DPRD Godok Perda TKI Dilarang Bercerai

Jum'at, 03 April 2015 - 09:04 WIB
DPRD Godok Perda TKI...
DPRD Godok Perda TKI Dilarang Bercerai
A A A
PONOROGO - DPRD Ponorogo tengah menggodok Peraturan Daerah (Perda) tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ponorogo. Salah satu pasalnya berisi larangan TKI bercerai.

Warga Ponorogo yang bekerja di luar negeri sebagai TKI akan dilarang bercerai. Pasangan yang salah satu atau keduanya merantau ke negeri orang wajib mempertahankan pernikahannya sampai masa kerjanya selesai dan kembali lagi ke Tanah Air. Hal ini akan diatur oleh perda yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat dan dengar pendapat (hearing ) publik.

Pada intinya, pasangan yang salah satunya atau keduanya berangkat menjadi TKI wajib membuat komitmen secara lisan hingga tertulis untuk tidak bercerai. “Ada pasal dalam raperda yang mewajibkan adanya syarat berupa surat pernyataan bagi yang akan berangkat untuk tidak melakukan perceraian selama bekerja di luar negeri,” ujar anggota DPRD Ponorogo Sukirno kemarin.

Legislator yang juga pemilik salah satu Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) menyebutkan pertimbangan munculnya pasal ini adalah tingginya angka perceraian di Ponorogo. Sukirno menyatakan sebagian besar perceraian di Ponorogo disebabkan konflik yang terjadi karena salah satu pasangan atau keduanya menjadi TKI.

“Dan angka perceraian di Ponorogo tiap tahun meningkat. Bahkan bisa disebut tingkat perceraiannya cukup tinggi. Nah , aturan ini untuk melindungi TKI dari perpecahan keluarga,” ujarnya. Memang perceraian bukan ranah pemerintah daerah melainkan ranah pribadi orang per orang. Bahkan pelarangan perceraian termasuk untuk TKI, tidak ada dasar hukumnya.

Hal ini lebih kental nuansa perlindungan terhadap TKI dari sisi sosial dan kehidupannya di masa mendatang. Hal pribadi yang juga akan diatur oleh perda ini adalah soal kejelasan pengasuhan anak yang bakal ditinggalkan calon TKI. Pasal ini menghendaki penunjukan secara tertulis orangorang yang akan bertanggung jawab atas pengasuhan dan perkembangan anak calon TKI.

“Mengapa begitu? Karena banyak kasus di mana anak tidak jelas siapa yang mengasuh dan justru membuat anak kurang kasih sayang, perhatian, dan semacamnya,” ucapnya. Kedua pasal ini mendapat respons cukup positif dari para peserta dengar pendapat.

Salah satunya Damanhuri, mantan anggota DPRD setempat. Dia menilai kedua pasal memang tidak ada landasan hukumnya. Meski demikian, dia lebih menekankan adanya pesan sosial yang sangat kentara dalam pasal ini. “Orang mau jadi TKI itu kan agar meningkat taraf hidupnya. Tapi ternyata setelah di luar (TKI) atau yang ditinggal tidak berdampingan, terkena berbagai pengaruh buruk secara moral, lalu terjadi perceraian.

Maka, tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dengan taraf hidup yang sejahtera tidak tercapai dan malah semakin semrawut,” paparnya. Begitu pula soal pengasuhan anak yang ditinggalkan. Menurut Damanhuri, anak-anak terutama yang masih di bawah dua tahun masih sangat membutuhkan kasih sayang ibu.

Kalau sampai ditinggal ke luar negeri, maka anak akan kekurangan kasih sayang dan perhatian. “Bahkan, saya mendukung agar ibu-ibu yang anaknya belum dua tahun atau masih menyusu dilarang jadi TKI dulu. Ini agar anak-anak itu bisa tumbuh dengan baik. Mereka adalah anak-anak Ponorogo, calon penerus bangsa,” ujarnya.

Dili eyato
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1023 seconds (0.1#10.140)