Karya Seni Berbuah Manis

Minggu, 29 Maret 2015 - 09:11 WIB
Karya Seni Berbuah Manis
Karya Seni Berbuah Manis
A A A
Jangan anggap sebelah mata profesi pekerja seni. Sebuah karya yang tercipta akan membuat selembar kain saja menjadi begitu bernilai. Dari selembar kain itu pula kebutuhan keluarga, rumah, mobil, hingga pendidikan anak ke jenjang pendidikan tinggi mampu diantarkan penggiat seni senior, S Handono Hadi, 63.

Ya, dari tangan dingin ayah enam anak dari pernikahannya dengan Siti Nurma, 58, ini berhasil mengantarkan anaknya hingga ke perguruan tinggi dengan memiliki titel sarjana. Handono memang cuma tamatan SMP. Istrinya pun tamatan SD. Maka, mereka boleh berbangga hati ketika mampu mengantarkan anak-anak mereka menyelesaikan pendidikan tinggi. “Anak saya enam.

Alhamdulillah , semuanya sampai pendidikan tinggi. Mereka tamat dari sekolah arsitektur, bahasa Jepang, akuntansi, perbankan, hukum, dan manajemen. Mereka semua saya sekolahkan hasil dari karya saya,” ungkap Handono. Suatu kebanggaan bagi diri warga Jalan Eka Rasmi 56, Gang H Badrun, Medan Johor, ini mampu menyekolahkan keenam anaknya dari hasil karya yang diciptakannya.

Lukisan, patung, interior dan eksterior masjid, menjadi kesibukan Handono seharihari. Dari tangan dinginnya tercipta lukisan indah, patung dan interior. Tercatat sejumlah patung yang menjadi ikon Kota Medan pun hasil karyanya. Patung Sisingamangaraja, patung api museum Bukit Barisan, ada juga pemahat batu Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) Jalan Jenderal Gatot Subroto.

Bahkan, karyanya dipajang di Pasar Seni Ancol, yakni, patung pahatan kayu jati. Sejumlah karya seni yang terpajang di bagian interior dan eksterior sejumlah masjid di Medan dan Sumatera Utara pun Handono ambil bagian. Sebut saja Masjid Musanif di Kompleks Cemara Asri, Masjid Baiturrahman di Kompleks Universitas Negeri Medan (Unimed), serta masjid di Pancur Batu dan Pematangsiantar pun menjadi indah karena hasil karyanya.

“Saya tidak pernah memajang karya saya di galeri mana pun. Banyak orang-orang yang datang ke rumah, tanpa saya kenal dan membeli karya saya,” ungkap pemilik Bagusan Sanggar Seni Rupa ini. Pria asal Kudus, Jawa Tengah, ini hijrah ke Medan pada 1975. Saat itu dia masih lajang 25 tahun, hijrah ke Medan mengikuti jejak kakaknya, Utoyo Hadi.

Itulah kali pertamanya menginjakkan kaki di Medan dan memilih menetap di sini. Semua keahliannya berawal dari melukis secara autodidak saat mengenyam pendidikan sekolah dasar. “Saat itulah saya bersama abang saya mengerjakan patung Sisingamangaraja,” kenang kakek 10 cucu ini. Dari situlah pula titik berangkat kehidupannya dimulai di Medan.

Sebagai pendatang yang menumpang bersama abangnya Handono kerap berpindah-pindah. Hingga akhirnya menikahi Siti Nurma dan memilih menyewa rumah dengan berpindahpindah dari satu rumah sewa ke rumah sewa lain. Kala itu tidak terlintas dalam pikirannya memiliki rumah tetap. Padahal, namanya telah dikenal sebagai penggiat seni yang detail hasil karyanya tak perlu disangsikan.

“Saya orangnya tidak bisa merencanakan sesuatu, karena selalu gagal. Jadi, saya jalani saja kehidupan ini. Rezeki sudah ada yang mengatur, hidup jangan dibuat susah,” ujarnya. Waktu berlalu dan dia memiliki enam anak, sekitar 2009 dia ditawari rumah dengan luas 400 meter persegi oleh relasinya. Relasi yang enggan disebutkan namanya itu memesan enam lukisan dan satu desain interior masjid.

Bak mendapat durian runtuh, Handono pun langsung mengiyakan. Di rumah yang sekarang ditempatinya itulah dia bersama keluarga berlindung dari hujan dan panas. “Itu rumah saya belinya dengan 6 lukisan kaligrafi dan desain interior masjid oleh relasi saya. Saya tidak pernah minta uangnya karena modal kepercayaan yang utama bagi saya. Relasi saya sendiri yang ingat.

Malah relasi saya yang masih harus membayar uang lagi karena lukisan dan desain interior karya saya melebihi nilai rumahnya,” bebernya sembari tertawa. Bahkan sebelum memiliki rumah sendiri, Handono telah membeli mobil pada 2005. Pengalaman membeli mobil ini sama seperti rumah. Kala itu dia mendapat pembayaran atas tiga lukisan yang dibeli dua orang.

“Dari tiga lukisan itu saya bisa membeli mobil. Itu semua tidak saya duga. Semua itu tidak harus dibeli dengan uang,” katanya. Handono menanamkan pada dirinya bahwa jodoh, rezeki, dan maut sudah ada yang mengatur. Manusia hanya berusaha untuk mencari jalan meraih apa yang diinginkannya. Hidup jangan dibuat susah, ikuti aliran air, ke mana arus membawanya.

Itulah yang menjadi pegangan hidup baginya. “Apa yang saya kerjakan adalah kesenangan saya. Saya tidak berharap karya saya laku. Bahkan, saya tidak akan menjual karya saya saat akan pameran. Karena butuh waktu lama untuk membuat lukisan, bisa berbulan-bulan,” tuturnya.

Di balik kesuksesannya itu Handono berharap ada perhatian dari pemerintah. Penggiat seni ini bersama teman-temannya mengaku kesulitan mencari tempat menggelar pameran seni. “Taman Budaya tidak layak karena sangat sempit. Diperlukan gedung yang representatif untuk menggelar sebuah karya seni,” ujarnya.

HARIS DASRIL
Medan
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2340 seconds (0.1#10.140)