Desak Regulasi bagi Pekerja Rumahan
A
A
A
SEMARANG - Ribuan buruh dari berbagai daerah di Jawa Tengah (Jateng) memperingati Hari Buruh Internasional di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, kemarin.
Persoalan pekerja rumahan yang hingga kini belum ada regulasinya, menjadi salah satu isu strategis yang dibawakan dalam aksi tersebut. Mereka menuntut pemerintah segera mengeluarkan regulasi tentang hal tersebut. Pantauan KORAN SINDO, para buruh melakukan aksi dengan melakukan long march dari Bundaran Air Mancur sampai di depan Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan.
Mereka menyuarakan aspirasinya dengan sejumlah poster serta orasi di atas truk trailer. Koordinator Yayasan Annisa Swasti Jateng, Rima Astuti, mengatakan, berdasarkan penelitian, tercatat lebih dari 5.000 buruh rumahan yang tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Sukoharjo, dan Pekalongan. “Mereka rata-rata perempuan,” katanya.
Dipaparkannya, praktik buruh rumahan yang sudah lama terjadi biasanya di sektor bisnis makanan, garmen, dan pengolahan kulit. Menurut dia, model ketenagakerjaan itu dinilai merugikan karena upahnya di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK), jam kerja yang panjang, serta rawan pekerja anak.
“Praktik buruh rumahan sangat menguntungkan pihak perusahaan karena ditengarai bisa mengurangi biaya produksi antara 40-50%,” ungkap Rima. Dengan bekerja di rumah, lanjut Rima, pengusaha tidak perlu membayar upah sesuai UMK, tidak harus membayar jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, pajak, dan tunjangan hari raya setiap tahun. “Permasalahan lain akibat praktik buruh rumahan ini adalah hilangnya pendapatan pajak pemerintah, karena hampir semua transaksi buruh rumahan tidak tersentuh pajak,” katanya.
Menurut dia, para buruh rumahan yang bekerja di sektor garmen rata-rata mendapat upah antara Rp90.000 hingga Rp300.000. “KamimendoronggubernurJateng membuat sebuah regulasi yang melindungiburuhrumahan,” ucapnya. Di tempat yang sama, Koordinator Umum Gerakan Buruh Berjuang (Gerbang), Nanang Setyono, mengatakan, selain soal pekerja rumahan, juga menyuarakan soal penolakan upah murah dan sistem kerja kontrak (outsourcing ), serta meminta merevisi Pergub Jateng Nomor 65 Tahun 2014 tentang Pedoman Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
“Kami juga menolak kenaikan harga BBM dan turunkan harga kebutuhan pokok,” ujarnya. Sementara Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Wika Bintang, mengakui belum ada aturan tentang buruh rumahan. “Ini sedang diskusi untuk diusulkan ke Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker),” ucapnya.
Aksi juga dilakukan ratusan buruh yang bergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Aspek (Association of Indonesia Union) di depan Balai Kota Semarang, dan dilanjutkan di depan Stasiun Tawang, kemarin. Koordinator Aksi Sektor Barat, Lukman, mengatakan, aksi damai ini merupakan sebuah pembelajaran untuk kembali mengenal sejarahburuh.“Jadi, kamimemang fokus di Tawang. Kami ingin mengajak buruh mengenang dan belajar sejarah,” katanya.
Belum Masuk BPJS
Sementara itu, di Kudus, mayoritas buruh belum masuk dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Minimnya kesadaran buruh dituding menjadi salah satu alasan belum terpenuhinya hak dasar tersebut. Koordinator Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kudus, Slamet Mamik Machmudi, saat demo di Alun-alun Simpangtujuh, menyatakan, selain merupakan hak dasar buruh, keikutsertaan dalam BPJS juga diamanatkan undang- undang.
Namun, mayoritas buruh di Kudus tidak berani menuntut hak-hak dasar mereka yang belum dipenuhi perusahaan. Kepala BPJS Kesehatan Kudus, Herman Dinata Miharja, mengakui jika mayoritas buruh di Kota Kretek belum ter-cover layanan yang diberikan perusahaannya. Dari sekian perusahaan yang ada di Kudus, baru PT Pura Group yang sudah mendaftarkan buruhnya sebagai peserta BPJS.
“Namun, yang lainnya belum,” ucap Herman. Kondisi yang berbeda terjadi di Kendal. Bupati Kendal, Widyakandi, ikutberjogetdangdutdiatas panggung dan bernyanyi di hadapan buruh yang berkumpul di Stadion Utama Kendal. Widya Kandi Susanti menyatakan, perlu dibuka lapangan pekerjaan sehingga mampu menekan angka pengiriman TKI asal Kendal. Kawasan Industri Kendal (KIK) yang sedang dibangun diharapkan mampu membuka lahan pekerjaan yang luas bagi warganya.
Senam Bersama
Ribuan buruh di Sukoharjo justru melakukan senam bersama di Alun-alun Satya Negara Sukoharjo untuk memperingati Hari Buruh. Ketua Serikat Pekerja Republik Indonesia (SPRI) Sukoharjo, Sukarno, menjelaskan, senam diikuti sekitar 2.500 buruh. Dia juga menyampaikan sejumlah permasalahan yang masih dihadapi para buruh. “Saat ini masih banyak ditemukan tenaga kontrak di lingkungan industri, sehingga kami konsisten menolak sistem kontrak ini,” ujarnya.
Lain lagi yang dilakukan buruh di Salatiga. Serikat pekerja dan pengusaha di Salatiga menggelar donor darah dan jalan santai untuk memperingati Hari Buruh, kemarin. Panitia kegiatan, Kholidun, menuturkan, donor darah dilakukan untuk membantu warga yang membutuhkan darah, sedangkan jalan santai untuk memberikan hiburan kepada para buruh.
“Kami berkomitmen menciptakan iklim ketenagakerjaan di Salatiga yang kondusif. Karena itu, kami memilih menyelenggarakan kegiatan yang positif dan memiliki nilai manfaat bagi kaum buruh dan warga Salatiga,” katanya.
Amin fauzi/ m abduh/angga rosa/ sumarno/ wikha setiawan/m oliez
Persoalan pekerja rumahan yang hingga kini belum ada regulasinya, menjadi salah satu isu strategis yang dibawakan dalam aksi tersebut. Mereka menuntut pemerintah segera mengeluarkan regulasi tentang hal tersebut. Pantauan KORAN SINDO, para buruh melakukan aksi dengan melakukan long march dari Bundaran Air Mancur sampai di depan Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan.
Mereka menyuarakan aspirasinya dengan sejumlah poster serta orasi di atas truk trailer. Koordinator Yayasan Annisa Swasti Jateng, Rima Astuti, mengatakan, berdasarkan penelitian, tercatat lebih dari 5.000 buruh rumahan yang tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Sukoharjo, dan Pekalongan. “Mereka rata-rata perempuan,” katanya.
Dipaparkannya, praktik buruh rumahan yang sudah lama terjadi biasanya di sektor bisnis makanan, garmen, dan pengolahan kulit. Menurut dia, model ketenagakerjaan itu dinilai merugikan karena upahnya di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK), jam kerja yang panjang, serta rawan pekerja anak.
“Praktik buruh rumahan sangat menguntungkan pihak perusahaan karena ditengarai bisa mengurangi biaya produksi antara 40-50%,” ungkap Rima. Dengan bekerja di rumah, lanjut Rima, pengusaha tidak perlu membayar upah sesuai UMK, tidak harus membayar jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, pajak, dan tunjangan hari raya setiap tahun. “Permasalahan lain akibat praktik buruh rumahan ini adalah hilangnya pendapatan pajak pemerintah, karena hampir semua transaksi buruh rumahan tidak tersentuh pajak,” katanya.
Menurut dia, para buruh rumahan yang bekerja di sektor garmen rata-rata mendapat upah antara Rp90.000 hingga Rp300.000. “KamimendoronggubernurJateng membuat sebuah regulasi yang melindungiburuhrumahan,” ucapnya. Di tempat yang sama, Koordinator Umum Gerakan Buruh Berjuang (Gerbang), Nanang Setyono, mengatakan, selain soal pekerja rumahan, juga menyuarakan soal penolakan upah murah dan sistem kerja kontrak (outsourcing ), serta meminta merevisi Pergub Jateng Nomor 65 Tahun 2014 tentang Pedoman Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
“Kami juga menolak kenaikan harga BBM dan turunkan harga kebutuhan pokok,” ujarnya. Sementara Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Wika Bintang, mengakui belum ada aturan tentang buruh rumahan. “Ini sedang diskusi untuk diusulkan ke Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker),” ucapnya.
Aksi juga dilakukan ratusan buruh yang bergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Aspek (Association of Indonesia Union) di depan Balai Kota Semarang, dan dilanjutkan di depan Stasiun Tawang, kemarin. Koordinator Aksi Sektor Barat, Lukman, mengatakan, aksi damai ini merupakan sebuah pembelajaran untuk kembali mengenal sejarahburuh.“Jadi, kamimemang fokus di Tawang. Kami ingin mengajak buruh mengenang dan belajar sejarah,” katanya.
Belum Masuk BPJS
Sementara itu, di Kudus, mayoritas buruh belum masuk dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Minimnya kesadaran buruh dituding menjadi salah satu alasan belum terpenuhinya hak dasar tersebut. Koordinator Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kudus, Slamet Mamik Machmudi, saat demo di Alun-alun Simpangtujuh, menyatakan, selain merupakan hak dasar buruh, keikutsertaan dalam BPJS juga diamanatkan undang- undang.
Namun, mayoritas buruh di Kudus tidak berani menuntut hak-hak dasar mereka yang belum dipenuhi perusahaan. Kepala BPJS Kesehatan Kudus, Herman Dinata Miharja, mengakui jika mayoritas buruh di Kota Kretek belum ter-cover layanan yang diberikan perusahaannya. Dari sekian perusahaan yang ada di Kudus, baru PT Pura Group yang sudah mendaftarkan buruhnya sebagai peserta BPJS.
“Namun, yang lainnya belum,” ucap Herman. Kondisi yang berbeda terjadi di Kendal. Bupati Kendal, Widyakandi, ikutberjogetdangdutdiatas panggung dan bernyanyi di hadapan buruh yang berkumpul di Stadion Utama Kendal. Widya Kandi Susanti menyatakan, perlu dibuka lapangan pekerjaan sehingga mampu menekan angka pengiriman TKI asal Kendal. Kawasan Industri Kendal (KIK) yang sedang dibangun diharapkan mampu membuka lahan pekerjaan yang luas bagi warganya.
Senam Bersama
Ribuan buruh di Sukoharjo justru melakukan senam bersama di Alun-alun Satya Negara Sukoharjo untuk memperingati Hari Buruh. Ketua Serikat Pekerja Republik Indonesia (SPRI) Sukoharjo, Sukarno, menjelaskan, senam diikuti sekitar 2.500 buruh. Dia juga menyampaikan sejumlah permasalahan yang masih dihadapi para buruh. “Saat ini masih banyak ditemukan tenaga kontrak di lingkungan industri, sehingga kami konsisten menolak sistem kontrak ini,” ujarnya.
Lain lagi yang dilakukan buruh di Salatiga. Serikat pekerja dan pengusaha di Salatiga menggelar donor darah dan jalan santai untuk memperingati Hari Buruh, kemarin. Panitia kegiatan, Kholidun, menuturkan, donor darah dilakukan untuk membantu warga yang membutuhkan darah, sedangkan jalan santai untuk memberikan hiburan kepada para buruh.
“Kami berkomitmen menciptakan iklim ketenagakerjaan di Salatiga yang kondusif. Karena itu, kami memilih menyelenggarakan kegiatan yang positif dan memiliki nilai manfaat bagi kaum buruh dan warga Salatiga,” katanya.
Amin fauzi/ m abduh/angga rosa/ sumarno/ wikha setiawan/m oliez
(ars)