Membumikan Seni untuk Kemanusiaan
A
A
A
Menjadi seniman andal tidak harus karena keturunan. Dengan niat dan totalitas, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Semarang Djoko Susanto telah membuktikan bahwa belajar seni bisa dilakukan secara autodidak.
Selain menjadi dalang, Djoko juga aktif menjadi pemain ketoprak, pemain sandiwara, dan penari. Dia juga pernah bermain dalam sebuah film dan sinetron. Dari sanggarnya yang berada di Jalan Candi Prambanan Tengah 6 No 571 Kalipancur Semarang, Djoko menempa keahlian-keahlian itu. Djoko menekuni dunia seni sejak 2000. Sebelumnya dia seorang gali yang ditakuti masyarakat. Hal tersebut berubah ketika dia hendak menikah.
Karena memiliki dasar menjadi penari, Djoko kemudian mendirikan sanggar yang bernama Racaksari. Seiring berjalannya waktu, dia mengembangkan kesenian lain berupa ketoprak, sandiwara, dan menjadi dalang.
“Semua itu saya dapatkan dengan belajar secara autodidak,” ujar pria kelahiran Boyolali 15 April 1955 ini. Salah satu kegiatan rutin Sanggar Racaksari yakni menggelar wayangan setiap malam Jumat Wage. Hingga sekarang Djoko telah mendalang sebanyak 61 kali. Wayangan rutin digelar sebagai menjadi media pembelajaran kepada masyarakat.
“Saya juga mengisi acara di TVRI, Cakra TV , dan Pro TV ,” ujar suami Purwanti ini. Keunggulan pementasan wayang Ki Djoko yakni selalu menghubungkan dengan isu terkini. Misalnya, dia selalu menyentil permasalahan korupsi dan juga narkoba setiap pentasnya. “Ternyata banyak yang suka. Dari awal sampai akhir penonton selalu ramai,” ucap ayah empat anak ini.
Selain mendalang, Djoko juga memberi pelajaran tentang budi pekerti kepada anak-anak SD. Mereka sengaja datang ke sanggarnya untuk belajar secara gratis. “Saya ikhlas melakukannya karena rezeki itu semua datang dari Allah,” ujarnya.
Harapan yang masih ingin diwujudkan Djoko, yakni membantu masyarakat melalui sanggarnya keluar dari kemiskinan dan membantu mereka belajar sesuai dengan bidang yang dimiliki. “Hal itu yang nantinya ingin saya wujudkan,” ucapnya.
Amin Fauzi
Kota Semarang
Selain menjadi dalang, Djoko juga aktif menjadi pemain ketoprak, pemain sandiwara, dan penari. Dia juga pernah bermain dalam sebuah film dan sinetron. Dari sanggarnya yang berada di Jalan Candi Prambanan Tengah 6 No 571 Kalipancur Semarang, Djoko menempa keahlian-keahlian itu. Djoko menekuni dunia seni sejak 2000. Sebelumnya dia seorang gali yang ditakuti masyarakat. Hal tersebut berubah ketika dia hendak menikah.
Karena memiliki dasar menjadi penari, Djoko kemudian mendirikan sanggar yang bernama Racaksari. Seiring berjalannya waktu, dia mengembangkan kesenian lain berupa ketoprak, sandiwara, dan menjadi dalang.
“Semua itu saya dapatkan dengan belajar secara autodidak,” ujar pria kelahiran Boyolali 15 April 1955 ini. Salah satu kegiatan rutin Sanggar Racaksari yakni menggelar wayangan setiap malam Jumat Wage. Hingga sekarang Djoko telah mendalang sebanyak 61 kali. Wayangan rutin digelar sebagai menjadi media pembelajaran kepada masyarakat.
“Saya juga mengisi acara di TVRI, Cakra TV , dan Pro TV ,” ujar suami Purwanti ini. Keunggulan pementasan wayang Ki Djoko yakni selalu menghubungkan dengan isu terkini. Misalnya, dia selalu menyentil permasalahan korupsi dan juga narkoba setiap pentasnya. “Ternyata banyak yang suka. Dari awal sampai akhir penonton selalu ramai,” ucap ayah empat anak ini.
Selain mendalang, Djoko juga memberi pelajaran tentang budi pekerti kepada anak-anak SD. Mereka sengaja datang ke sanggarnya untuk belajar secara gratis. “Saya ikhlas melakukannya karena rezeki itu semua datang dari Allah,” ujarnya.
Harapan yang masih ingin diwujudkan Djoko, yakni membantu masyarakat melalui sanggarnya keluar dari kemiskinan dan membantu mereka belajar sesuai dengan bidang yang dimiliki. “Hal itu yang nantinya ingin saya wujudkan,” ucapnya.
Amin Fauzi
Kota Semarang
(ars)