Sensasi Lidah Sapi ala Belanda Kolonial

Jum'at, 01 Mei 2015 - 08:59 WIB
Sensasi Lidah Sapi ala Belanda Kolonial
Sensasi Lidah Sapi ala Belanda Kolonial
A A A
SANTAPAN nusantara dengan cita rasa tradisional sudah terlalu akrab di lidah. Ingin coba sensasi baru, di Bandung kini sedang hit kuliner tradisional dengan tampilan Eropa klasik. Nilai estetikanya menonjol. Saat bersamaan keasliannya tak dilupakan.

Untuk menik mati itu semua, tempat makan yang satu ini sangat disarankan. Warung Garem Garem namanya terletak di kawasan Jalan Banteng. Konsepnya menawarkan atsmosfer westernzaman dulu.

Tak hanya menampilkan interior gaya usang, resto ini menyajikan berbagai menu warisan keluarga, asli racikan rumahan. Kebanyakan adaptasi makanan khas Belanda dengan cita rasa Indonesia. Di resto ini, kita bisa menjumpai racikan menu utama yang menggunakan daging lidah sapi sebagai bahan dasar. Dengan ramuan home cooking, para penikmat kuliner bisa memanjakan perut dengan menu utama kornet lidah sapi.

Layaknya daging sapi, tampilan kornet lidah memang terdiri dari serat-serat halus berwarna kemerahan. Bedanya, lidah teksturnya lebih empuk dan gurih di mulut. Seporsi hidangan ini pun tampak menggugah rasa lapar. Diletakkan dalam nampan keramik besar, irisan lidah tampil dengan kuah bening, lengkap dengan irisan tomat. Pelengkapnya ada sayuran wortel dan buncis, tak ketinggalan nasi putih hadir untuk mengggenapkan rasa kenyang.

“Dinamakan kornet karena proses dan bumbunya menggunakan cara yang sama dengan kornet kalengan. Artinya olahan ini memang berkarakter klasik, khas dapur rumahan. Secara genre, makanan ini juga hasil asimilasi selera antara menu lokal dan Eropa klasik. Resep yang digunakan juga asli dari keluarga kami,” ujar R Mega Rachman Wirakusumah, pemilik sekaligus koki Warung Garem Garem.

Rasa lezat yang dihasilkan memang membutuhkan proses memasak panjang. Sebelum tersaji apik di atas meja, lidah sapi terlebih dulu harus diasinkan selama tiga hari. Tujuanya agar semua bumbu dasar meresap sempurna, serta warna yang dihasilkan juga lebih atraktif. “Lidah memang lebih gurih dari daging sapi biasanya. Makanya wajib di-marinate (diasinkan) dulu selama tiga hari. Selain itu juga warnanya akan lebih cantik. Kalau aslinya memang agak menghitam,” katanya.

Menu kolaborasi Indonesia – Belanda zaman kolonial ini juga bisa dijumpai lewat sepiring nasi goreng lidah sapi. Sajian ini terasa ciamik dan pas di segala suasana. Seperti layaknya nasi goreng, sajian tradisional ini disajikan dengan aneka taburan. Untuk menggenapi nutrisi, ada telur mata sapi, emping serta sambal balado, serta acar. Istimewanya, nasi goreng ini dibubuhi lidah sapi yang dipotong dadu.

Tak terbantahkan lagi lezatnya, saat kelembutannya berkolaborasi dengan bawang serta sensasinya yang pedas mengejutkan. Teksturnya yang empuk, sama sekali tak beda dengan cita rasa daging sapi. Begitu pula dengan komposisi bumbunya yang meresap hingga serat terdalam. Selain lidah sapi, resto ini juga menyediakan panfried chicken piccata. Menu ini hasil modifikasi olahan Prancis. Soal rasa sudah tentu lezat di lidah. Terdiri dari irisan daging ayam tanpa tulang atau boneless, selanjutnya hidangan ini ditutup dengan telur yang dikocok seperti omelet.

Sementara itu, saus balsamic vinegardan irisan tomat ceri menambah semarak cita rasa saat menu utama ini meluncur di mulut. “Piccata buatan keluarga kami sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh tiga chefkakak beradik, termasuk saya. Namun secara keseluruhan kami tetap mempertahankan bumbu rempah Eropa yang klasik dan autentik,” kata Mega. Masih penasaran dengan khasanah menu kolonial?

Di resto bergaya klasik ini juga kita bisa menikmati semangkuk sup ala Belanda bernama bruineboonen soep. Di Indonesia, olahan ini sering disebut sup kacang merah. Isiannya memang terdiri dari kacang merah yang direbus lalu dicampur dengan irisan daging sapi. Tak lupa di dalamnya ada potongan daun bawang serta seledri agar taburannya lebih komplet.

“Dalam masakan western, sup ini bisa disebut clear soup. Kuahnya encer namun sangat terasa kaldu sapinya. Tak seperti pure sup kacang ala barat, kuah yang satu ini lebih segar dan bisa dipadukan juga dengan nasi. Yang pasti wajib disantap dalam kondisi hangat,” urainya. Sebagai penutup, jangan kesampingkan kelezatan dari poffertjes with vanilla ice cream. Di Prancis sendiri, menu ini memiliki kemiripan dengan wafel. Bahannya tak beda saat kita membuat roti.

Materialnya menggunakan terigu, telur, susu, ragi, serta garam. “Orang Belanda juga sering memilih poffertjessebagai dessert. Biasanya dipadukan dengan saus karamel, gula tepung, dan es krim. Karamel coulisini terasa kompak saat dicampur dengan es krim, rasanya bebas memilih,” katanya.

Dini budiman
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6190 seconds (0.1#10.140)