Seni Rupa Sumut Harus Bangkit
A
A
A
Geliat seni rupa di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) saat ini benar-benar tak bergairah. Persoalan ketiadaan gedung menjadi alasan krusial sehingga membuat para seniman enggan menyuguhkan pameran.
Wajar saja sebagai ibu kota Sumut yang dijuluki sebagai Kota Metropolitan, seharusnya mampu mengakomodasi kebutuhan para seniman seni rupa tersebut. Bukan tidak mungkin, bila sarana dan prasarana tersedia, para seniman seni rupa mampu mendatangkan pendapatan daerah untuk kota terbesar ketiga di Indonesia ini.
Pengamat Seni Kota Medan Mangatas Pasaribu menilai geliat seni rupa di Sumut menurun dibandingkan pada saat era Orde Baru. Masalah yang dihadapi untuk memajukan seni rupa di Sumut sudah komplikasi. Pertama, tidak tersedianya sarana gedung seni yang memadai untuk pameran. Padahal tahun 1980an hingga pertengahan 1990an geliat seni rupa di Sumut sangat maju.
Saat itu pemerintah menyediakan anggaran untuk membuat pameran. “Saat ini gedung seni yang representatif untuk pameran saja tidak ada. Taman budaya kami anggap tidak layak untuk pameran lukisan seni rupa karena plafon atapnya terlalu rendah sehingga tidak memadai untuk memajang lukisan yang berukuran besar, 3 meter ke atas,” kata dosen seni lukis Unimed tersebut.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan geliat seniman seni rupa di Jawa seperti Yogyakarta dan Bandung. Mangatas mengungkapkan, tidak sedikit seniman seni rupa asal Sumut bermigrasi ke Jawa hanya untuk memuaskan hasratnya memamerkan hasil karyanya. Karya mereka lebih diterima di sana daripada di kotanya sendiri. Seperti M Yatim Mustafa.
Pelukis bergaya realism itu telah berulang kali menggelar pameran baik solo exhibition dan joint exhibition di Jogjakarta, Bali, Jakarta, Padang, dan bahkan ke Penang, Malaysia. “Ada banyak seniman kita yang akhirnya harus pindah ke Yogyakarta hanya untuk bisa memamerkan karyanya. Di tahun 2000, mereka mulai bermigrasi ke Jawa,” ungkapnya. Hasilnya, mereka malah sukses berada di sana.
Apabila Pemprov Sumut mau membina dan menyediakan sarana, bukan tidak mungkin geliat seniman seni rupa di sini bisa berkembang seperti di Yogyakarta dan Bandung. Di Kota Medan sendiri, Mangatas mengaku tidak sedikit titik lokasi yang layak dijadikan sebagai lokasi pameran permanen. Seperti di kawasan Taman Deli, lokasi tersebut banyak dilintasi wisatawan asing dan ada banyak hotel berbintang di kawasan tersebut.
Begitu juga di kawasan Merdeka Walk, Medan. Ribuan pengunjung memadati kawasan kuliner tersebut setiap malam. “Seharusnya kalau mau dijuluki sebagai Kota Metropolitan, Pemerintah Kota Medan harus menyediakan pojok seni di sejumlah titik lokasi yang dianggap pantas seperti di Taman Deli dan Merdeka Walk.
Kalaulah pemerintah mau menyediakan sarana yang memadai, bukan tidak mungkin seniman kita mau memamerkan karyanya dan membuka workshop di pojok seni tersebut, dan itu bisa mendatangkan pendapatan pemerintah dengan nilai yang tidak sedikit,” tandasnya. Itu karena Sumut memiliki delapan etnis budaya yang berbeda. Setiap etnis memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, baik dari seni pahat, seni tari, dan lainnya.
Semuanya itu bisa dituangkan ke dalam karya seni lukis berbentuk realis maupun abstrak. “Alangkah sayangnya bila kita menyia-siakan beragam etnis yang ada di Sumut. Di Yogyakarta saja, masyarakatnya yang didominasi oleh etnis Jawa bisa dituangkan ke dalam karya seni lukisan. Sementara di Sumut, kita memiliki delapan etnis yang berbeda, mengapa tidak kita manfaatkan untuk mendulang pendapatan daerah,” kata Mangatas.
Di sisi lain, Mangatas menilai tidak adanya regenerasi membuat geliat seni rupa berjalan stagnan. Generasi muda saat ini hanya menginginkan proses instan untuk menjadi seorang seniman. “Buktinya, banyak mahasiswa saya yang suka menyontek hasil karya seniman terkenal tanpa mau tahu bagaimana proses membuat hasil karya tersebut.
Padahal dibutuhkan waktu dan mood untuk bisa membuat sebuah karya seni. Kebanyakan generasi muda saat ini tidak mau bereksperimen untuk menghasilkan sebuah karya seni,” ungkapnya. Mangatas juga menyayangkan kekurangpedulian pemerintah mengembangkan seni rupa di Sumut.
“Padahal seniman itu dikenal sebagai orang jujur. Sampai Jhon F Kenneday pernah mengungkapkan kalau politik membengkokkan, senimanlah yang meluruskan. Ungkapan itu membuktikan bahwa betapa besarnya peranan seniman dalam pemerintahan, khususnya menjaga dan melestarikan budaya bangsa,” ucapnya.
Untuk membangkitkan kembali geliat seniman seni rupa, tiga seniman seni rupa terkenal Sumut yang tergabung dalam komunitas TO2 Art Group yang terdiri atas M Yatim Mustafa (seniman seni rupa beraliran realis), S Handono Hadi (seniman seni rupa kaligrafi), dan Anang To2 (seniman seni rupa abstrak) menggelar pameran di Grand Aston City Hall Medan mulai 22 Maret hingga 5 April mendatang.
Menurut Kurator Seni Rupa Kuss Indarto, pameran karya seni rupa yang digelar di hotel berbintang tersebut secara tidak langsung untuk mengetuk hati pemerintah agar menyediakan gedung seni yang representatif sebagai lokasi pameran. “Mudah-mudahan saja hati pemerintah terbuka dengan adanya pameran yang digelar di hotel tersebut.
Soalnya, di kota lain seperti Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, mereka sudah memiliki gedung seni sendiri yang bisa dimanfaatkan sebagai lokasi pameran. Sementara Kota Medan, senimannya harus mencari-cari dulu lokasi yang tepat untuk menggelar pameran,” ungkapnya. Kuss Indarto menambahkan, minimnya generasi muda yang meminati seni rupa menjadi kendala bangkitnya seni rupa di Sumut.
Lihat sajalah seniman seni rupa yang menggelar pameran tersebut, rata-rata usianya sudah di atas 50 tahun. Hal itu membuktikan bahwa seniman muda masih sangat minim. Semoga dengan adanya pameran tersebut, generasi muda menjadi tertarik terjun menjadi seniman seni rupa. Soalnya, hasil karya seni rupa bisa tidak ternilai harganya bila ditangani oleh seniman seni rupa yang sudah berpengalaman.
Sentralisme dunia seni rupa di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta karena didukung oleh infrastruktur yang berimbas kepada kuantitas dan kualitas SDM senimannya hingga memudahkan senimannya untuk menemukan market art- nya sendiri. Sementara di Kota Medan, masyarakatnya sendiri masih sedikit menikmati hasil karya seni rupa. Hal itu menjadi kendala bagi para seniman seni rupa dalam memasarkan hasil karyanya.
“Mudah-mudahan saja dengan adanya pameran tersebut dapat meningkatkan gairah kreatif para seniman seni rupa. Walau saat ini gerakan itu masih kecil, setidaknya gerakan itu ada dan sewaktu-waktu gerakannya bertambah besar,” kata Kuss Indarto. Salah seorang seniman seni rupa bergaya abstrak, Anang To2 mengungkapkan, tidak mudah mengetahui karakter seni yang diminati masyarakat.
Soalnya, karya seni sendiri memiliki sejumlah karakter di antaranya abstrak, realis, dan kaligrafi. Ketiga karakter tersebut saling bertolak belakang karena memiliki gaya seni rupa tersendiri. Seperti abstrak dikenal sebagai seni rupa yang tidak menampilkan objek dalam bentuk asli. Meski demikian, seni rupa abstrak banyak diminati masyarakat, khususnya mereka yang sudah mengenal karya seni lainnya.
“Untuk mengetahui karakter seni rupa mana yang diminati masyarakat dapat diketahui dengan cara menggelar pameran berbagai karakter karya seni rupa. Saat akhir pameran dapat diketahui karakter karya seni mana yang paling banyak dibeli masyarakat. Soalnya, dalam setiap pameran, hasil karya seni yang dipamerkan juga dipasarkan kepada pengunjung,” paparnya.
Dicky irawan
Wajar saja sebagai ibu kota Sumut yang dijuluki sebagai Kota Metropolitan, seharusnya mampu mengakomodasi kebutuhan para seniman seni rupa tersebut. Bukan tidak mungkin, bila sarana dan prasarana tersedia, para seniman seni rupa mampu mendatangkan pendapatan daerah untuk kota terbesar ketiga di Indonesia ini.
Pengamat Seni Kota Medan Mangatas Pasaribu menilai geliat seni rupa di Sumut menurun dibandingkan pada saat era Orde Baru. Masalah yang dihadapi untuk memajukan seni rupa di Sumut sudah komplikasi. Pertama, tidak tersedianya sarana gedung seni yang memadai untuk pameran. Padahal tahun 1980an hingga pertengahan 1990an geliat seni rupa di Sumut sangat maju.
Saat itu pemerintah menyediakan anggaran untuk membuat pameran. “Saat ini gedung seni yang representatif untuk pameran saja tidak ada. Taman budaya kami anggap tidak layak untuk pameran lukisan seni rupa karena plafon atapnya terlalu rendah sehingga tidak memadai untuk memajang lukisan yang berukuran besar, 3 meter ke atas,” kata dosen seni lukis Unimed tersebut.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan geliat seniman seni rupa di Jawa seperti Yogyakarta dan Bandung. Mangatas mengungkapkan, tidak sedikit seniman seni rupa asal Sumut bermigrasi ke Jawa hanya untuk memuaskan hasratnya memamerkan hasil karyanya. Karya mereka lebih diterima di sana daripada di kotanya sendiri. Seperti M Yatim Mustafa.
Pelukis bergaya realism itu telah berulang kali menggelar pameran baik solo exhibition dan joint exhibition di Jogjakarta, Bali, Jakarta, Padang, dan bahkan ke Penang, Malaysia. “Ada banyak seniman kita yang akhirnya harus pindah ke Yogyakarta hanya untuk bisa memamerkan karyanya. Di tahun 2000, mereka mulai bermigrasi ke Jawa,” ungkapnya. Hasilnya, mereka malah sukses berada di sana.
Apabila Pemprov Sumut mau membina dan menyediakan sarana, bukan tidak mungkin geliat seniman seni rupa di sini bisa berkembang seperti di Yogyakarta dan Bandung. Di Kota Medan sendiri, Mangatas mengaku tidak sedikit titik lokasi yang layak dijadikan sebagai lokasi pameran permanen. Seperti di kawasan Taman Deli, lokasi tersebut banyak dilintasi wisatawan asing dan ada banyak hotel berbintang di kawasan tersebut.
Begitu juga di kawasan Merdeka Walk, Medan. Ribuan pengunjung memadati kawasan kuliner tersebut setiap malam. “Seharusnya kalau mau dijuluki sebagai Kota Metropolitan, Pemerintah Kota Medan harus menyediakan pojok seni di sejumlah titik lokasi yang dianggap pantas seperti di Taman Deli dan Merdeka Walk.
Kalaulah pemerintah mau menyediakan sarana yang memadai, bukan tidak mungkin seniman kita mau memamerkan karyanya dan membuka workshop di pojok seni tersebut, dan itu bisa mendatangkan pendapatan pemerintah dengan nilai yang tidak sedikit,” tandasnya. Itu karena Sumut memiliki delapan etnis budaya yang berbeda. Setiap etnis memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, baik dari seni pahat, seni tari, dan lainnya.
Semuanya itu bisa dituangkan ke dalam karya seni lukis berbentuk realis maupun abstrak. “Alangkah sayangnya bila kita menyia-siakan beragam etnis yang ada di Sumut. Di Yogyakarta saja, masyarakatnya yang didominasi oleh etnis Jawa bisa dituangkan ke dalam karya seni lukisan. Sementara di Sumut, kita memiliki delapan etnis yang berbeda, mengapa tidak kita manfaatkan untuk mendulang pendapatan daerah,” kata Mangatas.
Di sisi lain, Mangatas menilai tidak adanya regenerasi membuat geliat seni rupa berjalan stagnan. Generasi muda saat ini hanya menginginkan proses instan untuk menjadi seorang seniman. “Buktinya, banyak mahasiswa saya yang suka menyontek hasil karya seniman terkenal tanpa mau tahu bagaimana proses membuat hasil karya tersebut.
Padahal dibutuhkan waktu dan mood untuk bisa membuat sebuah karya seni. Kebanyakan generasi muda saat ini tidak mau bereksperimen untuk menghasilkan sebuah karya seni,” ungkapnya. Mangatas juga menyayangkan kekurangpedulian pemerintah mengembangkan seni rupa di Sumut.
“Padahal seniman itu dikenal sebagai orang jujur. Sampai Jhon F Kenneday pernah mengungkapkan kalau politik membengkokkan, senimanlah yang meluruskan. Ungkapan itu membuktikan bahwa betapa besarnya peranan seniman dalam pemerintahan, khususnya menjaga dan melestarikan budaya bangsa,” ucapnya.
Untuk membangkitkan kembali geliat seniman seni rupa, tiga seniman seni rupa terkenal Sumut yang tergabung dalam komunitas TO2 Art Group yang terdiri atas M Yatim Mustafa (seniman seni rupa beraliran realis), S Handono Hadi (seniman seni rupa kaligrafi), dan Anang To2 (seniman seni rupa abstrak) menggelar pameran di Grand Aston City Hall Medan mulai 22 Maret hingga 5 April mendatang.
Menurut Kurator Seni Rupa Kuss Indarto, pameran karya seni rupa yang digelar di hotel berbintang tersebut secara tidak langsung untuk mengetuk hati pemerintah agar menyediakan gedung seni yang representatif sebagai lokasi pameran. “Mudah-mudahan saja hati pemerintah terbuka dengan adanya pameran yang digelar di hotel tersebut.
Soalnya, di kota lain seperti Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, mereka sudah memiliki gedung seni sendiri yang bisa dimanfaatkan sebagai lokasi pameran. Sementara Kota Medan, senimannya harus mencari-cari dulu lokasi yang tepat untuk menggelar pameran,” ungkapnya. Kuss Indarto menambahkan, minimnya generasi muda yang meminati seni rupa menjadi kendala bangkitnya seni rupa di Sumut.
Lihat sajalah seniman seni rupa yang menggelar pameran tersebut, rata-rata usianya sudah di atas 50 tahun. Hal itu membuktikan bahwa seniman muda masih sangat minim. Semoga dengan adanya pameran tersebut, generasi muda menjadi tertarik terjun menjadi seniman seni rupa. Soalnya, hasil karya seni rupa bisa tidak ternilai harganya bila ditangani oleh seniman seni rupa yang sudah berpengalaman.
Sentralisme dunia seni rupa di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta karena didukung oleh infrastruktur yang berimbas kepada kuantitas dan kualitas SDM senimannya hingga memudahkan senimannya untuk menemukan market art- nya sendiri. Sementara di Kota Medan, masyarakatnya sendiri masih sedikit menikmati hasil karya seni rupa. Hal itu menjadi kendala bagi para seniman seni rupa dalam memasarkan hasil karyanya.
“Mudah-mudahan saja dengan adanya pameran tersebut dapat meningkatkan gairah kreatif para seniman seni rupa. Walau saat ini gerakan itu masih kecil, setidaknya gerakan itu ada dan sewaktu-waktu gerakannya bertambah besar,” kata Kuss Indarto. Salah seorang seniman seni rupa bergaya abstrak, Anang To2 mengungkapkan, tidak mudah mengetahui karakter seni yang diminati masyarakat.
Soalnya, karya seni sendiri memiliki sejumlah karakter di antaranya abstrak, realis, dan kaligrafi. Ketiga karakter tersebut saling bertolak belakang karena memiliki gaya seni rupa tersendiri. Seperti abstrak dikenal sebagai seni rupa yang tidak menampilkan objek dalam bentuk asli. Meski demikian, seni rupa abstrak banyak diminati masyarakat, khususnya mereka yang sudah mengenal karya seni lainnya.
“Untuk mengetahui karakter seni rupa mana yang diminati masyarakat dapat diketahui dengan cara menggelar pameran berbagai karakter karya seni rupa. Saat akhir pameran dapat diketahui karakter karya seni mana yang paling banyak dibeli masyarakat. Soalnya, dalam setiap pameran, hasil karya seni yang dipamerkan juga dipasarkan kepada pengunjung,” paparnya.
Dicky irawan
(bbg)