Teuku Markam, Penyumbang Emas Tugu Monas

Sabtu, 04 April 2015 - 05:00 WIB
Teuku Markam, Penyumbang Emas Tugu Monas
Teuku Markam, Penyumbang Emas Tugu Monas
A A A
Kilauan emas tak mungkin terpancar dari Tugu Monas tanpa bantuan pengusaha terkenal era Presiden Soekarno ini. Dialah Teuku Markam, orang kaya asal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Lalu, siapa sebenarnya pria kelahiran 1925 tersebut? Teuku Markam merupakan turunan uleebalang, berasal dari Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu, Aceh Utara.

Ayahnya bernama Teuku Marhaban. Sejak kecil, Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Ibunya, lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya, Cut Nyak Putroe.

Sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat). Teuku Markam tumbuh, lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh) dan tamat dengan pangkat letnan satu.

Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara, bersama-sama dengan Jenderal Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, dan lain-lain.

Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan perselisihan antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.

Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah.

Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Teuku Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia. Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno.

Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menguasai masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam.

Dia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena dihasud oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.

Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.

Selanjutnya, Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Surabaya.

Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor-impor dengan sejumlah negara antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Kementerian Pertahanan) dan Presiden RI.

Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan bangsa, termasuk pembebasan Irian Barat, serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno.

Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN, serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas), Jakarta.

Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil, berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.

Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain, seperti Menteri PU Ir Sutami, Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo, dan lain-lain.

Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.

Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan orde baru. Dia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.

Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966.

Sekeluarnya dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat.

Proyek PT Marjaya di Aceh, antara lain pembangunan Jalan Bireuen-Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain. Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta.

Sumber: kolom-biografi.blogspot.com (Diolah dari berbagai sumber)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6255 seconds (0.1#10.140)