wedhono Ngabdul Sadak mengungkapkan, acara Sabdaraja hanya berlangsung lima menit. “Hanya lima menit, hanya ganti nama dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi,” ungkapnya seusai mengikuti acara Sabdaraja, kemarin.

Dia tidak menampik pergantian nama dan gelar tersebut merupakan penobatan putri mahkota. Karena siapa pun yang bergelar Mangkubumi merupakan calon penerus tahta. “Ya, dinobatkan sebagai putri mahkota,” kata Kaum Masjid Penepen Keraton Yogyakarta.

Dalam acara tersebut, semua adik-adik raja atau para pangeran semua tidak hadir. Acara Sabdaraja hanya dihadiri Permaisuri GKR Hemas beserta putra-putrinya serta sejumlah panghageng Keraton berpangkat Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Putra Mahkota Puro Paku Alam IX, RM Wijoseno Hario Bimo, hadir dalam acara itu. Para Pangeran, seperti adik tertua sang raja, Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Hadiwinoto, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Condrohadiningrat, GBPH Cakraningrat, dan lainnya tidak hadir dalam agenda itu.

KRT Yudhahadiningrat mengakui tidak semua kerabat Keraton bisa hadir dalam acara Sabdaraja. “Gusti Hadi (KGPH Hadiwinoto) sudah ditelepon, tapi tidak datang. Mungkin terjebak macet,” ungkapnya. Salah satu anak menantu sang raja, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Purbodiningrat mengatakan, acara yang digelar bukan Sabdaraja tetapi Dawuh Raja. “Itu Dawuh Raja, gantos asmi (ganti nama) GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawano Langgeng Ing Mataram,” katanya.

Suami dari GKR Maduretno ini enggan menjelaskan penggantian nama menjadi GKR Mangkubumi merupakan sinyal sebagai penerus tahta Keraton Yogyakarta selanjutnya. Namun, dia secara implisit tidak menyangkal. “Seseorang yang paham sudah bisa menafsirkan dengan nama Mangkubumi itu apa,” ungkapnya.

Secara tidak langsung dia menyiratkan nama Mangkubumi merupakan sosok penerus takhta selanjutnya. Saat Sri Sultan HB X dinobatkan sebagai raja dan juga bergelar Mangkubumi setelah berganti nama dari BRM Herjuno Darpito. KPH Purbodiningrat mengungkapkan dalam waktu dekat keluarga raja akan memberikan keterangan kepada publik seputar isi Sabdaraja yang sudah diucapkan Sultan. “Minggu-minggu ini,” katanya.

Putri Mahkota Belum Tentu Jadi Ratu

Terpisah, pakar politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias Kurniadi berpendapat penobatan putri mahkota merupakan tantangan berat bagi putri sulung Sultan HB X tersebut. “Aspek sejarah maupun eksternal dan internal Keraton,” katanya saat dihubungi tadi malam.

Akademisi yang sedang menulis disertasi tentang Politik Para Bangsawan Nusantara ini mengungkapkan, dalam sejarahnya belum ada pemimpin Keraton Yogyakarta dipimpin seorang perempuan atau ratu. “Ini membalikkan sejarah,” katanya. Dia sendiri berpendapat penobatan putri mahkota belum tentu bakal bertahta sebagai raja atau ratu.

“Banyak cerita tidak semulus itu. Pada zaman HB VII bahkan sampai mengangkat putra mahkota sebanyak empat kali. Jadi belum tentu putri mahkota menjadi ratu,” katanya.

Menurut Bayu, khusus pengangkatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota justru memiliki tantangan sangat berat. Dari eksternal, masyarakat Jawa yang berbasis budaya patriakhi atau laki-laki pasti terpecah pro dan kontra. “Masyarakat pasti berpikir juga, nanti HB XII siapa? Kan anaknya GKR Pembayun nama belakangnya Wironegoro (suami GKR Pembayun),” kritiknya.

Bayu mengatakan secara implisit GKR Pembayun sebenarnya mengakui garis laki-laki. “Selain dua anaknya bernama belakang Wirogoro, rumahnya juga bernama Wironegaran, bukan Pembayunan,” ujarnya.

Dosen Filsafat Budaya Mataram Universitas Widya Mataram Yogyakarta itu mengutarakan, Sabdaraja 1, Kamis (30/4), tentang pergantian Buwono dengan Bawano adalah delegitimasi Sultan yang bertahta. Karena itu, yang ada sekarang Pak Bawono kebetulan masih dalam Keraton Yogyakarta.

Akademisi yang menempuh S-3 UNY tentang Interpretasi Simbolik HB IX sebagai Pemikir Pendidikan ini menilai, penobatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi hanya agenda dari keluarga Pak Bawono. “Karena sudah berganti nama, maka itu hanya acara keluarga biasa yang tidak ada nilai sakral kultural yang lazim dilakukan di sebuah kerajaan,” ungkapnya.

Penulis buku Demokratisasi Vs Keistimewaan DIY ini menambahkan, zaman dulu putra mahkota diangkat karena banyak calon raja harus bersaing sehingga perlu legitimasi pengangkatan calon raja.

Setelah Indonesia merdeka, kata dia, Sultan HB IX mendemokratisasi Keraton dengan tidak mengangkat putra mahkota, tidak menunjuk Sultan dengan memberi pusaka Kyai Joko Piturun, serta tidak mengangkat permaisuri karena istriistrinya dinikahi sesuai syariat Islam. “(Sultan HB IX) juga membiarkan putra-putranya bermusyawarah untuk menentukan siapa yang terbaik sebagai raja,” ungkapnya.

Karena itu, kata dia, pengangkatan GKR Pembayun ini urusan internal Keluarga Bawono yang tidak bisa dikaitkan dengan runutan sejarah yang selalu mengacu paugeran adat dengan prinsip-prinsip patriakhi .

Ridwan anshori
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5689 seconds (0.1#10.140)