Kisah Perjuangan Mbah Djonet, Putra Pangeran Diponegoro

Jum'at, 01 Mei 2015 - 05:00 WIB
Kisah Perjuangan Mbah...
Kisah Perjuangan Mbah Djonet, Putra Pangeran Diponegoro
A A A
Dari sekitar 20 putra-putri Pangeran Diponegoro, terdapat nama Kanjeng Gusti Prabu Haeriu (KGPH) Pangeran Djonet Dipomenggolo atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Djonet.

Mbah Djonet adalah anak kelima, yang lahir pada 1815. Dia dimakamkan di Jalan RD Kosasih, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Cikaret, Bogor Selatan, Jawa Barat.

Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Mbah Djonet masih berusia 10 tahun.

Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Mbah Djonet merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam goa bersama ibu dan saudara-saudaranya.

Usianya masih terhitung anak-anak, ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar Puri.

Sering kali, sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak di mana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Tangan kokoh itu, tak lain tangannya Sentot Prawiro Dirjo, pamannya sendiri.

Ketika dalam masa peperangan melawan penjajah, usia Mbah Djonet masih sekitar 15 tahun. Saat itu, dia melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dalam kondisi terdesak, Mbah Djonet menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap segar menghadapi semuanya serangan itu.

Mbah Djonet tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan.

Peristiwa ini menyisakan rasa dendam dan kekecewaan yang amat dalam. Perasaan itulah yang ada di dalam benak Mbah Djonet. Jiwa mudanya sangat terguncang, hingga selalu melakukan perlawanan jika bertemu dengan penjajah Belanda.

Mbah Djonet berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro, tetapi aksi ini ketahuan. Agar tak tertangkap, Mbah Djonet menyeburkan diri ke laut.

Dia tak putus asa, kemudian melakukan pengejaran terhadap penjajah yang membawa ayahnya melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia (Jakarta).

Selama di Batavia, Mbah Djonet memilih Matraman sebagai tempat persembunyian dari Belanda. Bahkan, dia sempat menjadi imam sholat di Masjid Matraman.

Di Matraman, Mbah Djonet menikah dengan wanita keturunan China berdarah biru yang kemudian lebih dikenal Raden Ayu Padma dengan delapan anak.

Setelah dari Matraman, Mbah Djonet pergi ke Condet. Konon, nama Condet sebenarnya diambil dari nama beliau, yaitu Djonet yang dirubah menjadi Condet. Kemudian, Mbah Djonet pergi ke Pasar Minggu.

Di Pasar Minggu, dia sempat menetap lama, sambil menyusun kekuatan bersama orang-orang Banten yang ditengarai keturunan dari Sultan Hasanuddin untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Setelah itu, akhirnya Mbah Djonet menetap di Bogor. Selain berjuang melawan penjajah, beliau juga menyebarkan agama Islam di wilayah Bogor yang pada zaman dulu banyak masih beragama Hindu, sepeninggal Kerajaan Pajajaran.

Sumber: www.kotahujan.com (diolah dari berbagai sumber)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1234 seconds (0.1#10.140)