Per Tahun, Terjadi 12.000 Kasus Perceraian di Jateng

Kamis, 30 April 2015 - 10:22 WIB
Per Tahun, Terjadi 12.000...
Per Tahun, Terjadi 12.000 Kasus Perceraian di Jateng
A A A
SEMARANG - Angka perceraian di Provinsi Jawa Tengah hingga saat ini masih cukup tinggi. Setidaknya sekitar 12.000 kasus perceraian terjadi setiap tahunnya di provinsi ini.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait di Semarang kemarin. Akibat kasus perceraian yang tinggi itu ribuan anak di Jateng kehilangan hak-hak pribadinya. “Kalau dari 12.000 pasangan itu memiliki dua anak saja, setidaknya sudah 24.000 anak di Jawa Tengah ini yang kehilangan hak asuh orang tuanya. Dan ini tentu akan mempengaruhi tumbuh kembang serta masa depan si anak kelak,” ucapnya.

Apalagi masih banyak putusan pengadilan yang menetapkan bahwa hak asuh anak ada pada salah satu orang tua. Hal ini yang menjadi permasalahan karena anak akan kehilangan hak atas salah satu orang tuanya.

“Padahal dalam Pasal 14 dan 26 UU Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak menyebutkan jika meskipun putus perkawinan hak untuk membesarkan, mendidik, memberikan perhatian kepada anak dari orang tua tidak bisa dipisahkan. Karena itu hak yang melekat pada anak,” paparnya.

Namun, yang sering terjadi saat ini, akibat adanya putusan hakim yang memberikan hak asuh anak kepada salah satu orang tua menjadikan permasalahan yang pelik. Sering kali pihak yang mendapatkan hak asuh tidak memperbolehkan pihak lain menjenguk si anak.

“Yang banyak terjadi seperti itu, di mana salah satu pihak yang memiliki hak asuh anak melarang pihak lain datang. Ini tentu melanggar hak anak dan berdampak negatif pada anak. Selain itu, itu juga melanggar Pasal 77 UU Perlindungan Anak dan dapat diancam pidana maksimal lima tahun,” tandas Sirait.

Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) saat ini terus mengampanyekan kepada hakim di seluruh pengadilan di Indonesia untuk memutuskan hak asuh anak korban perceraian dengan hak asuh bersama. Selain itu, pihak pengadilan juga harus menolak setiap gugatan hak asuh satu pihak.

“Kami selalu mengingatkan kepada pengadilan jika hak asuh satu pihak akan dapat berakibat tidak baik pada anak. Namun, kami tidak dapat mengintervensi kewenangan hakim. Kami berharap hakim tidak mengabulkan permohonan hak asuh anak terhadap satu pihak demi masa depannya,” tandas Sirait.

Aida Noplie Chandra, salah satu orang tua yang merasakan dampak hak asuh anak, mengaku tidak dapat bertemu dengan salah satu anaknya bernama Ritchi Anderson Tjin akibat perceraiannya dengan suami sewaktu 2012.

“Saat perceraian, majelis hakim PN Semarang memutuskan hak asuh anak ada pada kami berdua. Saat itu saya setuju karena memang anak- anak harus mendapatkan perhatian utuh dari kedua orang tuanya meskipun telah berpisah. Namun, mantan suami saya saat itu tidak terima dan menyatakan banding,” papar Aida.

Dalam sidang tingkat banding itu, hakim mengabulkan gugatan hak asuh terhadap Ritchi kepada mantan suaminya. Setelah adanya keputusan itu, Aida sangat kesulitan bertemu putra sulungnya tersebut.

Andika prabowo
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1025 seconds (0.1#10.140)