Riwayat Siput dan Gajah di Medan Tuntungan

Senin, 04 Mei 2015 - 12:58 WIB
Riwayat Siput dan Gajah...
Riwayat Siput dan Gajah di Medan Tuntungan
A A A
Medan Tuntungan yang berada di selatan Kota Medan, merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan dataran tinggi Karo. Tak ayal di kecamatan ini masih ditemukan sungai kecil yang menjadi alur air dari dataran tinggi Sibolangit.

Sebelum ramai penduduk, adalah siput dan gajah yang menikmati kesegaran air di sungai-sungai itu. Ya, siput atau keong dan gajah ini pernah punya cerita di Medan Tuntungan. Riwayat dua hewan yang akrab dengan air ini hingga kini terpatri sebagai dua nama kelurahan di Medan Tuntungan, yakni Kelurahan Lau Cih, dan Kelurahan Namu Gajah.

Dari kosakatanya, jelas nama dua kelurahan ini memang berasal dari bahasa Karo. Medan Tuntungan memang identik dengan keberadaan masyarakat Karo, karena letak geografisnya yang dekat dengan Karo. “Masyarakat Karo yang turun ke Tanah Deli, pasti bertemu Tuntungan terlebih dulu,” kata Sejarawan, Erond Damanik. Kelurahan Lau Cih dan Kelurahan Namu Gajah adalah dua kelurahan paling ujung yang berbatasan langsung dengan Pancurbatu, Deliserdang.

Penamaan Lau Cih ternyata menyimpan cerita sendiri. Lau Cih berasal dari bahasa Karo yang artinya sungai (lau ) dan siput (cih ). Menurut keterangan, warga setempat bernama Pasang Purba, sekitar 1960, pada salah satu aliran sungai di kawasan tersebut, tepatnya yang melintasi Jalan Bunga Malem 7, 3 dan 5, dipenuhi siput.

“Dulu waktu remaja, saya bersama kawankawan masih sempat menikmati siput dan ikan di sungai yang terletak di Jalan Bunga Malem 5. Enaknya, ke sana kami tinggal bawa beras dan peralatan masak saja. Di sana, tinggal ambil siput dan ikan. Siputnya bisa dimakan. Makanya, sejak dulu kawasan ini dikenal dengan sebutan Desa Lau Cih (Sungai Siput),” katanya ketika berbincang dengan KORAN SINDO MEDAN, belum lama ini.

Habitat siput yang cukup besar di aliran sungai tersebut sering dimanfaatkan warga untuk dinikmati sebagai santapan. Daerah pinggiran aliran sungai tersebut ramai dikunjungi warga untuk menangkap siput. Sungai tersebut dulunya memiliki lebar sekitar enam meter dengan kedalaman yang cukup untuk didiami biota sungai, seperti ikan dan lainnya. Apalagi di sungai itu dipenuhi bebatuan kecil dan sangat cocok untuk berenang.

“Waktu itu kami senang ke sana bukan hanya siput atau ikan yang mudah ditangkap, tapi bisa mandi-mandi. Kalau sekarang tak mungkin lagi mandi di sana,” ungkapnya sambil tertawa. Dia menyebutkan, hingga saat ini sungai tersebut masih ada, tapi sudah jarang terlihat siput, termasuk ikan. Lebar sungai itu pun kini hanya tinggal tiga meter dan sudah sangat dangkal.

“Mungkin setelah memasuki tahun 2000, sudah mulai tidak kelihatan lagi siput dan ikan. Dulu di sana belum banyak rumah dan permukiman warga. Kalau sekarang lihat sendirilah, sudah banyak. Debit air sungai pun sudah berkurang,” ucapnya. Selain siput, gajah juga punya cerita di Medan Tuntungan. Adalah Kelurahan Namu Gajah, yang menjadi saksinya. Pemberian nama Namu Gajah pada kelurahan ini memiliki peristiwa yang dinilai layak untuk dikenang selamanya.

Namu Gajah dalam bahasa Karo memiliki arti lubuk gajah. Disebut lubuk gajah karena aliran Sungai Belawan (tepatnya di Jalan Petunia Raya) yang melintas di tempat itu, merupakan lokasi pemandian gajah. Menurut Pasang Purba, pada 1940- 1950, rombongan gajah liar masih sering menikmati Sungai Belawan karena sungai sangat dalam dan lebar. Namun, memasuki 1960-an, gajah-gajah liar tersebut sudah jarang terlihat mandi di sana.

“Mungkin karena sudah banyak warga yang mulai banyak membangun tempat tinggal di sana,” ucapnya. Dia menyebutkan, Kelurahan Namo Gajah dulunya merupakan kawasan hutan yang masih terdapat habitat gajah liar. Tapi kemudian, hutan itu dibuka dan dijadikan sebagai lahan pertanian, gajahgajah tersebut naik hingga ke kawasan hutan Sibolangit.

Saat ini, Lubuk Gajah tersebut sudah tidak berbekas lagi karena sungai, lubuknya akan sulit bertahan seiring perkembangan lingkungan. “Makanya, salah satu kenangan yang dibuat adalah pemberian nama kelurahan. Tapi dari dulu, masyarakat di sana memang menyebutnya sebagai Namu Gajah,” tuturnya. Pria yang tinggal di Jalan Penerbangan Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan ini menceritakan, kelurahan yang ditempati sekarang ini pun memiliki cerita penamaan yang unik.

Dimana, pemberian nama Kelurahan Mangga lantaran dahulu ada pohon mangga berukuran besar dan berbeda dengan pohon mangga seperti biasanya. “Pohon yang satu ini besar dan tidak bisa dipeluk manusia seperti pohon mangga yang biasa. Pohonnya dulu berada di Jalan Jamin Ginting KM 10. Tentu warga sekitar merasa aneh.

Makanya dibuat nama Kelurahan Mangga, tapi sekarang pohonnya sudah tak ada lagi,” kata mantan kepala lingkungna (kepling) 1 Kelurahan Mangga ini. Sejarawan dari Unimed, Erond Damanik, mengatakan, meskipun belum melakukan penelitian mendalam tentang keberadaan Sungai Siput di Lau Cih dan Namo Gajah, menilai kawasan Medan Tuntungan sangat wajar menjadi habitat hewan-hewan, seperti siput dan gajah. “Sebab, di sana merupakan kawasan hutan. Sungai Siput juga saya rasa wajar karena penduduknya dulu tidak ramai sehingga mereka dengan mudah reproduksi,” katanya.

Irwan siregar
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0973 seconds (0.1#10.140)